chiiroses

“Kecepetan ga Zet?” tanya Delta saat mereka sudah berada di dalam mobil.

“Lumayan sih, tapi yaaa gapapa,”

Perjalanan kali ini tidak sehening sebelum-sebelumnya, mereka bercerita perihal kamupusnya yang kata kebanyakan orang, gedung fakultas ekonomi mereka ternyata angker, UKT kampus yang harganya selangit, serta mahasiswa-mahasiswi terkenal di kampusnya.

“Berarti lo kenal si ini dong, aduhhhh siapa sih namanya yang seleb anak teknik itu lohhh,” ucap Zetta sambil berpikir siapa nama orang yang ia maksud.

“Siapa?”

“Yang cewe lohhh, seleb tau, Masa lo ga kenal sih, followers dia lima ratus ribu anjir! ga mungkin lo ga kenal. Bentar gue cek instagram dulu deh.” Zetta menyalakan ponselnya menggerakan tangannya membuka aplikasi instagram.

“Ketemuuuu, nihh!” unjuk Zetta kepada laki-laki itu.

“Oh...” balas Delta.

“Kenal?”

Delta menggeleng, “engga,”

Gadis di sebelahnya menghembuskan nafas berat, “capek-capek gue cari, eh ternyata lo tetep ga kenal juga, siapa sih yang lo kenal?”

“Lo.” Jawabnya.

“Yehhh,” Zetta memukul bahu Delta pelan.

Sepuluh menit yang lalu mereka sudah sampai di SMS, dan sekarang mereka sudah sampai pada nail salon tempat yang Zetta tuju.

“Gue lama loh ya, bisa tiga jam lebih,” Zetta memberi peringatan kepada laki-laki itu, “lo kalau bosen muter-muter aja atau pulang juga gapapa.”

Delta mengangguk, “iyaaaa, udah sana,”

Zetta berjalan mengikuti salah satu pekerja disana, memintanya untuk duduk dan menatuh tangannya pada bantalan yang telah disediakan.

Gadis itu terlihat akrab dengan perempuan yang bekerja disana, sebut saja 'Kak Pita'. Mereka sudah sering sekali bertemu, karena setiap minggu Zetta dengan rutin datang ke tempat ini.

“Kak, itu pacarnya suruh duduk aja, dari tadi ngelian ke arah sini mulu, takut Kak Zetta ilang ya?” ucap Kak Pita sambil tersenyum menunjuk ke arah Delta.

“Eh kenapa Kak?” Balas Zetta bingung.

“Itu Kak, pacar Kakak suruh duduk aja, gausah ngeliatan Kakak terus, kan Ka Zettanya juga ga bakalan ilang,” ulangnya sambil senyum-senyum kepada Zetta.

Gadis itu bingung dengan apa yang barusan ia dengar.

“Baru jadian ya kak? Saya baru liat soalnya,” lanjut Kak Pita.

“Eh ya Tuhan... bukan Kak, dia bukan pacar aku,”

Yang diberi jawaban seperti itu malah tidak percaya, Pita memanggil salah satu temannya yang sedang tidak bekerja, “La! Sini La!”

“Kenapa Kak?” Tanya Lala —teman kerja Pita selama di tempat ini.

“Itu kamu tolong kasih kursi ke kakak-kakak yang diri disitu, bilang aja 'Kak duduk aja disini kalau emang takut Kak Zettanya ilang' pastiin bilang gitu ya La.” Pita berbicara panjang lebar, Zetta yang mendengarnya siap untuk membenanrkan kepada Lala, tapi perempuan itu sudah pergi terlebih dahulu.

Lala menghampiri Delta yang masih setia berdiri di tempatnya. “Kak,” sapa Lala.

“Iya, kenapa?”

Lala memberikan kursi kepada Delta, “ini kak duduk aja disini kalau emang Kakak takut Kak Zetta ilang,”

Delta heran dengan apa yang barusan saja ia dengar, “eh...”

“Gapapa Kak duduk aja,” ucap Lala lagi sambil menepuk-nepuk kursi yang ia bawa, “pacarnya Kak Zetta ya, Kak?”

“Ehh kok?” balas Delta bingung.

“Iya kan Kak? Soalnya Kakak cowok pertama yang Kak Zetta bawa, berarti pacarnya inimah, kapan kak jadiannya? hehehehe,” oceh Lala dengan panjang lebar.

“Bukan, bukan pacarnya,”

“Ah ga mungkin, kalau bukan pacarnya kenapa dari tadi diri aja disini ngeliatin Kak Zetta?”

“Cantik —Ehh gapapa mau diri aja, penasaran nail art kaya gimana,” sanggah Delta dengan cepat.

Lala yang mendengar hanya tetawa, “halah si Kakak ga bisa bohong, iya tau saya kalau Kak Zetta teh cantik, sok atuh Kak duduk dulu, saya mau ke dalem ya,”

Delta berterima kasih kepada Lala yang memberikannya kursi.

“Kak semoga langgeng ya!” ucap Lala sebelum benar-benar pergi meninggalkan Delta.

Delta memberhentikan mobilnya saat mereka sudah berada di depan halaman rumah gadis itu. Zetta menawarkan Delta untuk minum atau sekedar duduk sebentar di rumahnya karena merasa tidak enak sudah memberinya tumpangan.

“Serius gapapa Zet?”

“Gapapa, emang kenapa?”

“Ga enak sama orang tua lo,”

Zetta tertawa mendengarnya, “yaelah santai kali. Nanti duduk aja di ruang tamu, biar gue ke dapur bentar,” katanya saat berjalan menuju pintu rumah.

Saat pintu rumah terbuka, yang mereka saksikan langsung adalah pemandangan dimana Ayah Zetta sedang beradu argumen dengan Zello —adik laki-lakinya, serta beberapa botol minuman beralkohol milik Zetta yang sudah berada di atas meja.

“Kamu kalau liat kakak kamu ga bener tuh dibilangin! kakak kamu cewek tapi kerjaannya minum-minum kayak gini, emang bagus?! Atau kamu juga ikut-ikutan minum kaya gini?!” Ucap Ayah Zetta, suaranya amat jelas di kuping mereka.

Zello menoleh ke arah pintu, melihat bahwa sang kakak sudah pulang dan sedang berdiri disana.

“Gak kamu gak kakakmu kerjaannya bikin pusing terus, yang satu main motor sampe pulang tengah malem, yang satu minum-minum kaya gini! malu saya!” Lanjutnya lalu menoleh ke arah pintu.

Zetta yang mendengarnya sudah terbiasa, sekali atau dua kali dalam sebulan ia akan mendengarkan omelan-omelan tersebut dari laki-laki itu, tapi ia pikir tidak sekarang.

“Pulang juga kamu Zetta!” Ucap Ayahnya, “ngapain kamu minum-minum kaya gini? berguna emang buat kamu? habis-habisin duit saya aja kerjaan kamu!” Lanjutnya sambil berteriak.

Gadis itu masih setia mendengarkan tanpa berniat untuk memotongnya.

“Merasa udah bisa cari uang sendiri?! Saya kuliahin kamu mahal-mahal, bukan buat kamu beli minuman kayak gini! Terus itu baju-bajumu apa?! Kamu mau jadi apa pake baju-baju kaya gitu?! Mau jadi cewek ga bener kamu?!”

“Ayah!” Teriak Zello.

“Biarin Zel,” kata gadis itu.

“Ya memang. Biar kamu sadar kelakuan kamu tuh tidak mencermintan perilaku perempuan baik-baik!”

“Yang ga mencerminkan perilaku baik-baik itu saya atau anda?” Balas Zetta, ia sudah tak tahu apa itu malu, apa itu sakit hati, apa itu kasih sayang, karena sejak saat ia berusia 12 tahun, semuanya telah sirna.

“Kak,” panggil Zello, ia takut Kakak perempuan satu-satunya ini akan menjadi samsak Ayahnya.

“Lihat Zel lihat, orang yang kamu bela kelakuannya seperti itu, kamu lihat Zello!” Ucap Ayahnya.

“Saya ga akan kaya gini kalau bukan gara-gara anda. Anda sendiri yang bikin semuanya jadi kaya gini.” Jelas gadis itu dengan Delta yang masih berada di belakanganya.

Laki-laki itu menyaksikan semuanya, semua yang terjadi di keluarga gadis itu hari ini. Tidak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya bahwa ia akan menyaksikan kejadian seperti ini.

“Ngomong sekali lagi!” Suruh Ayahnya.

“Saya gak akan kaya gini kalau bukan gara-gara anda!” Ulang Zetta.

Setelah Zetta mengucapkan kalimat tersebut, Ayahnya langsung menghampiri Zello bersedia untuk memberinya pukulan.

“Gak usah bawa-bawa adik saya. Ini masalahnya cuma ada di saya dan anda! Hazel masuk kamar!” Suruh gadis itu, yang disuruh hanya diam di tempat.

Ayah Zetta menghampiri gadis itu bersiap untuk memarahinya atas ucapannya barusan.

“HAZEL LO MASUK KAMAR!!” Teriak Zetta, “Del lo balik sekarang!” lanjutnya kepada Delta pelan. Yang diajak bicara malah menggenggam tangan gadis itu.

“Del pulang.” Pintanya lagi.

“Gue ga akan ikut campur, tapi gue disini Zet, gue cuma mau jagain lo kalau Ayah lo main tangan.”

Benar saja. Baru selesai Delta bicara seperti itu, Ayah Zetta sudah menampar pipi anak perempuannya.

Delta yang melihat hal itu sontak berdiri di sebelah Zetta dan melepaskan genggamannya. Tapi gadis itu menahannya.

“Ga tau diuntung jadi anak!”

Delta melihat ke arah Zetta, gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan air mata, malah yang terpancar dari air wajahnya bahwa iya sangat emosi saat ini.

“Udah?” Tanya Zetta, “kalau ada masalah sama saya, jangan pernah bawa-bawa adik saya, dia ga tau apa-apa.” Ucap gadis itu lalu pergi ke arah kamarnya meninggalkan Delta dan Ayahnya.

Zetta menghampiri Shabil yang berjalan menjauh dari kerumunan tersebut, “Bil, Bil, Billlll, kacoooo, lo kenal dia?” Tanya Zetta yang sudah dipastikan jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Siapa yang lo maksud?”

“Itu yang ngasih hp-nya ke lo, kenal?”

“Hahahaha ya kenal lah, deket malah.” Shabil menjawabnya sambil tertawa, “kenapa emangnya? cakep?”

“Bukannnn, ih serius Bil gueee,”

“IYA ZETTA GUE JUGA SERIUS.”

“Dia pacar lo kahhhh?” Tanya Zetta dengan hati yang tak tenang.

Shabil yang mendapatkan pertanyaan tersebut cukup kaget, “HAH? PACAR? SIAPA? GUE? PACAR DELTA? YAKALIIIIIII.” Teriaknya yang langsug dibekap oleh Zetta.

“Jangan teriak-teriak sableng, santai aja ngomongnya. Serius Bil dia siapa lo anjir.”

“Sepupu gueee, bunda nya dia kakak mama gue. Kenapa lo nanya-nanya? Suka lo yaaa?” Tanya perempuan itu sambil memberikan senyum mencurigakan.

“Pala lo,” sabutnya tidak terima, “eh Bil, gue balik yaaa.” Lanjutnya.

“Lahhh?? kenapa lo? tadi asik-asik aja perasaan.”

“Gapapa, gue udah ngantuuuukkk bangetttttt, oke okee? BYEEE SHABILLLL, HAPPY BIRTHDAYYYYY.” teriaknya sambil meninggalkan Shabil yang kebingungan akibat tingkahnya.

Zetta benar-benar berada di luar sekarang, dan ia lupa untuk mengabari Geya atau Jio yang masih berada di dalam. Apes sudah nasib gadis itu, terlebih lagi ponselnya yang sudah mati dan sekarang jam sudah menunjukan pukul sebelas malam.

Dua menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Gadis itu sudah menunggu di depan, berharap Geya dan Jio sadar bahwa ia sudah tidak ada di dalam dan segera menuju keluar. Padahal bisa saja ia masuk ke dalam hanya sekedar untuk mencari Geya dan Jio, tepai apa boleh buat, Zetta tetap Zetta yang sudah bulat dengan keputusannya bahwa ia tidak akan masuk ke dalam yang kemungkinan besar membuat gadis itu bertemu dengan Delta.

Ia mengerutuki dirinya yang tidak mau mengambil power bank miliknya yang tertinggal di dalam mobil jio. Terhitung sudah lima belas menit ia berdiri di depan seperti seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya di taman bermain.

“Belum balik?” Tanya seseorang dari belakang Zetta. Delta, suara itu suara Delta.

“YA TUHAN.” Yang ditanya malah kaget akibat suara yang beru saja keluar dari keheningan.

“Eh sorry sorry, kaget ya?”

“Nanya?” Balas Zetta.

“Engga. Lo mau pulang?” Tanya Delta.

“Nanya lagi?”

“Engga.”

“Itu jelas-jelas lo nanya.”

Yang diajak bicara hanya tertawa mendengar jawaban dari lawan bicaranya. “Mau pulang?” Tanyanya lagi.

“Menurut lo? gue disini mau ngamen gitu?”

“Engga sih,”

“Yaudah, ngapain nanya kalau udah tau jawabannya.” Jawab Zetta yang sebenarnya ia sedang menahan malu.

“lagi nunggu Taxi?”

Hening. Tidak ada jawaban dari gadis itu.

“Bawa mobil?”

Lagi dan lagi, gadis itu tidak menjawabnya.

“Dompet lo ketinggalan?”

DANG. Benar sekali ucapan laki-laki di sampinya itu.

“Atau.... hp lo mati?”

BENAR LAGI. Zetta hanya bisa bergumam dalam hatinya ‘Ini orang dukun kahh?? kok bisa tauuu.’

“Kalau diem, kayanya bener antara hp lo mati atau dompet lo ketinggalan.” Ucap Delta sambil mengeluarkan ponselnya.

“Lo ngapain di luar gue tanya?”

“Mau aja, ga boleh? ini kan tempat umum.”

“Boleh, ga ada yang bilang ga boleh juga.” Jawab Zetta yang sejak tadi sama sekai tidak mengalihkan pandangannya.

“Mau pulang ya, Ta?” Tanya laki-laki itu.

“Dibilang jangan so akrab manggil-manggil nama.”

“Mau pulang? Gue mau pulang juga. Kalau lo ga keberatan, sini gue anter aja, udah malem soalnya.” Ajak Delta sambil mengeluarkan kunci motornya, “tapi gue naik motor gapapa?”

“Pulang tinggal pulang, kenapa ribet banget.”

“Ga ribet, ini gue nawarin lo, soalnya udah malem juga. Mau ga?” Yang ditanya tetap diam tidak menjawab, “kalau lo ga jawab, tandanya ‘iya’ kan?”

“Apaan sih, gak, lagian ga mau balik sama lo.”

“Iya, ini gue yang nawarin diri. Udah malem, Ta, ayo bareng aja.” Ajak delta, “bentar bentar, bunda gue call.”

Zetta mendengarkan percakapan antara ibu dan anak itu. Ralat. Tidak mendengarkan tapi terdengar. Bagaimana bisa laki-laki itu bilang bahwa ia sedang bersama Zetta, yang mana saat sebelum telepon itu terputus, sang bunda bilang “Kamu anterin dia pulang dulu ya kak, harus sampai depan rumahnya, karena ini sudah malam.”

Setelah telepon terputus, Delta segera menghampiri Zetta yang masih setia pada tempatnya. “Ayo, Ta. Tadi denger kan kata bunda gue.”

“Ya lo lagian ngapain bilang lagi sama cewek?”

“Kan emang gue lagi sama cewek, terus bunda minta anterin lo dulu baru gue boleh pulang.” Kata laki-laki itu dengan santainya.

“Ih ribet deh lo, yaudah ayo. Ini karena bunda lo aja ya, bukan gara-gara lo ngajak gue pulang.” Jawab gadis itu sambil berjalan meninggalkan Delta.

“Ta,” panggil laki-laki itu.

“Apa lagiiiiii?”

“Kesini Ta, buka sana.” Tunjuk laki-laki itu ke salah satu motor yang sedang terparkir rapi disana.

“Nih,” Delta memberikan jas yang ia gunakan kepada Zetta, yang dikasih hanya bisa menatap heran.

“Buat dipake Ta, ini kan udah malem, dingin. Itu baju lo bisa bikin masuk angin kalau ga pake jas gue.” Ucapnya kesekian kali yang membuat Zetta hanya bisa terdiam dengan semua kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Ta, sorry ya,” kata laki-laki itu sambil menaruh jas nya pada tubuh Zetta, “lo diem aja soalnya. Ayo naik.”

Empat jam setelah acara Zetta yang meminta Geya dan Jio untuk segera datang menjemputnya, sekarang sudah pukul sepuluh malam, dimana mereka sudah menghabiskan sekitar tiga jam lebih untuk sekedar mengobrol dengan teman SMA atau teman kuliah atau bahkan teman yang baru saja mereka kenal malam ini.

“Ta, gue sama jio mau ke tengah dulu, mau ikut ga?”

“Engga, gue mau ke Shabil aja, soalnya anak SMA lagi pada kumpul di Shabil.” Tolak gadis itu.

“Okay, nanti kalau lo nyari gue, call aja ya.”

“Lupa? hp gue kan tadi matiii, PB ada di mobil jio, gue ga enak mintanya.”

“Dih bukannya ambil aja, terus gimana?” Tanya Geya bingung.

“Ya ga gimana-gimana, nanti gue tinggal cari lo ke tengah atau nanti gue pinjem hp Shabil buat call lo.” Jawabnya dengan mudah.

“Oh okedeh kalau gitu, yaudah gue ke tengah ya.” Ucapnya sambil melambaikan tangan kepada Zetta.

Zetta sudah bersama Shabil dan beberapa teman SMA nya dulu, ada Sarah, Dinda, Alia, Amel, dan Shafa. Awalnya mereka bercerita tentang masa sekolah dulu hingga akhirnya tiba pada pertanyaan yang sangat Zetta hindari sejak lulus sekolah.

“Ta, gimana, cowok lo masih suka ganti-ganti ga?” Tanya Dinda yang kemudian diberi sahutan oleh teman-temannya yang lain.

“Iya, Ta, gimana sekarang?”

“Ada yang cakep ga Ta?”

“Kenalin satu ke gue dong!”

Seperti itu lah kira-kira pertanyaan yang Zetta dapatkan dari teman-teman SMA nya dulu. Lain dengan mereka, Shabil yang cukup dekat dengan Zetta saat dulu pun mengganti topik pembicaraan.

“Eh, mau coba coklat itu ga?” Tunjuk Shabil ke arah coklat yang baru saja dibawa keluar oleh pelayan di sana.

“Nanti aja, gue lebih penasaran sama kisah Zetta, ayo dong Ta ceritaaa, udah lama banget tau kita ga cerita-cerita kaya gini.” Ucap shafa.

Yang diminta cerita hanya menggumam dalam hati, ‘dih? sejak kapan gue cerita-cerita sama lo anjirrr, deket aja engga.’

“Aduh nanti deh ya kapan-kapan aja,” tolaknya.

“BILLLL,” teriak salah satu cowok dari arah yang cukup jauh sambil berjalan menuju Shabil.

“APAAAA,” sahut Shabil yang membuat Zetta dan semua temannya menoleh ke sumber suara.

“Gue mau cabut duluan, gapapa ya? Mica nyariin soalya,” Ucapnya.

“Yahhhh, yaudah deh gapapa Rev, salam ya buat Mica, bilang ke dia nanti aku ke sana bawa boneka baru, sekalian Kak Bila minta kado gitu.” Ucap Shabil kepada Revi.

“Lo semua mau balik juga?” Tanyanya kepada Delta, Nazil dan Eja.

“Engga, gue masih lama, masih mau makan enak hahahaha.” Jawab Eja yang dengan tangan kanan yang memegang Ice Cream.

“Hahaha bagus eh. Oh iya, tadi ada coklat tu ja, baru di keluarin, coba sana liat.” Suruh Shabil yang diberikan acungan jempol oleh Eja.

“Bil, Bunda gue mau ngomong, call aja nih” ucap Delta sambil memberikan ponselnya kepada Shabil.

Cafe Moteza malam hari ini cukup sepi, hanya terdapat 5 pengunjung, dengan Delta salah satunya.

Zetta segera melangkah masuk kedalam cafe saat mobil Jio sudah terparkir rapi, meninggalkan Geya dan Jio yang sedang berjalan di belakangnya.

“LAMAAAAA,” teriaknya.

“Sabar Taaaa, gue lagi iket tali sepatu,” jawab Geya.

“Jio Jioo, maskernya manaaa?” Tanya Zetta sambil merapikan rambutnya yang terbang terbawa angin.

“Hah? Gue ga tau, coba tanya Geya,” jawabnya dengan santai.

“IHHH GUE JUGA GA TAUUUUU!” Teriak gadis yang namanya disebut.

“TERUS GUE GIMANAAA?”

“Gapapa deh Ta, lagian juga abis ini ga bakal ketemu lagi kok.” Ucap Geya menenangkan temannya itu.

“Ga bisa Gey, ga bisa, muka gue udah terlanjur malu bangettt,”

“Nah, justru karena udah malu banget, jadi sekalian aja lah trobos Ta!”

“Ji pacar lo ga bener nih,” adu Zetta kepada Jio, yang diajak bicara hanya tertawa.

“Gapapa Ta, nanti kalau dia ngapa-ngapain lo, gue turun tangan.” Ucap Jio yang diberikan tatapan mematikan oleh Zetta.

“Sana cepettttt,” usir Geya, “gue perhatiin dari jauh sama Jio, lo jangan bertingkah ya Ta.”

Gadis itu menghampiri salah satu meja yang ia yakin bahwa itu adalah Delta —laki-laki yang ingin ia temui, mengenakan kaos putih polos dan jeans robek-robek andalan laki-laki itu.

“Delta kan?” Sapa Zetta yang lebih terdengar seperti pertanyaan.

Yang dipanggil menoleh ke sumber suara tersebut, “iya, Zetta kan?”

“Hmm, mana power bank gue?” Pintanya to the point.

“Wait, lo ga mau duduk dulu?” Tawarnya sambill merogoh kantung celananya.

“Ga minat, cepet.”

Laki-laki itu hanya tersenyum menggelengkan kepalanya melihat sikap gadis di hadapannya itu, “nih,” ucapnya sambil memberikan power bank tersebut, “lain kali, kalau ada barang yang sekiranya penting, di jaga baik-baik ya, nanti hilang lagi kan repot.”

“Thanks.” Kata gadis itu sambil mengangkat power banknya, dan segera meninggalkan Delta yang masih duduk di posisinya.

Siang ini, Hail sudah berada di rumah Kale dengan motor kesayangannya. Mendengar suara Hail di bawah mebuat Kale terburu-buru keluar dari kamarnya.

“Sebentar ya il! Gue rapihin tas dulu.” Teriaknya dari depan kamarnya.

Mama Kale menyahut, “Kal jangan teriak-teriak, maaf ya il, emang si Kale kerjaannya teriak-teriak.” Lanjutnya kepada Hail.

“Iya tante gapapa,” kata Hail sambil tersenyum.

Sekitar dua menit menunggu Kale yang sedang merapihkan tasnya, akhirnya gadis itu turun menghampiri Hail.

“Lama ga?” Tanya Kale sambil menggunakan sepatunya.

“Engga kok,”

“Yaudah deh ayo, jangan lama-lama disini, malu.” Ajak Kale kepada hail setelah ia selesai memakai sepatu.

Hail tertawa, “kenapa malu coba? Emangnya ngapain?”

“Ga tau ah, udah ayo berangkat aja.” Paksa Kale yang sudah berdiri dari duduknya. Lalu mereka berpamitan kepada Mama Kale dan segera menuju ke arah luar rumahnya.

“Kal tapi gue bawanya motor, gapapa?” Tanya laki-laki itu saat mereka sudah berada di luar.

“Ya elah santai aja, liat nih, gue pake celana, gue sesantai ini bajunya, kecuali gue make baju nikahan, baru deh bingung naik motornya.” Ujar Kale sambil menunjukan baju yang ia kenakan.

Hail menganguk menyetujui, mereka berangkat menuju salah satu toko yang sering kali hail kunjungi saat ingin membeli kaos. Tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya sekitar 15 menit mereka sudah sampai di tempat yang dituju.

“Loh, lo juga suka beli baju disini?” Tanya Kale saat turun dari motornya.

“Iya, lo suka juga?”

“Ya engga sih, Cuma kakak gue dulu juga suka beli disini,” ujar perempuan itu. Hail ber-oh ria menanggapinya.

Mereka melihat-lihat baju yang dipajang dengan gantungan-gantungan yang sudah tersusun rapih. Sambil sesekali tertawa akibat gurauan yang dibuat oleh salah satu diantaranya.

“Kal, ini bagus ga?” Tanya Hail menunjukan baju pilihannya.

Kale menoleh melihat baju tersebut, menimang-nimang dengan wajah yang dibuat-buat dihadapan Hail, “hmmm….” Ucap Kale pura-pura berfikir, “bagus gak yaaaa?” Tanya ia balik kemudian tertawa.

“Hahahaha bagus ga Kal?”

“Bagus kok bagussss, keren.” Kata perempuan itu dengan mengacungkan dua jempolnya.

Mereka Kembali memilih baju, sibuk dengan dirinya masing-msing hingga jam sudah menunjukan pukul 15.00 dan mereka segera menuju ke kasir untuk melakukan transaksi pembayaran.

Setelahnya, Hail mengajak Kale untuk sekedar membeli minum di cafe yang berada di dekat-dekat sini. Sejujurnya, laki-laki itu tahu bahwa gadis yang sedang bersamanya sangat menyukai kopi, maka dari itu ia mengajaknya ke cafe terdekat, padahal bisa saja hanya ke minimarket, karena mereka hanya ingin membeli minum sebentar.

“Beli kopi sebentar ya Kal,” kata Hail saat sudah berada di motornya.

Kale yang mendengar pun langsung bersemangat, “IYA AYOOO!” Hail tertawa di dalam helm yang ia gunakan.

Mereka berhenti di depan cafe Serdadu, dan memesan dua gelas hot coffee. Sambil menunggu pesanannya datang, laki-kali itu mengajak Kale menggelilingi tempat itu.

Kale melihat salah satu spot yang cantik yang pas untuk mengabadikan dirinya disana, “Hail,” panggil gadis itu.

“Kenapa?”

“Tolong fotoin gue disini,” Pinta Kale dan memberikan ponselnya kepada Hail.

Laki-laki itu mengambil beberapa jepret foto gadis yang menjadi objek fotonya itu. Dengan beberapa angel foto agar tidak terlihat monoton.

“Kal,” Panggil Hail.

“Yap? Udah banyak ya?”

Laki-laki itu menggeleng, “boleh gue foto pake HP gue juga?”

“Hah, gimana?”

“Gue foto lo juga, tapi pake HP gue, boleh?” Jelas laki-laki itu. Kale yang diajak bicara hanya bisa tersenyum kikuk dengan menganggukan kepalanya, meng-iyakan permintaan Hail.

Pagi ini, Kale sudah rapih, lengkap dengan seragam sekolahnya, ia juga sudah mengunakan sepatunya dan segera menghampiri meja makan.

“Mamaahhh,” panggil Kale.

“Eh tumben udah rapih jam segini.” Jawab Mamanya.

“Masa lupa mah? aku kan ada janji hari ini.” Jawabnya sambil memamerkan paper bag yang ada di tangan kanannya.

“Oh sama si Hail Hail itu ya?” tanya Mama sambil meledek kale.

“Hahaha iya dong, doain Mah semoga berhasil.” Pinta Kale sambil mengedipkan satu matanya.

“Berhasil apa? emang kamu mau ngapain heh?” Tanya Mama.

“Mau balikin jaket doang, yaaa doain aja si Mah biar Kale ga malu-maluin.” Ucap perempuan itu dengan mengambil piring. “Aku mau langsung sarapan, buru-buru soalnya.”

“Yaudah sana sarapan, semangat buat balikin jaketnya.” Sahut Mama sambil menertawakan kelakuan Kale.

Tiba-tiba bel rumah kale berbunyi. Bi Ati -yang bekerja di rumah kale pun langsung menghampiri gerbang.

“BIIII SIAPAAA?” Teriak Kale.

“Jangan teriak-teriak Kal.” Tegur Mamanya.

Bi Ati segera masuk kedalam rumah bersama tamu yang datang pagi ini, mengantarkannya untuk menunggu di ruang tamu.

“Temen kamu katanya dek.” Ucap bi ati menghampiri Kale yang berada di meja makan. “Alia bi?”

“Ga tau bibi, baru liat yang ini mah. Cowok.”

“Siapa Bi?” Tanya Mama menghampiri meja makan.

“Itu Bu, temennya adek dateng, katanya mau berangkat sekolah sama Kale.” Jawab Bi Ati.

Kale yang telah menyelesaikan sarapannya itu pun segera menghampiri ruang tamu rumahnya. ‘Cowok? Siapa deh? Nyasar atau gimana tuh orang?’ Batin perempuan itu.

‘HAH?!’ Rasanya Kale ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana bisa Hail yang datang.

“Loh il?” Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulut Kale.

Hail yang mendengar suara itu langsung mengangkat kepalanya. “Eh kal.”

“Loh, kenapa kesini?” Tanya Kale bingung.

“Siapa Kal?” Tanya Mama menghampiri ruang tamu.

“Temen Mahhhh!”

“Loh ini siapa? baru liat Mama.” Tanyanya saat sudah sampai di ruang tamu.

“Pagi tan.” Sapa Hail sambil berdiri dari duduknya. “Hail.” Lanjutnya sambil menyalimi tangan Mama Kale.

“Oh, Hail yang ini.” Kale yang mendengar kalimat tersebut langsung mecolek pinggang Mamanya agar tidak keceplosan atas semua cerita-cerita tentang Hail yang sudah Kale ceritakan padanya.

“Eh iya tante, ini Kale berangkat sama saya gapapa tan? Sekalian mau ambil jaket.” Tanya hail.

“Gapapa, terserah Kale aja gimana.” Ucap Mama ramah. “Mau kal?” Lanjutnya bertanya pada Kale.

“Eh?” Sahutnya. “Iya boleh aja.” Lanjut Kale sambil menyodorkan paper bag kepada Hail. “Nih jaketnya, makasih ya.”

“Iya, Kal.”

“Yaudah ayo berangkat.” Ajak Kale sambil berjalan keluar rumah. “MAH BERANGKATTT!” Teriaknya.

“Iya hati-hati yaa.” Sahut Mama dari dalam rumah.

Hail segera menyalakan motornya, “Kal ada helm?” Tanyanya.

“Oh ada, bentar gue ambil dulu.” Ucapnya sambil mengambil helm dan memasangnya. “Ini gue naik ya.” Lanjutnnya.

“Diem aja disitu juga gapapa.” Ucap Hail sambil tertawa.

'ya ampun hail kenapa harus ketawa?!' Batin Kale.

“Yeh malah ngelawak.” Jawab Kale menaiki motor Hail.

Diperjalanan kali ini tidak sehening waktu pertama kali mereka berboncengan. Saat ini Hail dan Kale sedang membahas kenapa laki-laki itu dengan tiba-tiba datang menjemputnya.

“Katanya jam setengah tujuh ketemu di gerbang, tapi ini malah ke rumah.” Ucap Kale.

“Takut lo kesiangan aja, soalnya kan lo bilang biasanya dateng pas mepet masuk.”

“Tapi gausah di samper juga, call kan bisa gitu il, kalo gini gue jadi ngerepotin lo.” Jawabnya tidak enak.

“Kan gue yang samper Kal, bukann lo yang minta.”

“Iya sih, aduh tapi nanti sampe sekolah gimana ya il? Lo kan banyak fansnya, nanti gue di bully lagi sama fans-fans lo itu.” Sahut Kale, karena adik kelas serta teman seangkatannya banyak yang menyukai Hail, termasuk dirinya. hahaha.

“Lo masuk ke salah satu fans gue juga ga?” Tanya laki itu santai menanggapi ucapan Kale.

Perempuan yang mendapatkan pertanyaan seperti itu bingung harus menjawab apa, karena rasanya seperti anak kecil yang ketahuan mencuri es di dalam kulkas oleh orang tuanya.

“Hah? Pede banget.” Jawab Kale menghilangkan kepanikannya itu.

Hail yang mendenger jawaban itu hanya tertawa.

“Eh sorry ya il, gue so akrab banget, padahal kita baru ngobrol.”

“Gapapa, santai aja sama gue.” Balas Hail.

Baskara sudah berada di depan rumah Selasa bersama dengan Jean dan Dania —perempuan yang sedang dekat dengannya. Pagi ini mereka akan mengelilingi BSD dengan motornya.

Baskara juga tidak sering mengikuti sunmori seperti ini, hanya sesekali saat Jean mengajaknya. Ini juga merupakan kali pertama Selasa mengikuti hal-hal seperti ini, biasanya saat Baska izin mengajaknya sunmori, ia tidak pernah mau karena menurutnya minggu pagi adalah saat-saat paling enak untuk merebahkan tubuhnya.

“Ini rumah pacarnya Baskara?” Tanya Dania saat mereka berhenti.

“Iya, mampir bentar.” Jawab Jean. “Mana cewe lo?” Tanyanya pada Baskara.

“Sebentar lagi juga keluar.” Tak lama dari itu, Selasa keluar menggunakan kaos yang dibalut dengan jaket varsity milik Baskara yang memang sering digunakan oleh perempuan itu.

“Lama ga?” Kata perempuan itu saat pertama kali muncul.

“Engga kok.” Jawab Baskara.

Selasa melihat Jean yang sedang membonceng seorang perempuan di jok motor belakangnya, “eh haiii,” sapa Selasa kepada perempuan itu, “siapa namanya?” lanjutnya.

“Haiii, Dania nih, lo?” Tanya Dania balik.

“Selasa.”

Dania yang mendengar nama perempuan itu pun segera menutup mulutnya kaget, “WOWWW Selasa, beneran Selasa?” Tanyanya.

Selasa yang mendengarnya pun tertawa, “hahahaha iya Selasa.”

“Lucu banget nama lo gilaaa, terus gue panggilnya apa nih?”

“Sel aja, Dan.”

Dania mengangguk, “panggil gue Nia aja, jangan Dan hahaha.” Suruh Dania, Selasa pun mengangguk paham.

“Yaudah ayo berangkat dulu, kenalannya dilanjut nanti ya ibu-ibu.” Suruh Jean.

Saat ini matahari sedang bersahabat bersama mereka semua, jalanan QBiq pagi ini juga benar-benar ramai oleh pengendara motor dengan knalpot yang berisik membuat telinga sakit.

Pagi ini mereka melakukan convoy mengelilingin BSD hingga Bintaro dengan kurang lebih sekitar 30 motor yang merupakan teman-teman Jean dari tempat lain.

Saat mamasuki daerah alam sutera, mereka memberhentikan motornya pada sekitaran sogo untuk beristirahat dan membeli makanan serta minuman.

“Mau makan sama minum apa?” Tanya Baskara.

“Siomay aja kali ya, sama kopi deh,” kata perempuan itu.

Baskara menggeleng, “gak, kali ini ga boleh minum kopi.” Ucapnya.

“Sekali doang basssss,” pinta Selasa dengan tanggan yang memohon.

Baskara tetap menggelengkan kepalanya, kemudian ia pergi meninggalkan Selasa untuk membeli siomay dan air mineral. Sekitar 5 menit, ia sudah kemabli dengan pesanan Selasa tanpa kopi.

“Ini, awas aja beli kopi.” Kata laki-laki itu sambil memberikan makanannya, “kamu disini aja sama nita, disana banyak yang lagi ngerokok.” Sambungnya.

Selasa menunjuk Baskara saat laki-laki itu ingin berjalan ke arah sumbernya asap-asap itu, “pasti mau kesana.”

Baskara hanya tertawa kemudian mengelus kepala Selasa yang sedang duduk di trotoar jalan, “iya, makanya kamu disini aja ya,” ucap laki-laki itu, “Ni nitip Ni.” Lanjutnya kepada Dania.

“Yoi aman, udah sana.” Usir perempuan itu.

Selasa dan Dania mulai akrab seperti orang yang sudah lama kenal, mereka membahas hal-hal yang benar-benar tidak penting, sampai akhirnya Selasa menanyakan hubungan Dania dengan Jean.

“Eh ni, gue boleh nanya ga nih?” Kata Selasa.

Dania menaikan satu alisnya, “apa?”

“Pacarnya Jean?”

Dania langsung tertawa saat mendengarnya, “hahahaha kok bisa-bisanya lo nanya gitu dah,” kata Dania, “belom sih, doain aja yaa.” Lanjutnya dengan memamerkan gigi rapihnya itu.

“Siap deh, semoga cepet jadian yaaa!” Kata Selasa memberikan semangat.

“Eh iya, kalau lo udah dari kapan pacaran sama Baska?” Tanya Dania.

“Hmm dari kelas 10,”

“SUMPAAHH? Pantesan lo berdua deket banget yaa.”

“Loh? Yang lain juga pasti deket sama pacarnya.” Jawab Selasa dengan santainya.

“Engga juga ah, gue salah satunya.”

Selasa mengerutkan keningnya tidak paham maksud perempuan yang sedang berbicara kepadanya, “gimana gimana?” tanyanya.

“Ya gue ga deket tuh sama mantan gue dulu pas masih pacaran.”

“Kok bisa?” Tanya selasa sedikit penasaran, “eh jangan cerita deh kalau privacy.” Lanjutnya dan kembali kepada posisi semula.

“Gapapa elah, udah lama juga.” Balas Dania, “jadi tuh ya gue sama matan gue dulu tuh bener-bener ga deket sama sekali, kaya kerjaan kita tuh setiap hari pasti berantem, sampe pas gue mau putus pun tetep berantem, untungnya ada jean waktu itu, kalau engga, kayanya mantan gue bisa main tangan.” Jelas Dania.

“Sorry...”

“Gapapa, gue yang mau cerita juga kok.” Kata Dania sambil meminum es teh nya, “makanya sekarang gue deket sama Jean.”

“Sukses deh Ni sama Jean yaa.” Dania tersenyum mendengar ucapan Selasa barusan.

Saat ini mereka kembali menelusuri jalanan BSD dan Bintaro hingga jam sudah menunjukan pukul 11.00 saat matahari mulai memancarkan panasnya.

“Ini kita pulang jam berapa? aku udah laper lagi.” Tanya Selasa pada Baskara saat diperjalanan.

“Mau pulang aja?”

“Ini masih lama ga? kalau udah sebentar lagi, yaudah tunggu aja.” Jawab Selasa.

“Ini mah ga nentu Sel, suka-suka aja mau pulang jam berapa. Kita pulang aja ya.” Ajak laki-laki itu.

Baskara mendekati motor Jean, “Je, gue duluan ya,” ucap Baska dimotornya.

“HAH? GAK KEDENGERAN.” Teriak Jean, karena saat ini suara disekitar mereka ramai dengan suara knalpot.

“CABUT DULUAN.” Teriak Baskara.

“HAH? OH BALIK? YAUDAH SANA, HATI-HATI!” Jawab Jean kembali dengan teriakannya.

Baska memisahkan dirinya dari rombongan mereka untuk segera mengantar Selasa pulang.

setelah mendapatkan izin, kale langsung berjalan ke arah gerbang sekolah untuk memesan ojek online. tapi server tersebut sedang ramai, yang membuat kale harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan driver.

kale sudah menunggu sekitar 5 menit hanya untuk mendapatkan driver.

“neng belom dapet ojol nya?” tanya pak satpam sekolah.

“belom pak, penuh servernya.”

“yaudah nunggu aja dulu, tuh duduk aja disana neng.” ucapnya sambil menunjuk bangku yang ada di ujung gerbang sekolah.

“iya pak makasih.”

dari parkiran sekolah terdengar 2 suara motor yang sedang berjalan menuju gerbang. kale menoleh ke sumber suara itu.

‘mati gue.’ batin kale. ternyata suara itu berasal dari motor hail, dan yazi yang bersama jerio. mereka adalah anggota osis. ‘semoga hail ga liat gue.’ lanjutnya.

“hail.” panggil pak satpam. “sini dulu kamu.” lanjutnya.

“kenapa pak?”

“mau keluar kan? tadi pak dirman kasih tau ke bapak katanya kamu mau keluar.”

“iya pak ada keperluan, kenapa emang?” tanyanya.

“itu si eneng dari tadi nunggu ojek ga dapet-dapet, anterin weh sekalian.” ucap pak satpam sambil menunjuk ke arah kale.

kale yang merasa dirinya di tunjuk oleh pak satpam pun bingung. ‘mampus hail liat gueee.’ teriak kale dalam hatinya.

“emang dia mau kemana pak?”

“pulang katanya mah, coba bapak tanya dulu.” jawabnya. “neng mau ke arah mana?” tanya pak satpam pada kale.

“saya pak?” tunjuk kale pada dirinya sendiri.

“atuh iya, siapa lagi emang yang ada disini.”

“hehehe ke griya saya, kenapa pak?” jawab kale dengan hati yang sudah campur aduk tak karuan.

“bentar neng.” jawabnya. “tuh kamu ke arah griya engga il?” tanya pak satpam ke hail.

“emang mau ke griya pak.” jawab hail santai.

“nah iyaudah bareng gih sana, kasian si eneng. nolongin orang dapet pahala il.” suruh pak satpam sambil menepuk pundak hail. “neng, itu sama hail aja, dia ke griya juga!” teriak pak satpam.

kale yang mendengar itu pun kaget setengah mati, bagaimana bisa, dia yang dipinjamkan jaket oleh hail, lalu diantar pulang juga oleh nya. padahal hari ini dia tidak mau bertemu dengan seseorang yang bernama hail.

“haha iya pak boleh deh, kosong kok motor saya.” jawab hail sambil tertawa. “yaudah berangkat ya pak.”

“iya hati-hati.” jawab pak satpam.

suara motor itu berhenti di depan kale.

“ayo naik.” ajak hail.

“eh gue naik ojek aja gapapa.” tolak kale, sebenarnya dia sangat ingin berduan dengan hail di atas motor, tapi bukan sekarang waktu yang dia mau.

“gapapa, gue ke griya juga kok. ayo.”

“seriusan gapapa?”

“iya, ayo kal naik.” pintanya lagi.

“iya bentar.” jawab kale berdiri dari duduk nya dan langsung menaiki motor hail.

hail dan yazi segera menjalankan motornya keluar dari gerbang sekolah.

hening, selama perjalanan tidak ada yang bicara. hanya terdengar deru knalpot dari kedua motor tersebut. sampai akhirnya hail bertanya “kel rumahnya dimana?”

“eh itu nanti masuk ke komplek griya nya.” jawab kale kaget, bagaimana bisa hail masih dengan santainya bertanya, padahal jelas-jelas hail tahu cewek yang bersamanya sedang memakai jaket nya karena kejadian tadi pagi.

“oh oke.” balasnya.

setelah memasuki komplek, kale memberi tahu jalan menuju rumah nya. “itu il depan belok kiri, nanti sampe.”

“siap.” balasnya sambil menganggukan kepalanya.

kale menepuk bahu hail memberi tahu bahwa mereka sudah hampir sampai “il gerbang hitam rumah gue, berhenti disitu ya.”

“oh itu? okeoke.” jawabnya.

hail dan yazi menghentikan motornya di depan rumah kela. “makasih ya il, zi, jer, sorry nih ngerepotin.” ucap kale setelah turun dari motor hail.

“santuy sama kita mah kal.” jawab yazi sambil membenarkan helm-nya. “iya kan jer?” lanjutnya.

“iye santai aja, kaya sama siapa aja lagian.” ucap jerio.

“yaudah kal, duluan ya.” ucap hail sambil menggunakan kembali helm-nya. “nanti gue jemput lagi.” lanjutnya.

“oke, makasih ya sekali lagi.” ucap kale yang diberi anggukan oleh mereka.

mungkin hari ini, lebih tepat nya, pagi ini, semesta sedang tidak bersahabat dengan kale.

Saat ini, Selasa sudah duduk di meja makan bersama dengan mama yang sedang menyiapkan makannya. Sore ini menjadi salah satu sore yang indah baginya karena bisa makan bersama mama.

“Tumben mah pulang cepet,” ucap Selasa sambil memperhatikan mamahnya yang sibuk dengan piring-piring ditangannya.

“Lagi ga sibuk, Sel.” Jawab Mama Selasa menghampiri meja makan. “Abang kamu belom pulang ya?” Tanyanya lagi.

“Belom mah, biasanya jam 7 baru pulang.” Mamanya mengangguk paham.

Mereka memakan bersama masakan yang dibuat oleh mamahnya sambil berbincang-bincang seputar bagaimana keadaan di sekolah, nilai-nilainya serta Selasa yang sedikit menceritakan Baska kepadanya.

“Masih suka pulang bareng emangnya, Sel?” Tanya mamanya.

“Ya masih mah, ini aja tadi aku pulangnya bareng Baska.” Jawabnya sambil mengambil minum yang berada di depannya.

Mereka kembali menyantap makanannya yang berada di depannya itu, menghabiskan waktu 10 menit hingga semuanya selesai makan.

“Sel,” panggil mamanya.

Selasa yang ingin beranjak dari duduknya pun terenti, “iya mah kenapa?”

“Kamu mau ngapain sekarang?”

Selasa befikir sejenak, “hmmm, ga ngapa-ngapain sih mah, kenapa emang?”

“Mama mau ngomong sama kamu, sibuk ga?”

“Engga lah, dimana? disini?” Tanya Selasa sambil menunjuk meja makan, mamanya menjawab dengan anggukan. Selasa kembali duduk di kursinya.

“Kamu mau lanjut kuliah kemana?” Ucap mamanya membuka percakapan.

“Ke UPNVJ, doain ya mah.” Pinta Selasa sambil memamerkan gigi-giginya.

Mama Selasa tersenyum menanggapi jawaban selasa, “Jurusan?”

“Komunikasi.”

“Bagus,” Jawab Mama.

“Iyakan aku jug—”

Potong mamanya, “tapi menurut mama lebih bagus kuliah di Belanda, Sel.”

“Hah? ngapain Belanda dibawa-bawa? jauh banget Belanda.” Kata Selasa dengan dahi yang mengerut bingung.

“Kamu kuliah di Belanda aja, lebih bagus.” Suruh mamanya, Selasa terkejut tidak mau mendengar ucapan mamanya barusan, aneh sekali, Ia baru pertama kali menanyakan Selasa tentang masa-masa SMA nya setelah perempuan itu berada di tingkat akhir, lalu dengan tiba-tiba menyuruhnya melanjutkan kuliahnya di Belanda.

“Gak, ga ada Belanda Belanda, aku mau di UPN.” Ucap Selasa berdiri dari duduknya ingin menuju kamarnya.

Mama Selasa menahan tangan anak perempuannya itu, memintanya untuk tetap berada diposisinya, “apa lagi? kalau cuma mau ngomongin kuliah, aku udah bilang tadi, aku cuma mau di UPN.” Kata Selasa.

“Dengerin Mama dulu Sel, kamu jangan main naik ke kamar, kaya anak kecil aja.” Balas Mamanya, Selasa yang mendengar itupun langsung terhenti.

“Iya apa? Coba mama mau ngomong apa? Kasih tau aku sekarang.” Pinta perempuan itu.

Mama Selasa menarik napasnya sebelum mengatakannya kepada anak perempuannya itu, “Mama cuma mau kamu kulaih di Belanda.”

Selasa menggelengkan kepalanya tidak percaya, “aneh banget, mama suruh aku pulang cepet cuma buat ngomongin ini. Bener-bener aneh. Ngapain ke Belanda coba? ada apa emang?”

“Mama udah pikirin ini mateng-mateng Sel, kamu kuliah disana, kakak kamu bakalan kerja disana juga, begitupun mama.”

“Iya tapi cuma mama kan yang mikirin ini, mama ada ga ajak aku sama kakak buat ikut ngebahas ini? engga kan?” Ucap Selasa menahan air matanya, “mama cuma taunya kerja kerja kerja, iya okay mungkin karena kita hidup cuma bertiga jadi mama mau anak-anaknya hidup dengan berkecukupan, tapi engga gitu mah, aku sama kakak juga mau diperhatiin kaya yang lain, mama jarang ada waktu buat aku sama kakak.” Air mata perempuan itu terjatuh.

“Sekarang aku tanya, kita ke Belanda itu karena mama ada kerjaan disana kan? iya kan?”

Mama Selasa hanya mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut putrinya.

“Aku seneng mama hari ini ada di rumah, aku seneng bisa makan bareng lagi sama mama sambil ngobrol-ngobrol, karena aku juga ga tau udah berapa lama kita ga makan bareng sambil ngobrol kaya tadi. Tapi kalau emang tujuan mamah cuma buat ngomong ini, maaf ya mah, Selasa ga bisa.” Ucap Selasa.

“Bisa ataupun ga bisa, kita tetep harus berangkat ke Belanda, Sel.”