chiiroses

Minggu pagi Delta sudah berada di halaman Rumah Zetta, menunggu gadis itu keluar dari rumahnya. Hari ini mereka akan olahraga bersama, mungkin lebih tepatnya, Zetta menemani Delta bermain golf karena gadis itu tidak terlalu suka melakukan hal seperti ini.

“Lama ga?” tanya Zetta saat membuka pintu mobil milik Delta.

“Lama banget, gue sampe kering,” canda Delta.

“Yeh, ayo berangkat,” ajak Zetta sambil memasang seat belt.

Suasana minggu pagi kali ini cukup ramai dengan anak-anak bermotor yang sepertinya akan melakukan sunmori atau sunday morning ride, saat lampu merah, banyak sekali anak muda dengan motor-motor yang sudah ia modif menjadi sedemikian rupa.

“Seru banget kayanya pagi-pagi keliling naik motor,” ucap Zetta saat melihat segerombolan anak motor di sebelah mobil Delta.

“Lo mau coba?”

“Coba apa?”

“Muter-muter naik motor di minggu pagi,”

“Mau, tapi gue ga bisa bawa motor,” jawab Zetta sambil tertawa, “jangan ledekin gue ya,” sambungnya.

Delta tertawa mengetahui fakta bahwa gadis di sebelahnya tidak bisa mengendarai motor, Delta pikir, Zetta sangat pandai dengan hal itu.

“Tuh kan, jangan ketawaaa,” ucap Zetta sebenarnya ia pun tertawa karena merasa lucu, anak dua puluh tahun tidak bisa mengendarai motor.

“Kaget aja, gue kira lo bisa,” Delta masih setia dengan tawanya.

“Engga, sumpah tau gitu ga gue kasih tau,”

“Gapapa lagi Ze, ga mesti bisa bawa motor kok,”

“Nah iya kan!!” Semangat Zetta, akhirnya ada yang mengerti pikirannya, bahwa tidak semua orang di muka bumi indonesia ini harus bisa mengedarai motor.

“Nanti kalau lo mau muter-muter naik motor minggu pagi, sama gue aja,” kata Delta yang mendapatkan dua jempol dari Zetta.

“Mantep, gue suka nih,”

Mereka sudah berada di hall 1, Zetta masih tidak percaya hari ini dia melakukan olahraga.

“Untung naik car, Del,” ucap Zetta ketika mereka berada di dalam mobil golf.

“Biar kaki lo ga copot, makanya naik car,”

Zetta tertawa, laki-laki di sebelahnya tahu saja bahwa ia akan melanjutkan perkataannya dengan berkata takut kakinya copot.

“Sumpah, lo dukun ya? Tau aja,”

“Iya nih, kemarin baru buka jasa,”

“Apa sih,” balas Zetta dengan tawanya yang tak kunjung berhenti.

Selama satu jam bermain golf, gadis itu banyak sekali mengoceh, ia bilang kenapa lapangan golf harus seluas ini, kenapa dia mau bermain golf, kenapa ada banyak pohon di sini, dan masih banyak kenapa yang lain.

“Kenapa, kenapa itu kenapa?” tanya Zetta.

Delta menggelengkan kepalanya, gadis di sebelahnya ini benar-benar ada saja pertanyaannya.

“Kak, tau ga jawaban pertanyaan dia?” tanya Delta pada caddy mereka.

Caddy yang ditanya malah ikutan tertawa, bingung harus menjawab seperti apa.

“Ih kan gue nanya nya sama lo,”

“Itu pertanyaan filosofis, Ze, jangan tanya ke gue,”

“Ah males ah,”

“Ganti pertanyaan, yang bisa dijawab,”

“Ini kapan selesainya?” tanya Zetta membuat Delta tertawa kencang sampai membuat caddy yang ada di belakang mereka bingung.

“Maaf kak, dia emang suka ga jelas,” kata Zetta ke caddy.

“Mau udahan aja?”

“Engga, lo main aja, biar gue liatin dari sini,” jawab Zetta, gadis itu memilih untuk tetap duduk di car karena ia sudah terlalu lelah.

Delta datang dengan wajah penuh bahagia karena laki-laki itu mendapat izin untuk mencoret-coret kuku Zetta.

“Muka lo seneng banget,” kata Zetta saat mereka duduk di ruang tamu.

Delta tersenyum sambil menaikan alisnya, “iya dong, coba mana sini liat kukunya,”

Zetta menggelengkan kepalanya tidak menyangka Delta akan sesemangat ini, “nih, awas aja ya Del,”

“Iya, tenang aja bakalan aman,”

Zetta beranjak dari duduknya menuju kamar untuk mengambil keperluan mereka saat menghias kuku nanti. Gadis itu kembali dengan beberapa warna kutek dan hiasan untuk kukunya.

“Nih, jangan belepotan oke!” pinta Zetta.

Delta langsung dengan cepat membuka tutup kutek yang berwarna ungu, lelaki itu ingin membuat kuku Zetta menjadi ungu dan coklat.

“Ungu coklat oke kan?” tanya Delta memastikan kalau Zetta tidak keberatan.

Yang ditanya mengangguk memberi jawaban setuju, Delta melanjutkan aksinya untuk mewarnai kuku Zetta.

Kuku pertama hanya berwarna ungu, rapih dan tidak berantakan, Zetta memberi bintang lima kepada Delta. Sampai akhirnya pada kuku ketiga, laki-laki itu ingin mencampurkan warna coklat dan ungu dalam satu kuku tetapi ia tidak tahu cara membuatnya, alhasil kuku Zetta menjadi tak karuan.

“DEL INI KENAPAAA?” tanya Zetta heboh saat melihat warna kukunya.

“Santai jangan marah-marah, gue hapus dulu,” katanya sambil tertawa tidak bersalah.

Delta melakukan percobaan keduannya, dan hasilnya tetap saja sama, masih berantakan dan sepertinya tidak akan berhasil karena lelaki itu tidak mengeti tekniknya.

“Ze kalau kutek lo habis gapapa?” tanya Delta dengan santainya.

“Menurut lo?”

“Yaudah nanti gue beliin kalau habis, soalnya kemungkinan besar bakalan salah mulu,” balas delta membuat Zetta terkejut.

“Del, yang bener aja? Gilaaaaa,”

Delta memutuskan untuk meminta kepada Zetta untuk mengulang dari awal, dari kuku pertama, dan mengganti warna yang ia pakai.

“Kayanya emang ga bakat pake warna ungu sama coklat, ganti putih aja mau ga?” tanya Delta lagi, hari ini ia banyak bertanya pada Zetta.

“Bebas lo mau pake yang mana aja, asal kuku gue jadi, hahaha,” ucap Zetta.

Pada akhirnya laki-laki itu mengambil kutek berwarna putih, dan mengoleskan kuasnya ke kuku Zetta, rapih sama seperti warna ungu sebelumnya.

“Ze kayanya gue cuma bisa satu warna doang,”

Zetta tidak akan kaget dengan ucapan Delta, karena untuk menggunakan kutek dengan rapih saja memerlukan fokus yang tinggi.

“Iya gapapa, satu warna juga oke, yang penting jadi, gue mau liat hasilnya kaya gimana,”

Delta berhasil menyelesaikan permintaannya sendiri pada kuku Zetta hingga kuku terakhir, walaupun memerlukan waktu tiga puluh menit untuk sepuluh jari Zetta.

“Masa gini doang, Ze,” protes Delta, padahal ia yang membuat.

“Loh ya kan yang buat, lo, terserah mau lo apain, gue terima jadi aja,”

“Bener ya?”

“Iya,” balas Zetta.

Lelaki itu mengambil satu kotak yang berisikan hiasan kuku, ia memilih-milih mana yang sekiranya ia bisa pasangkan ke kuku Zetta, sampai akhirnya ia melihat satu stiker hitam berbentuk love.

“Ze, ini mau ga?” Tanyanya sambil menunjuk stiker tersebut.

“Mau, Tuan, pasang apa aja bebas,” jawab Zetta sambil menundukan kepalanya seperti berbicara kepada raja.

Setelah mendapat jawaban, Delta mengambil stiker itu dengan capitan yang sudah Zetta sediakan, dan menempelkannya pada kuku jari manis gadis itu.

Suara mobil itu terdengar lagi, sangat jelas karena memasuki halaman rumah Zetta. Gadis itu sama sekali belum beranjak dari kasurnya saat ia mendengar namanya dipanggil oleh seorang yang baru saja datang.

“Zetta, turun.” Suruh Ayahnya.

Lelaki itu kembali lagi ke rumah setelah dua minggu yang lalu bilang ingin mengambi mobilnya yang lain.

“Saya tau kamu ada di kamar.”

“Saya cuma mau bicara sebentar sama kamu.”

Gadis itu mempersiapkan dirinya untuk apa yang akan terjadi satu menit kedepan, karena bila mereka sudah berbicara bersama, hal-hal yang tidak diinginkan selalu saja terjadi.

“Apa?” Tanya Zetta ketika dia sudah berada di hadapan Ayahnya.

“Duduk.”

Zetta tidak mendengarkan ucapan Ayahnya, ia rasa mereka tidak cukup dekat sehingga harus duduk di satu sofa yang sama.

“Duduk sebentar, saya ada perlu sama kamu.” Pinta Ayahnya, kali ini suaranya memelan, tidak seperti biasanya.

Zetta duduk di salah satu sofa yang jaraknya dukup jauh dari tempat Ayahnya, “udah, kenapa?”

Ayah Zetta terlihat sedikit gusar ketika ingin mengelurkan suaranya, terlihat dari tangannya yang sejak tadi tidak bisa berhenti bergerak.

“Kenapa? kalau ga ada keperluan, saya mau naik lagi, banyak tugas.” Sahut Zetta karena Ayahnya tak kunjung bicara.

Menarik napas panjang sebelum akhirnya ia mengeluarkan suaranya, “saya mau nikah lagi, kamu sama Zello nanti ikut ke rumah saya, kita tinggal bareng sama Mama kamu yang baru.” Jelasnya.

Zetta tidak bergeming, gadis itu merasa jantungnya benar-benar ingin berhenti berdetak sekarang juga, bagimana bisa lelaki di hadapannya ini dengan tiba-tiba memberi kabar seperti itu.

“Ga, saya ga mau ikut.”

“Siapa yang jaga kamu kalau kamu ga ikut saya?” Tanya Ayahnya.

Zetta tertawa sinis mendengarnya, “siapa yang jaga? Selama ini juga saya ga pernah dijaga sama siapapun kecuali Bunda, kalau mau nikah lagi, yaudah gapapa, asal jangan ajak saya sama Zello buat ikut kesana.” Jelas gadis itu.

“Emangnya kamu bisa apa soal ngejagain Zello, Ta?”

“Selama ini juga saya yang jagain Hazel, saya yang selalu ambil rapot dia, saya yang temenin dia masuk sekolah, saya yang ada disamping dia pas dia sakit. Anda berkonstribusi dimananya buat ngejaga Hazel?”

Lelaki itu menghembuskan napasnya, anak perempuan yang satu ini benar-benar keras kepala, persis sekali dirnya.

“Yaudah, cukup ikut saya makan malam sama Mama kamu, hari sabtu ini.”

“Ga, kalau saya bilang engga, tandanya engga. Saya sama sekali ga mau terlibat hubungan sama istri baru anda.” Tolak Zetta dengan jelas, ia sama sekali tidak ingin kembali mengulang kejadian enam tahun lalu, “dan jangan coba-coba buat ajak Hazel ikut sama anda,”

“Satu lagi, saya ga punya Bunda baru, dan ga akan pernah punya.” Ucap Zetta kemudian pergi meninggalkan Ayahnya.

“Di balkon mau ga?” Tanya Zetta saat Delta baru saja datang.

Malam ini pukul sepuluh malam, Delta baru bisa datang ke rumah Zetta karena ia baru saja menyelesaikan urusan dengan temannya yang lain.

“Mau. Zello ada?” Tanya Delta sambil berjalan di belakang Zetta.

“Hazel belom pulang, paling jam dua belas. Naik duluan aja Del, gue mau ambil gelas sama botol dulu.”

“Gue temenin aja deh,” balas Delta.

Setalah mengambil gelas dan satu botol red wine, Delta dan Zetta sudah berada di balkon rumah gadis itu. Pakaian mereka malam ini benar-benar santai, Zetta yang hanya menggunakan kaos crop serta celana panjang dan Delta yang mengenakan kaos hitam polos serta celana jeans.

“Jangan dibuka dulu, gue mau cek lo udah sembuh atau belum.” Ucap Delta saat Zetta sudah memegang botol itu.

Gadis itu tertawa, “nih cek, gue udah sembuh sumpah.”

Delta mengeluarkan termometer dari dalam sakunya, lalu mengarahkan benda itu ke tangan Zetta, “oke, boleh dibuka sekarang, Nona.” ucap Delta, Zetta cukup dibuat terkejut dengan kata terakhir yang diucapkan oleh Delta.

Gadis di sebelahnya sudah menghabiskan dua gelas wine dan masih setia bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya selama seminggu kebelakangan ini.

“Kadang masih suka ga nyangka kalau bokap gue mau nikah lagi,” ucap Zetta sambil melihat halaman rumahnya dari duduknya.

“Dulu, Bokap gue jarang banget pulang, sekalinya pulang cuma bisa marah-marah dan main tangan, padahal kalau dia cape, dia bisa cerita ke bunda kan, Del, pasti Bunda dengerin. Tapi dia lebih milih main tangan sama anak-anaknya bahkan istrinya sendiri.”

“Dua tahun, selama itu, dia selalu main tangan ke Bunda kalau urusan di kantornya ada yang ga berjalan sesuai rencana awal atau ngeliat rumah berantakan karena Hazel waktu itu masih kecil. Gue yang liat Bunda suka nangis tiap Bokap pulang, rasanya mau banget teriak ke Bokap kalau ini tuh bukan salah Bunda gue, karena Bunda udah jadi orang paling sabar di rumah ini.”

“Sampe puncaknya, waktu gue umur empat belas tahun, Del. Semuanya bener-bener berubah, Bunda gue masuk rumah sakit karena dia nanggung beban banyak banget selama ini, pasti Bunda gue selama itu bener-bener menderita sendirian, gue yakin dia bingung mau cerita ke siapa karena anak-anaknya masih kecil,” Zetta meneteskan air matanya, untuk kali pertama selama hidupnya, ia menceritakan kisah yang dia alami selama ini selain ke Geya, karena Geya merupakan saksi nyata selama perjalanan dia.

Delta tidak berniat memotong semua kata yang Zetta lontarkan, ia masih setia di duduknya mendengarkan semua cerita Zetta.

“Ga lama Bunda dirawat, Bokap gue pulang lagi ke rumah, bahkan waktu dia pulang, dia sama sekali ga nanyain keadaan Bunda di rumah sakit kaya gimana, udah lebih baik atau belom. Tapi yang dia lakuin malah mukul gue karena katanya gue anak yang bandel dan ga bisa nurut.”

“Dan ternyata, hari itu juga jadi hari terakhir gue ngeliat Bunda di dunia ini,” Delta hanya bisa mengelus tangan Zetta, berharap bisa menyalurkan kekuatan kepada gadis itu.

“Gue kangen Bunda, tapi bunda udah ga ada di sini, Bunda udah ga bisa gue liat lagi kecuali dari foto yang ada di kamar gue, Del. Makanya pas pertama kali ketemu Bunda lo, rasanya tuh seneng banget gue diperhatiin lagi, karena selama ini, yang perhatiin diri gue cuma gue sendiri,”

Delta membenarkan rambut Zetta yang menutupi wajah gadis itu karena terbawa angin, “Bunda pergi ninggalin gue waktu umur gue masih empat belas tahun, rasanya mau marah sama Tuhan kenapa ngambil Bunda secepat itu dari gue sama Hazel,”

“Di hari yang sama waktu Bunda pergi ninggalin dunia, ternyata gue juga ngeliat ada anak laki-laki yang mau pergi ninggalin dunianya, kayanya dunia ini emang semenakutkan itu bagi sebagian orang ya, Del?”

Delta mengangguk, dia percaya bahwa dunia pasti pernah menjadi tempat paling menakutkan bagi sebagian orang.

“Awalnya, gua ga mau nyamperin anak itu, karena gue juga lagi berduka karena Bunda pergi ninggalin gue. Tapi gue inget pesan Bunda, kalau ada orang yang butuh bantuan, siapapun, mau kenal dia atau engga, harus dibantu, kareanakita ga akan tau kedepannya gimana, bisa aja orang yang kita bantu jadi ngebantu kita di masa depan, atau karena bantuan kita, ada satu harapan baru di dalam hidupnya.”

“Makanya waktu gue inget Bunda pernah bilang kaya gitu, gue langsung lari nyamperin dia,” gadis itu tertawa mengingat kejadia enam tahun lalu. “Lucu banget, Del. Gue ajak dia beli minum terus kita duduk sambil nangis, kayanya orang-orang yang liat pasti bakal mikir kalau gue sama dia kaya pasangan anak kecil yang berantem gara-gara ga bales chat selama semenit.”

“Awalnya gue ga mau tanya keadaan dia kenapa, karena keadaan gue waktu itu juga lagi ga baik-baik aja, tapi akhirnya tetep gue tanya karena uda terlanjur duduk nangis bareng dia, ternyata dunia dia waktu itu keadaannya sama kaya dunia gue, dia baru aja ditinggal sama Ayahnya seminggu lalu dan Bundanya masuk rumah sakit.”

Zetta menuang air di dalam botol ke dalam gelasnya, “dia bilang, buat apa ada di dunia ini kalau orang-orang yang dia sayang pergi ninggalin dia. Del, asal lo tau, pikiran gue sama dia saat itu bener-bener sama, buat apa sih ada di dunia ini kalau Bunda gue ga ada?”

“Dia mau akhirin dunianya malem itu, tapi gue bilang ke dia, gimana kalau Bundanya dapet kabar anak kesayangannya udah ga ada, gimana keadaanya? harusnya dia nemenin Bundanya, support biar cepet sembuh walaupun gue tau itu sama sekali ga gampang karena dia juga baru ditinggal Ayahnya, tapi anehnya anak laki-laki itu malah ketawa dan bilang makasih ke gue, padahal gue cuma bilang begitu.”

“Terus dia ngajak kenalan, kata dia namanya Alam, pertama kali gue denger namanya langsung ketawa, karena baru pertama kali denger nama orang Alam, tapi sekarang biasa aja karena nama lo juga ada Alamnya jadi menurut gue udah ga unik lagi.” Zetta tiba-tiba tertawa karena mengetahui bahwa ia mempunya teman yang bernama Alam juga.

Delta tersenyum mendengarnya, “anak perempuan yang ngomong pasti bawa gantungan warna coklat di tangan kirinya,” ucap Delta secara tiba-tiba.

Zetta langsung menoleh dengan cepat ke arah Delta, “kok lo tau?”

“Gantungan yang sampe sekarang masih ada, dan dia jadiin gantungan powerbank,” lanjut Delta tanpa menjawab pertanyaan Zetta.

“Del?”

Delta menatap netra hitam milik Zetta, “itu gue Ze. Alam itu gue, anak yang pernah ngobrol sama lo malem-malem sambil nangis terus tiba-tiba ketawa dan ngajak kenalan di deket rumah sakit, itu gue.”

“Gue mau berterima kasih banyak banget sama lo karena omongan lo waktu itu bener-bener ngebuat gue sadar gimana kalau Bunda tau anak satu-satunya pergi ninggalin dia juga, padahal bunda butuh support gue biar cepet sembuh. Kerena omongan lo juga, gue bisa ada di titik ini sampe sekarang.” Jelas Delta membuat Zetta sama sekali tidak berkedip.

Malam itu jadi saksi bisu pertemuan tak terduga mereka enam tahun yang lalu, ternyata bisa menjadi sangat berati bagi hidupnya masing-masing.

Terima kasih karena telah menolong dan terima kasih karena sudah bertahan.

Aku duduk dengan sedikit cemas, takut-takut Hail sudah berada di dalam cafe ini. Terlebih lagi pakaianku saat ini sangat sangat santai seperti ingin ke pantai.

Benar saja, setelah semenit yang lalu aku merapihkan rambutku, dia datang dengan kaos hitam polos, celana jeans dan sendal jepit, benar-benar lebih santai dariku ternyata.

“Kal,” sapa Hail, untung saja dia yang menyapaku duluan.

“Sini Il,” suruhku, agar dia duduk di hadapanku. Sebenarnya saat ini jantungku ingin meledak, kalau bisa terdengar pun sudah pasti suaranya sangat kencang dan cepat, karena malihat Hail di hadapanku dengan baju santainya, dan kami duduk berdua di cafe tanpa ada tujuan yang jelas.

“Emangnya tadi abis dari mana?” tanyaku, padahal aku sudah menanyakannya di pesan singkat kami tadi.

“Rumah temen, Kal. Lo dari tadi?” Kelihatannya dia benar-benar santai sekali berhadapan denganku.

“Lumayan sih, bentar lagi juga pulang soalnya ada tugas.”

Hail hanya menggangguk, aku sampai lupa menawarinya minuman, “eh iya, Il, mau pesen ga?”

“Ga usah Kal, lo bentar lagi juga mau pulang kan?” tanya dia padaku sambil membenarkan rambutnya. Demi Tuhan, dia merapihkan rambutnya tapi kali mengacak-acak jiwaku.

“Loh ya gapapa, kan gue tungguin.” balasku, sebenarnya aku sangat ingin teriak sekarang juga.

“Nanti lo pulangnya kelamaan. Lo naik apa tadi?”

Ya tentu saja aku naik abang gojek kesayanganku, kemana-mana aku selalu menggunakannya, “naik gojek, soalnya gojek teman baikku.”

Hail tertawa, dia tertawa daaannn tawa itu benar-benar manis sekali, aku ingin meleleh karenanya. Oke aku tau ini hiperbola.

“nanti pulang sama gue aja, lumayan hemat ongkos.” Ajaknya, sumpah manusia satu ini bisa tidak diam sebentar dari hatiku, aku benar-benar ingin teriak sekencang-kencangnya kalau saja aku berada di kamar.

“Kasian bensin lo dong?” Tidak masuk akal Kale!

“Kan searah Kal, kenapa harus kasian? Mau ga?” Ajaknya lagi, Hail benar-benar tidak patah semangat sampai mendapatkan jawaban.

“Gue ga bawa helm, seriusss gue ga bawa helm, jadi ga bisa pulang bareng.” Kataku sambil mengambil kopi dihadapanku dan meminumnya.

“Gue kan ga bilang kalau kita naik motor?” Ya tuhan Kaleeeeee, berarti Hail bersama mobilnya? Itu tandanya berarti aku tidak membutuhkan helm untuk pulang dan tidak ada alasan untuk menolaknya.

“Berarti bisa kan?” tanya Hail kepadaku sekali lagi, memastikan.

Mau tidak mau, aku mengiyakan ajakannya. Sebenarnya aku senang sekali pulang bersamanya, tapi untuk kali ini aku mau sendiri karenaaaa dia sangat ganteng dengan pakaian yang ia kenakan, aku tidak tahan bila harus melihatnya lebih lama lagi.

“Temen-temen lo beneran gapapa kalau gue ikut?” Tanya Kale entah yang sudah ke berapa kalinya karena melihat begitu banyak teman Hail yang sedang berkumpul.

“Gapapa Kale, lo mau tanya itu berapa kali lagi? Hahaha,” balas Hail sambil tertawa.

Yang lain sedang asik dengan partnernya masing-masing. Alia bersama Yazi, Kale yakin mereka pasti love hate relationship, karena sepanjang perjalanan yang dilihat Kale kadang Alia tertawa kencang sekali akibat perkataan Yazi atau kadang memukul Yazi saat laki itu menambah kecepatan motornya.

Tak ada bedanya dengan Alia dan Yazi, Hail dan Kale juga seperti itu hanya saja gadis itu tidak seberani Alia untuk memukul Hail saat laki itu menambah kecepatannya. Mereka membicarakan banyak sekali saat di perjalanan.

“Lo kaya gini tuh setiap minggu?”

“Kadang aja Kal, kalau gue lagi luang, kan OSIS sering ada acara,” Kale mengangguk paham, pasti laki-laki di depannya ini sibuk sekali.

“Menurut lo Il, serunya sunmori apa?” Gadis itu tidak berhenti-berhenti bertanya tentang hal yang pertama kali ia lakukan, karena ini kali pertamanya selama tujuh belas tahun Kale di dunia ini melakukan kegiatan seperti sekarang.

Hail tertawa, “refreshing Kal, kalau gue lagi cape sama tugas sekolah atau lagi pusing sama OSIS, sunmori seru sih. Emang lo ga dapet serunya?”

“Ohhhh,” balas Kale sambil menganggukkan kepalanya, Hail dapat melihat hal itu dari spion motornya, “seruuuuu, soalnya rame gitu, apalagi ini bener-bener hal baru di hidup gue!” Kata gadis itu bersemangat.

“kapan-kapan gue ajak lagi kalau gue mau sunmori, lo mau ga?” tanya Hail, pertanyaan itu cukup membuat Kale terkejut karena tandanya dia punya kesempatan berteman dengan Hail setidaknya sampai sunmori selanjutnya.

“Mau lah!! Seru banget, tapi ajak Alia gapapa?”

“Ya gapapa Kal, asal Alia mau, ajak aja.”

Cukup lelah setelah keliling selama satu setengah jam, akhirnya mereka berhenti di Alam Sutera untuk membeli minum dan jajanan yang ada di pinggir jalan.

“Jes, ajak Kale gabung,” suruh Hail kepada Jessy— crush Dehan, sebelunm ia pergi menghampiri teman-teman lakinya.

“Aman Il, ga akan lecet sama gue hahahaha,” balas Jessy sambil menggandeng tangan Kale, “ayo ke sana Kal, temen lo si Alia ada di sana.”

Kale, Alia dan Salsa sedang tertawa karena mendengar lelucon dari Jessy. Lanjut menceritakan Rara— teman sekolah Kale yang sedang menjadi perbincangan hangat oleh sekolah Jessy karena berpacaran dengan tiga orang sekaligus.

“Sumpah emang si Rara anjir banget, bisa-bisanya dua orang dari sekolah gue terus satu lagi dari sekolah lo.” Kata Jessy, mendengarkan Jessy cerita sangat seru,, karena gadis itu sangat asik pembawaannya.

“Rara yang mana sih Al?” Tanya Kale di tengah-tengah percakapan.

“HAH? Lo ga kenal Rara, kal?” Jessy kaget dengan pertanyaan Kale.

Alia sudah tidak heran dengan Kale, “yang selebgram Kal, dulu dia sempet manggil lo pas tau kalau lo adenya kak Bara.” Jelas Alia, “udah biasa Jes, si Kale sama anak sekelas aja suka lupa namanya siapa.” Lanjutnya pada jessy.

“Gokillllll, gue kira ga ada yang ga kenal Rara, hahahaha. Eh tapi lo kenal gue ga Kal? Jangn bilang lo juga lupa lagi.” Tanya Jessy.

“Kenal, lo yang DM gue waktu itu kan? Anak Satu Jaya.” Jessy merasa senang karena ternyata Kale ingat dengannya.

“Kak, kalo sama aku inget ga?” Tanya Salsa ikut-ikutan Jessy.

“Ya kenal dong Sal, lo kan sering ketemu Alia.”

“Eh iya Kal, lo ceweknya Hail ya?” Ucap Jessy yang membuat Kale, Alia serta Salsa kaget.

“Sumpah lo bisa mikir kaya gitu dari mana Jes?” Balas Kale dengan cepat.

Yang ditanya malah tertawa, “hahaha ya gampang aja sih, soalnya kata Hail, dia gamau bawa cewe sunmori kalau bukan ceweknya. Berarti lo cewenya kan?”

Alia sudah menahan dirinya untuk tidak meledek Kale sekarang juga, berbeda dengan Salsa yang penasaran apakah Ketua OSIS di sekolahnya benar-benar berpacaran dengan adik Genta Bara.

“Sumpah, engga Jes, gue temenan doang sama dia.”

“Temen apa temen?” Ledek Jessy yang membuat mereka semua tertawa.

“Temen. Seriusssss.” Jawab Kale sambil mmebuat tangannya membentuk angka V.

Mereka kembali ke posisinya masing-masing, melakukan perjalanan pulang karena hari ini cukup mendung, jadi mereka memotong rute perjalanan.

“Gimana si Jessy? Seru ga?” Tanya Hail saat sudah di motor.

“Seruuu, anaknya emang suka banget cerita gitu ya Il?”

“Iya suka cerita sih kata Dehan, lo juga kan suka cerita Kal.”

“Tapi kayaakkkk kalau Jessy yang cerita tuh seru gitu tau, asik banget anaknya!”

“Ya makanya Dehan suka,” balas Hail.

Entah keberanian dari mana Kale bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini dari mulutnya, “kalau lo, suka gue ga?”

“Apa, Kal?” Ucap Hail kepada Kale, yang ditanya malah menggelengkan kepalanya, meminta Hail melupakan pertanyaannya tadi.

Sekitar lima menit perjalanan sejak Kale minta agar Hail melupakan pertanyaannya, hanya ada hening diantara mereka. Sampai akhirnya mereka harus memberhentikan kendaraannya karena lampu lalu lintas.

“Suka, Kal,” Kata Hail dengan sangat tiba-tiba ketika mereka sedang menunggu lampu yang terpampang di depannya berubah dari merah menjadi hijau.

“Del, mau main yang mana dulu?” Tanya Zetta saat mereka sudah berada di dalam wahana bermain.

“Lo mau yang mana? Gue ikut aja,”

Gadis itu memutari tempat tersebut dan berhenti pada salah satu permainan, “kita mulai sama ini dulu oke? Cek hoki, kalau dapet seratus berarti hoki kita hari ini bagus,” katanya sambil menunjuk permainan tersebut.

“Oke, siapa mau duluan?” Kata Delta.

“Gue,”

Mereka mencoba masing-masing sebanyak tiga kali dan selama tiga kali putaran itu tidak ada yang berhasil memasukan bola ke lubang 100, “ah udah ah, kayanya emang ga hoki hahahaha.” Ucap Zetta sambil tertawa melihat kenyataan bahwa dia hanya bisa memasukan ke lubang nomer 5, 7 dan 15.

“Del main basket yuk,” ajak Zetta, yang diajak mau-mau saja, karena sejak awal ia ingin menemani Zetta menghilangkan jenuh dalam dirinya.

“Ada hukumannya dong,” ucap Delta sebelum Zetta menggesek kartu pada mesin bola basket.

“Boleh, apa?”

“Yang kalah, nyanyi di depan kasir.”

Zetta tidak setuju, bagaimana jika dia kalah? karena dia tidak mahir bermain basket, walupun bukan bermain di lapangan, tetapi sama saja. Jika ia sepakat dengan Delta, sama aja seperti bunuh diri, “GAAKKKK, jangan nyanyi dongggg, yang lain.”

“Yaudah maunya apa?”

“Beli minum ajaa, pasti lo haus kan? Iya kann? Oke minum aja yaaa, apalagi abis main basket pasti capekkkkkk,” pinta gadis itu sepetti anaka kecil yang ingin permen.

“Hahaha yaudah boleh deh,’

Tak terasa ternyata mereka telah menghabiskan seratus lima puluh ribu untuk bermain basket, dan dimenangi oleh Delta, kemudian mereka pindah ke tempat boxing, meluapkan kekesalan Zetta kepada sang Ayah, bermain bom bom car, mencoba hampir setiap permainan yang bisa dimainkan oleh orang dewasa. Hingga akhirnya Delta mengajak Zetta untuk mencoba mengambil boneka sebagai penutupan, tes hoki lagi katanya.

Sisa saldo di dalam kartu tinggal dua puluh lima ribu, mereka hanya bisa melakuakan empat kali percobaan dan berharap bahwa dewa baik hati sedang berpihak kepada mereka.

Zetta yang pertama mencoba, dan gagal, dia kesal karena sepertinya benar-benar hari ini bukan harinya dia. Bergantian dengan Delta, saat percobaan pertama, benar-benar sayang disanyangkan karena nyaris sedikit lagi boneka itu akan jatuh pada lubang.

“Main sekali lagi Ze,” suruh Delta.

“Ga ah, ga bakalan dapet juga sih gue, lo aja.”

Delta mencoba untuk yang kedua kalinya, dan sepertinya dewa baik sedang lewat atau mungkin berpihak kepadanya atau bisa jadi mengabulkan doa Zetta sepuluh detik yang lalu, ‘semoga kali ini dapet’ kata gadis itu.

Dan benar saja, Delta mendapatkan sebuah boneka beruang berukuran sedang. Yang di sebelahnya malah kegirangan karena melihat temannya berhasil mendapatkan boneka dalam percobaan kedua.

“KEREEEEENNNN!!!!!” teriak Zetta yang tanpa sadar memeluk laki-laki di hadapannya itu.

Delta dan Zetta sudah berada di ruang tamu rumah laki-laki itu dengan ayam bakar yang telah dipesan oleh Bunda Delta sebelum mereka memutuskan untuk datang ke rumah Delta.

Bunda Delta— Lita. datang dengan senyuman menghampiri mereka, “Zetta ya?” Tanyanya saat Zetta memberikan salam kepadanya.

“Iya, tante. Aduh, maaf ya tante jadi main kesini.”

“Gapapa cantik, Bunda malah seneng.” Ucap Lita sambil mengajak mereka berjaln ke arah meja makan. “Panggil tante, Bunda aja yaa,” Lanjutnya saat mereka sudah duduk di meja makan.

“Eh, aduh hahaha, ga enak tiba-tiba manggil Bunda.”

“Gapapa ih, Bunda ga ada anak perempuan, jadi rasanya seneng aja kalau dipanggi Bunda.”

Zetta tersenyum kikuk karena merasa bingung harus bagaimana membalasnya, gadis itu mengaggukkan kepalanya tanda bahwa ia setuju, “iya, Bunda.”

Tidak banyak obrolan yang terjadi saat mereka sedang makan, sampai dua menit yang lalu mereka sudah selesai dengan makanannya masing-masing dan Zetta membantu Lita merapihkan alat makan tadi.

“Zetta rumahnya dimana?”

“Di deket perum tiga, Bunda,”

Lita semangat mendengar jawaban Zetta, “wah deket sama rumah temen Bunda, kapan-kapan kalau bunda lagi main kesana, sekalian mampir boleh?”

“Boleh banget dong Bun, ayo nanti main ke rumah aku!” Ajak Zetta.

Delta sejak tadi hanya memperhatikan dua wanita cantik yang sedang berbincang dari ruang tamu rumahnya. Pertama kalinya Bunda tertawa dengan gadis seumuran Delta selain Shabila.

Menghabiskan waktu tiga jam di rumah Delta sudah banyak yang mereka ceritakan, mulai dari ternyata mereka satu kampus yang sama, jurusan di kampus, hal biasa dilakukan saat weekend sampai waktu sudah menujukan pukul sebelas malam, dan Zetta izin pamit pulang ke Bunda.

Malam ini menjadi salah satu malam yang sangat seru bagi Zetta karena setelah sekian lama ia bisa bercerita dengan luas selain bersama Mama Geya, dan siapapun yang melihat Lita dan Zetta akan dengan cepat tahu bahwa Lita sangat senang sekali dapat berbincang langsung dengan gadis yang selalu Delta ceritakan.

Malam itu, benar-benar menjadi malam pertama Ragil dan Jule bertemu kembali setelah dua tahun yang lalu mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi.

Gadis berusia dua puluh tahun dengan kaos oversize kebanggaannya, celana jeans kulot berwarna hitam serta rambutnya yang tidak pernah ia biarkan panjang, duduk berjarak tiga meja dari laki-laki yang baru saja mengirim pesan kepadanya.

Ragil— laki-laki yang sejak pertama masuk ke dalam cafe itu tidak bisa melepaskan pandangannya kepada gadis berambut pendek yang jaraknya cukup jauh. Melihat dari belakang saja sudah cukup membuatnya tenang. Tenang bahwa gadis itu terlihat baik-baik saja tanpanya, walaupun sebaliknya, ia sama sekali tidak baik-baik saja tanpa gadisnya.

“Ragil, sini!” panggil Jule, suaranya tidak ada yang berubah, masih sama lembutnya bagi Ragil.

“Apa kabar, Le?”

Gadis yang diajak bicara hanya tersenyum melihat wajah lawannya, “kabar baik, Gil, lo gimana?”

“Ya kaya gini, baik,” Balasnya tanpa memutuskan kontak mata pada lawannya. “Namanya Dewa?”

“Iya, Dewa. Tunggu sebentar ya Gil, kayanya bentar lagi juga dia balik.” Ragil hanya mengangguk. Rasanya seperti mimpi bisa bertemu dengan gadisnya lagi. Tuhan seperti mengabulkan doanya untuk bertemu dengan Jule, walau gadis itu sudah tidak lagi miliknya.

“Kenalin, Ragil, ini Dewa. Dewa, ini Ragil.” Katanya saat Dewa sudah berada diantara mereka.

Kedua laki-laki itu berjabat tangan dan keduanya tersenyum. “Mantan Jule ya?” Tanya Dewa yang cukup membuat kaget Ragil dan Jule.

“Eh kok?” Balas Ragil bingung.

“Dulu jule suka cerita.” Jawab Dewa dengan senyum yang tak hilang.

Bunyi ponsel Dewa memecahkan kecanggungan antara Ragil dan Jule, “Aku kesana sebentar ya Jul, ada call dari HIMA.”

Hening, mereka berdua kembali diam akibat perkataan Dewa tadi. Sampai akhirnya Ragil membuka suara, “kuliah gimana Le? Lancar?”

“Lancar Gil, Belanda gimana?”

“Syukur kalau lancar,” Katanya sambil membuka ponselnya karena mendapatkan sebuah notif, “Belanda seru sih, tapi ga seseru bayangan gue.” Jule hanya mengangguk tanpa berani melihat wajah Ragil. Entah mengapa, padahal awalnya Jule yang bersemangat menyapa laki-laki ini.

“Bunda apa kabar Le?”

“Baik, sekarang makin jarang pulang ke rumah, soalnya bunda pindah dinas ke Bandung.” Jelasnya.

Laki-laki itu terdiam, memikirkan bagaimana keadaan Jule sekarang saat ia harus ditinggal oleh bundanya “Jule masih takut ga ya kalau di rumah sendirian malem-malem? Kalau lagi ga ada bunda, sekarang Jule nginepnya di rumah siapa? Jule masih suka minta martabak malem-malem ga ya? Terus nanti siapa yang beliin?” Pikiran Ragil buyar saat Dewa kembali menghampiri mereka. “Ada Dewa, Gil, sekarang Jule punya Dewa.”

“Jul, ternyata aku ada rapat HIMA dadakan, kamu masih mau disini atau gimana? Kalau masih mau disini, nanti aku jemput lagi selesai rapat.” ucap Dewa sambil memasukan laptopnya.

“Aku ikut kamu aja, Wa,” jawab gadis itu, “Ragil duluann ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi.” Lanjutnya pada Ragil.

Melihat gadisnya pergi menjauh dengan orang lain sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Ragil selama ini, sampai akhirnya ia menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri bahwa Jule sudah bukan miliknya.

Menghabiskan waktu tiga tahun bersama Jule, merupakan tiga tahun terbaik bagi Ragil. Dan dua tahun terakhir yang ia jalani sekarang, masih belum cukup untuk menghapus semua hal tentang gadis itu dalam hidupnya.

“Doaku di delapan belas tahunnya kamu sepertinya tidak terkabul, semoga selalu bahagia dimanapun dan dengan siapapun, Le.”

Seperti biasa, pagi ini— saat matahari baru saja memancarkan cahayanya dari arah timur. Seorang laki-laki bertubuh tinggi yang mempunyai mole di wajahnya membuka matanya melihat sekitar.

Hari kamis, hari terakhir mereka di sekolah, hari terakhir mereka melakukan Ujian Nasioal, hari terakhir mereka mengenakan setelan putih abu-abu kebanggaannya. Lelaki itu mengambil ponselnya yang berada di sebelah ranjang kasurnya. Melihat beberapa notif yang muncul dari grup kelas dan salah satu notif yang sangat ia tunggu setiap harinya.

Membuka ponsel dan membalas pesan-pesan yang masuk, merupakan salah satu kegiatan yang ia lakukan setiap pagi hari. Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya— ketika melihat salah satu chat WhatsApp paling atas, dari gadisnya.

Ah iya, kita sampai lupa berkenalan. Izinkan saya memperkenalkan ia sebentar ya? Perkenalkan, namanya Mandala Ragil Lenteralega, nama yang bagus bukan? Ah tidak usah dijawab, hahaha. Panggil saja Ragil, atau mungkin kalian mempunyai nama khusus untuknya? Terserah saja, tapi saya akan memanggil ia Ragil.

Sebelum beranjak lebih jauh, izinkan saya ingin memperkenalkan satu orang lagi ya? Namanya Juliete Zinedine— perempuan yang memiliki senyum tercantik di alam semesta ini kata Ragil, laki-laki ini bisa saja. Cukup panggil ia dengan Jule saja ya teman.

Setelah Ragil membalas pesan dari Jule yang mengabarkan bahwa dia tidak perlu terburu-buru saat ingin menjemputnya nanti, karena hari ini merupakan hari terakhir sebelum mereka lulus dari Sekolah Menengah Atas yang mereka tempuh selama 3 tahun terakhir.

Setelah 30 menit berkutat dengan dirinya. Ragil mengeluarkan mobil dan segera berangkat menuju rumah Jule.

Di perjalanan pagi ini, BSD terlihat ramai dengan orang-orang yang akan melakukan aktivitas mereka setiap harinya. Jule sudah duduk di jok sebelah Ragil dengan setelan baju putih abu-abu yang dipakai untuk terakhir kali.

Selama perjalanan, mereka menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang seputar masa-masa saat SMA, padahal mereka belum menyelesaikan ujian terakhir hari ini, tetapi terasa seperti sudah menyelesaikan masa SMA setahun yang lalu.

“Bener-bener ga kerasa ya Gil, hari ini udah UN terakhir.” Ucap Jule dengan suara khasnya.

Ragil tersenyum mendengar suara gadisnya, “iya, Le, cepet banget ya.”

“Nanti pas ujian udah kelar, angkatan jadi kumpul?” Tanya Jule yang dijawab dengan anggukan oleh Ragil.

“Ohhh, gue agak males deh ikut kumpul-kumpul gitu, tapi kalau gue ga ikut kumpul, gue ga enak sama temen-temen yang lain, sama kamu juga.” Ucap perempuan itu sambil membuka botol minum yang ada di sebelahnya, botol yang selalu Ragil bawa untuk Jule.

“Lo males gaaa?” Tanya Jule lagi.

Ragil mengajwabnya dengan anggukan.

“Jule,” panggil Ragil.

Jule yang mendengar namanya dipanggil pun segera menoleh, “iya Gil, kenapa?” Ragil hanya menggelangkan kepalanya.

“Ga jelas sumpaahhhh.”

Mereka telah sampai di sekolah, melakukan ujian pada pukul 08.00 pagi. Ruang ujian Jule dan Ragil berbeda, karena urutan nama mereka pun sudah berbeda, Juliete dan Mandala.

Setelah selesai dengan Ujiannya, beberapa anak-anak ada yang segera menuju ke kantin, lapangan, atau bahkan kamar mandi, sambil menunggu jam 11 untuk kumpul di aula sekolah.

Pukul 11, seluruh siswa-siswi sudah berkumpul di aula sekolah. Dengan ketua angkatan— Mandala Ragil Lenteralega, yang berada di barisan paling depan menghadap ke arah teman-teman angkatannya.

Ragil, laki-laki itu merupakan ketua angkatannya, bukan ketua OSIS pada periodenya. Di SMA mereka terdapat dua ketua yang di buat oleh sekolahnya. Pertama, ketua OSIS, yang bertugas untuk mengurus siswa-siswi sekolah, sedangkan ketua angkatan untuk mengurus setiap angkatannya masing-masing.

Di depan sana, Ragil berbicara tentang 3 tahun yang telah dilalui bersama, tentang kebersamaan mereka, mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada mereka semua yang telah bersama selama 3 tahun terakhir, yang ditutup dengan acara perpisahan, pelukan dan tangis.

Setelah diri mereka selesai dengan emosi yang dibangunnya tadi, mereka segera berjalan ke arah lapangan dengan orang-orang terdekatnya. kembali tertawa karena guyonan-guyonan yang dibuat oleh teman-teman yang lain.

Beberapa siswa laki-laki menyalakan smoke boom berwarna-warni, menghiasi langit lapangan dengan warna-warna indah yang keluar dari benda kecil tersebut. Mereka bernanyi bersama, serta mencoret-coret baju yang dikenakannya dengan pilox serta spidol yang diberikan oleh salah satu panitia acara tersebut.

Melakukan sesi coret-coretan merupakan salah satu hal yang amat sangat di nanti oleh siswa akhir di Sekolah Menengah Atas. Mengenang kebersaaman yang telah dilalui, masalah-masalah yang pernah terjadi selama tiga tahun terakhir, serta mengabadikan moment tersebut dengan kamera agar suatu saat dapat dikenang kembali.

Saat semua telah selesai dengan mencoret-coret baju mereka, di ujung lapangan sekolah, ada dua makhluk Tuhan yang sedang berbicara sedikit serius. Siapapun yang melihatnya, dapat dengan jelas tahu bahwa mereka sedang berbicara hal yang penting.

“Gapapa Le, ke Bandung aja.” Jawab Ragil tetap dengan senyum yang mengembang di wajah indahnya.

Jule semakin tidak enak dengan jawaban laki-laki itu, karena mereka berdua sudah berjanji akan liburan bersama saat Ujian Nasional telah usai. Menghabiskan waktu untuk pergi ke pantai, serta melakukan list yang sudah Jule buat sebelum Ujian Nasional.

“Terus list kita gimana? kan kita mau lakuin mulai minggu ini.” Jawab Jule dengan sedikit kesal, karena sang bunda— baru saja memberi kabar kepadanya saat UJian Nasional telah selesai, bahwa mereka akan menetap di Bandung selama dua minggu kedepan.

“Nanti, kalau kita tetemu lagi.” Jawabnya sambil membenarkan helaian rambut Jule yang menutupi wajah cantiknya akibat terbawa angin.

“Lamaaaaa, masih dua minggu lagi.” Ragil yang mendengar jawaban itu kembali tersenyum, sekarang, senyum yang terbentuk dari wajahnya sedikit berbeda.

“Jule, aku mau ngomong boleh?” Tanya Yoga hati-hati, ia tahu perasaan gadisnya ini sedang tidak baik sekarang.

“Yaaaa boleh, apa emang?”

“Aku izin pamit ya,” Ucap laki-laki berpostur tinggi di hadapan Jule.

Jule yang mendengar ucapan tersebut mengerutkan dahinya bahwa ia tidak paham maksud dari perkataan tersebut, “pamit?” Tanyanya masih dengan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya.

“Iya, aku izin pamit ya, Le,”

“Pamit kemana? ke temen-temen kamu?” Tanya Jule setelah ia mengambil keputusan atas pikirannya tadi, mungkin Ragil hanya ingin pamit bertemu dengan teman-temannya yang lain sebelum lulus.

“Pamit. Le, pamit dari hidup kamu. Izin ya?” Suara Ragil bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut, ia tak berani menatap mata gadisnya itu.

“Kenapa? Kamu mau kemana emang?” Ucap Jule yang tidak percaya bahwa kalimat tersebut yang akan keluar dari mulut Ragil. Perempuan itu sedang menahan air matanya agar tidak terjatuh saat ini juga.

“Pergi ke Belanda Le.” Jawab laki-laki itu, ia tahu gadis dihadapannya ini sedang menahan air matanya agar tidak jatuh, pun sebaliknya. Ia takut bila melihat mata gadisnya, air matanya akan jatuh juga.

“Ngapain ke Belanda? Berapa lama?” Tanyanya dengan suara yang bergetar, mereka sama sekali tidak berani mentap satu sama lain.

“Pindah Le, gatau sampai kapan, aku pindah ke Belanda sama papi.”

Bagaikan tersambar petir di siang hari, tubuh Hera kaku saat mendengarnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa laki-laki di hadapannya harus pergi, ah bukan pergi, tapi pindah ke Belanda, dan baru memberi tahunya saat hari terakhir di sekolah, dimana seharusnya mereka menghabiskan hari tersebut dengan senyuman yang terukir di wajahnya masing-masing.

“Kenapa baru bilang Gil?” Tanya Jule bersamaan dengan air mata yang terjatuh di pipi indahnya. Ragil dapat melihat air mata gadisnya jatuh.

“Maaf Le, aku gamau buat ujian kamu ke ganggu.” Balas Ragil, dan memberanikan diri melihat ke arah mata Jule.

Ia melihat mata gadisnya yang cantik sudah berwarna merah akibat air mata yang ia buat. Rasanya sakit sekali melihat perempuan yang ia sayangi harus menangis akibat ucapannya sendiri.

“Le, liat gue.” Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, dan tak berniat menengokan kepalanya ke arah laki-laki itu.

“Liat aku ya, Le,” pintanya lagi, kali ini dengan suara yang amat lembut. Mati-matian Ragil menahan air matanya agar tidak jatuh saat mata mereka bertemu.

Ditatapnya perempuan itu, perempuan yang menghabiskan waktu bersamanya selama masa SMA, perempuan dengan banyak cerita dan pemilik senyum paling indah, dengan mata yang sangat cantik saat tersenyum, perempuan yang membuat masa SMA nya lebih berwarna karena ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya.

“Aku mau ngomong sebentar sama kamu, habis ini, kamu mau marah sama aku, silahkan Le. Tapi aku mau liat muka kamu pas aku ngomong ini.” Ucap Ragil, ia menghembuskan nafasnya berat.

“Le, aku tahu aku jahat banget ngomong kaya gini sekarang, di hari yang harusnya kita habisin buat ketawa-ketawa sama temen-temen yang lain,” ucap Ragil, saat ini matanya ia arahkan ke langit sebentar agar tidak menete di hadapan Jule.

“Makasih ya Le, makasih udah luangin waktu kamu selama tiga tahun buat aku, makasih udah mau hari-harinya di isi sama aku juga. Le, aku pergi bukan berarti hati aku ikut pergi juga, hati aku tetep ada di kamu, aku tinggalin di sini buat kamu. Tapi maaf ya Le, maaf harus ninggalin kamu, maaf aku pamit di waktu yang kaya gini. Tiga tahun bener-bener bukan waktu yang sebentar, kenal sama kamu, deket, bahkan bisa sampai ada di titik ini itu salah satu hal yang paling indah di hidup aku Le. Maaf harus ninggalin kamu dengan janji-janji yang ada di list yang kamu buat sebelum ujian. Kata maaf emang ga bisa bikin ini semua balik kaya semula, tapi, Le, aku minta maaf ya, maaf ya cantik, maaf ga bisa nepatin janji-janji kita, maaf ga bisa liat kamu masuk univ nanti, maaf ga bisa nemenin kamu ospek. Tapi yang perlu kamu inget, kalau kamu capek, sedih, marah, kecewa, jangan sungkan buat hubungin aku lagi ya? kalau nanti kamu ngerasa jatuh dan kecewa sama apa yang kamu dapat, inget selalu Le kalau aku selalu jadi pendukung kamu nomer satu dan ga akan pernah berubah, kamu paling hebat Le. Aku seneng bisa kenal kamu, Makasih dan maaf ya cantik. Sore ini aku pamit.”

Setelah selesai dengan ucapannya itu, Jule langsung memeluk Ragil, dan tangis yang daritadi Ragil tahan, runtuh juga saat itu. Jule menangis sambil memeluk laki-lakinya untuk yang terakhir kali.

'Sore ini aku pamit.' kata-kata itu berputar di kepala Jule, hari ini, hari terakhirnya bisa melihat wajah kesukaannya, laki-laki yang selalu mendengarkan segala keluh kesah Jule, yang selalu memberi support kepadanya dalam keadaan apapun, ternyata harus pergi sore ini.

Menghabiskan waktu 3 tahun bersama dengan seseorang bukan merupakan hal yang sebentar, 3 tahun bersama dengannya membuat Jule belajar, bahwa tidak semua yang ia inginkan dapat disuarakan, bahwa setiap insan di dunia dapat berubah menjadi lebih baik.

Baginya, laki-laki itu bukan hanya sekedar pacar yang hanya dapat dia pamerkan di social media. Baginya, Ragil adalah sosok yang dapat mengubahnya melihat dunia, melihat segala sesuatu tidak dari satu sisi, mengajarkannya mengalah dan berjuang.

Tapi pada akhirnya, Ragil pula yang yang mengajarkannya untuk mengikhlaskan. Mengikhlaskan bahwa tidak selamanya ia akan tetap bersamanya, merelakannya pergi dari hidupnya.

Terima kasih Lenteralega, terima kasih sudah menjadi cahaya di masa SMA ku, terima kasih sudah pernah hadir, terima kasih atas semua waktu yang kau habiskan untukku. Terima kasih ya Ragil, terima kasih sudah mau pamit. Untuk keberangkatanmu nanti, maaf, aku masih belum siap untuk melihatnya. Semoga selamat sampai tujuan, sayang.