Gadisnya, bukan milikku.

Malam itu, benar-benar menjadi malam pertama Ragil dan Jule bertemu kembali setelah dua tahun yang lalu mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi.

Gadis berusia dua puluh tahun dengan kaos oversize kebanggaannya, celana jeans kulot berwarna hitam serta rambutnya yang tidak pernah ia biarkan panjang, duduk berjarak tiga meja dari laki-laki yang baru saja mengirim pesan kepadanya.

Ragil— laki-laki yang sejak pertama masuk ke dalam cafe itu tidak bisa melepaskan pandangannya kepada gadis berambut pendek yang jaraknya cukup jauh. Melihat dari belakang saja sudah cukup membuatnya tenang. Tenang bahwa gadis itu terlihat baik-baik saja tanpanya, walaupun sebaliknya, ia sama sekali tidak baik-baik saja tanpa gadisnya.

“Ragil, sini!” panggil Jule, suaranya tidak ada yang berubah, masih sama lembutnya bagi Ragil.

“Apa kabar, Le?”

Gadis yang diajak bicara hanya tersenyum melihat wajah lawannya, “kabar baik, Gil, lo gimana?”

“Ya kaya gini, baik,” Balasnya tanpa memutuskan kontak mata pada lawannya. “Namanya Dewa?”

“Iya, Dewa. Tunggu sebentar ya Gil, kayanya bentar lagi juga dia balik.” Ragil hanya mengangguk. Rasanya seperti mimpi bisa bertemu dengan gadisnya lagi. Tuhan seperti mengabulkan doanya untuk bertemu dengan Jule, walau gadis itu sudah tidak lagi miliknya.

“Kenalin, Ragil, ini Dewa. Dewa, ini Ragil.” Katanya saat Dewa sudah berada diantara mereka.

Kedua laki-laki itu berjabat tangan dan keduanya tersenyum. “Mantan Jule ya?” Tanya Dewa yang cukup membuat kaget Ragil dan Jule.

“Eh kok?” Balas Ragil bingung.

“Dulu jule suka cerita.” Jawab Dewa dengan senyum yang tak hilang.

Bunyi ponsel Dewa memecahkan kecanggungan antara Ragil dan Jule, “Aku kesana sebentar ya Jul, ada call dari HIMA.”

Hening, mereka berdua kembali diam akibat perkataan Dewa tadi. Sampai akhirnya Ragil membuka suara, “kuliah gimana Le? Lancar?”

“Lancar Gil, Belanda gimana?”

“Syukur kalau lancar,” Katanya sambil membuka ponselnya karena mendapatkan sebuah notif, “Belanda seru sih, tapi ga seseru bayangan gue.” Jule hanya mengangguk tanpa berani melihat wajah Ragil. Entah mengapa, padahal awalnya Jule yang bersemangat menyapa laki-laki ini.

“Bunda apa kabar Le?”

“Baik, sekarang makin jarang pulang ke rumah, soalnya bunda pindah dinas ke Bandung.” Jelasnya.

Laki-laki itu terdiam, memikirkan bagaimana keadaan Jule sekarang saat ia harus ditinggal oleh bundanya “Jule masih takut ga ya kalau di rumah sendirian malem-malem? Kalau lagi ga ada bunda, sekarang Jule nginepnya di rumah siapa? Jule masih suka minta martabak malem-malem ga ya? Terus nanti siapa yang beliin?” Pikiran Ragil buyar saat Dewa kembali menghampiri mereka. “Ada Dewa, Gil, sekarang Jule punya Dewa.”

“Jul, ternyata aku ada rapat HIMA dadakan, kamu masih mau disini atau gimana? Kalau masih mau disini, nanti aku jemput lagi selesai rapat.” ucap Dewa sambil memasukan laptopnya.

“Aku ikut kamu aja, Wa,” jawab gadis itu, “Ragil duluann ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi.” Lanjutnya pada Ragil.

Melihat gadisnya pergi menjauh dengan orang lain sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Ragil selama ini, sampai akhirnya ia menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri bahwa Jule sudah bukan miliknya.

Menghabiskan waktu tiga tahun bersama Jule, merupakan tiga tahun terbaik bagi Ragil. Dan dua tahun terakhir yang ia jalani sekarang, masih belum cukup untuk menghapus semua hal tentang gadis itu dalam hidupnya.

“Doaku di delapan belas tahunnya kamu sepertinya tidak terkabul, semoga selalu bahagia dimanapun dan dengan siapapun, Le.”