Ini rumah
Delta memberhentikan mobilnya saat mereka sudah berada di depan halaman rumah gadis itu. Zetta menawarkan Delta untuk minum atau sekedar duduk sebentar di rumahnya karena merasa tidak enak sudah memberinya tumpangan.
“Serius gapapa Zet?”
“Gapapa, emang kenapa?”
“Ga enak sama orang tua lo,”
Zetta tertawa mendengarnya, “yaelah santai kali. Nanti duduk aja di ruang tamu, biar gue ke dapur bentar,” katanya saat berjalan menuju pintu rumah.
Saat pintu rumah terbuka, yang mereka saksikan langsung adalah pemandangan dimana Ayah Zetta sedang beradu argumen dengan Zello —adik laki-lakinya, serta beberapa botol minuman beralkohol milik Zetta yang sudah berada di atas meja.
“Kamu kalau liat kakak kamu ga bener tuh dibilangin! kakak kamu cewek tapi kerjaannya minum-minum kayak gini, emang bagus?! Atau kamu juga ikut-ikutan minum kaya gini?!” Ucap Ayah Zetta, suaranya amat jelas di kuping mereka.
Zello menoleh ke arah pintu, melihat bahwa sang kakak sudah pulang dan sedang berdiri disana.
“Gak kamu gak kakakmu kerjaannya bikin pusing terus, yang satu main motor sampe pulang tengah malem, yang satu minum-minum kaya gini! malu saya!” Lanjutnya lalu menoleh ke arah pintu.
Zetta yang mendengarnya sudah terbiasa, sekali atau dua kali dalam sebulan ia akan mendengarkan omelan-omelan tersebut dari laki-laki itu, tapi ia pikir tidak sekarang.
“Pulang juga kamu Zetta!” Ucap Ayahnya, “ngapain kamu minum-minum kaya gini? berguna emang buat kamu? habis-habisin duit saya aja kerjaan kamu!” Lanjutnya sambil berteriak.
Gadis itu masih setia mendengarkan tanpa berniat untuk memotongnya.
“Merasa udah bisa cari uang sendiri?! Saya kuliahin kamu mahal-mahal, bukan buat kamu beli minuman kayak gini! Terus itu baju-bajumu apa?! Kamu mau jadi apa pake baju-baju kaya gitu?! Mau jadi cewek ga bener kamu?!”
“Ayah!” Teriak Zello.
“Biarin Zel,” kata gadis itu.
“Ya memang. Biar kamu sadar kelakuan kamu tuh tidak mencermintan perilaku perempuan baik-baik!”
“Yang ga mencerminkan perilaku baik-baik itu saya atau anda?” Balas Zetta, ia sudah tak tahu apa itu malu, apa itu sakit hati, apa itu kasih sayang, karena sejak saat ia berusia 12 tahun, semuanya telah sirna.
“Kak,” panggil Zello, ia takut Kakak perempuan satu-satunya ini akan menjadi samsak Ayahnya.
“Lihat Zel lihat, orang yang kamu bela kelakuannya seperti itu, kamu lihat Zello!” Ucap Ayahnya.
“Saya ga akan kaya gini kalau bukan gara-gara anda. Anda sendiri yang bikin semuanya jadi kaya gini.” Jelas gadis itu dengan Delta yang masih berada di belakanganya.
Laki-laki itu menyaksikan semuanya, semua yang terjadi di keluarga gadis itu hari ini. Tidak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya bahwa ia akan menyaksikan kejadian seperti ini.
“Ngomong sekali lagi!” Suruh Ayahnya.
“Saya gak akan kaya gini kalau bukan gara-gara anda!” Ulang Zetta.
Setelah Zetta mengucapkan kalimat tersebut, Ayahnya langsung menghampiri Zello bersedia untuk memberinya pukulan.
“Gak usah bawa-bawa adik saya. Ini masalahnya cuma ada di saya dan anda! Hazel masuk kamar!” Suruh gadis itu, yang disuruh hanya diam di tempat.
Ayah Zetta menghampiri gadis itu bersiap untuk memarahinya atas ucapannya barusan.
“HAZEL LO MASUK KAMAR!!” Teriak Zetta, “Del lo balik sekarang!” lanjutnya kepada Delta pelan. Yang diajak bicara malah menggenggam tangan gadis itu.
“Del pulang.” Pintanya lagi.
“Gue ga akan ikut campur, tapi gue disini Zet, gue cuma mau jagain lo kalau Ayah lo main tangan.”
Benar saja. Baru selesai Delta bicara seperti itu, Ayah Zetta sudah menampar pipi anak perempuannya.
Delta yang melihat hal itu sontak berdiri di sebelah Zetta dan melepaskan genggamannya. Tapi gadis itu menahannya.
“Ga tau diuntung jadi anak!”
Delta melihat ke arah Zetta, gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan air mata, malah yang terpancar dari air wajahnya bahwa iya sangat emosi saat ini.
“Udah?” Tanya Zetta, “kalau ada masalah sama saya, jangan pernah bawa-bawa adik saya, dia ga tau apa-apa.” Ucap gadis itu lalu pergi ke arah kamarnya meninggalkan Delta dan Ayahnya.