“Jadinya lo mau beli apa?” tanya Zetta ketika mereka sudah berada di dalam mall.
“Kayanya sepatu Zee, soalnya si Eja ngode minta sepatu hahaha,”
“Yaudah ayo, kita cari sepatu dulu, abis itu baru kita muter-muter sampe kaki kita mau putuuuuss.” Ajak Zetta.
Memasuki satu persatu store sepatu yang ada, hingga akhirnya mereka menjatuhkan tatapannya pada salah satu sepatu yang berada di tengah store terakhir dengan tulisan “New Edition”
“Ze, ini bagus ga?” tanya Delta, lelaki itu sejak tadi selalu menanyakan pendapat Zetta saat memlih sepatu yang ia rasa bagus.
“Baguuuuusss, ini mau gaa? Tapi Eja suka ga sih?”
“Suka sih, dia biasa pake yang setipe kaya gini,” jawab Delta membuat Zetta mengangguk setuju.
“Yaudah ini aja,” balasnya, “Kak, ini ada ukuran empat pulu dua ga?” tanya Zetta kepada penjaga toko itu.
“Ada Kak, sebentar ya saya ambil dulu.” Jawab penjaga toko sambil pergi menuju gudang sepatu tempat ia bekerja.
Setelah Delta meyakinkan diri lagi untuk membeli sepatu tersebut, mereka segera menuju kasir untuk melakukan transaksi dan segera melakukan rencana awal mereka untuk berkeliling mall ini sampai kaki mereka ingin putus.
Zetta memasuki toko mainan anak, Delta yang sejak tadi hanya mengikuti dari belakang pun sudah tidak heran kemana tujuan gadis itu, yang pasti ia hanya terus mengikutinya dan kembali mengantarkan Zetta selamat sampai rumah.
“Del, ini lucu,” tujuknya pada salah satu mainan bongkar pasang milik anak kecil, “eh, tapi ini juga lucu. Kenapa sih mainan anak kecil lucu-lucu,”
“Zee, udah ayo makan dulu. Tadi kan lo ribut laper,” ajak Delta karena sejak tadi Zetta hanya mengelilingi mall.
Gadis itu segera memutar badannya yang baru saja menuju ke tempat tembak-tembakan, “LET'S GO!!” ucapnya.
Mereka menuju salah satu tempat makan cepat saji, padahal sejak tadi, Zetta sama sekali tidak berteriak ingin mengisi perutnya, mungkin ia lupa karena sedang asik sendiri, hingga ketika mereka sedang menunggu makanan yang sudah dipesan, gadis itu kembali mengoceh bahwa ia sudah menahan lapar sejak dua jam yang lalu.
“Sumpaaahhh, kenapa ini lama banget? Gue udah mau pingsan nih,” ucap Zetta sambil berpura-pura sudah tidak kuat menahan hawa laparnya.
“Tadi aja pas lagi muter-muter ga ada tuh teriak-teriak laper,”
“Sebenernya tuh laper, cuma apa yaaaa, kaya masih bisa ditahan, terus sekarang udah sedikit lagi bisa nahannya,”
Delta melihat mba-mba yang sedang menulis pesanan meja sebelah mereka, “udah ga kuat? Mau gue beliin roti dulu ga?”
“Yehhh ga usah, gue masih bisa nahan ,” balasnya sambil memberikan jempol kanannya kepada Delta.
Makanan kali ini terlihat sangat lezat bagi Zetta, karena ia menyantapnya saat sendang lapar-laparnya, membuat rasa hidangan yang ia makan benar-benar menajdi dua kali lipat lebih terasa.
Di depannya, Delta sesekali tertawa karena Zetta selalu berkata “sumpah enak banget!” setiap dia memasukan satu sendok makanan ke dalam mulutnya.
“Makan dulu, ngocehnya dilanjut nanti,” suruh laki-laki itu, Zetta jawab dengan mengangguk karena saat ini mulutnya sedang penuh dengan makanan.
Seperti orang-orang pada umumnya, mereka tidak lansung beranjak dari tempat duduk, karena makanan yang baru saja dimakan pun belum sepenuhnya turun.
Gadis itu kembali bercerita tentang kalau saja ia memiliki adik perempuan, sudah pasti dia dan adiknya akan sering menghabiskan waktu bersama, entah melakukan shopping, nail art, menonton film, atau bahkan mendengarkan kisah cinta adiknya. Karena Hazello sama sekali tidak bisa diajak melakukan hal-hal seperti itu.
“Ini mau langsung pulang apa muter-muter lagi?” tanya Delta saat mereka sudah keluar dari tempat makan itu.
“Kayanya pulang aja Del, soalnya gue udah capek keliling,”
“Oke pulang ya?” tanyanya lagi memastikan.
“Iya, Delta.”
Malam ini BSD tidak seramai yang Zetta bayangkan, mungkin karena ini bukan malam minggu, jadi tidak terlalu banyak yang keluar pada malam hari. BSD benar-benar lenggang, Delta bisa dengan jelas mendengarkan suara yang ketikan yang keluar dari ponsel Zetta, sepertinya gadis itu sedang sibuk membalas pesan.
“Kenapa?” tanya Delta hanya ingin memastikan bahwa gadis yang duduk di sebelahnya baik-baik saja.
“Gapapa, cuma ini si Geya nanya gue dimana soalnya dari tadi ga bisa dihubugin,” sejak mereka sampai di mall hingga mereka kembali lagi ke dalam mobil untuk pulang, ponsel Zetta sudah mati total, gadis itu masih saja sering meninggalkan powerbanknya di mobil Delta.
“Udah ngasih kabar kan?”
“Udah, ini lagi diomelin sama dia, hahaha,” jawab Zetta, baginya Geya benar-benar seperti orang tua yang sibuk mencari anak kecilnya yang hilang. Ia mendaptkan banyak sekali panggilan tak terjawab.
“Bilang, sebentar lagi sampe rumah, aman kok,” ucap Delta sambil mengendari mobilnya.
Benar saja, lima belas menit kemudian Delta sudah menepikan mobilnya di depan rumah Zetta, gadis itu mengajak Delta untuk turun sebentar karena ada titipan dari Hazello untuknya.
“Gue ambil titipan Hazel dulu ya,” ucap Zetta, gadis itu segera menuju kamarnya mengambil sebuah hoodie hitam dengan bordiran D di dada kirinya.
Zello memberikan hoodie itu karena ia pernah menantang Delta untuk mengerjakan soal, dan apa bila skor diantara mereka lebih tinggi, yang kalah harus memberikan apapun yang diinginkan pemenang. Sebenarnya Delta juga tidak ingin meminta apa-apa dari Zello, karena ia mengiayakan ajakannya benar-benar tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tapi Zello tetaplah Zello, laki-laki itu memaksa Delta untuk meminta sesutu dari dirinya, akhirnya Delta meminta hoodie dengan bordiran D di dada kirinya.
“Nih,” Zetta memberikan paperbag yang sudah ia bawa, “gue ikut serta dalam pembuatan huruf D di hoodie itu tau,” ucap Zetta sambil duduk di kursi seberang Delta.
“Oh ya?”
“Iya, gue sih cuma ngerancang warna sama font, tetep tukang jahit yang buat, hahahaha,” sahut gadis itu sambil tertawa.
“Zee,”
“Apa?”
“Gue gatau gimana ngomong serius sama lo,” ucap Delta sambil membenarkan posisi duduknya.
“Ya tinggal ngomong ga sih?”
“Lo pernah kepikiran gue ga pas lagi ngelakuin sesuatu? Kaya tiba-tiba terlintas nama gue di kepala lo?” tanya Delta, ia benar-benar tidak basa basi, “kalau gue sering, sering tiba-tiba kepikirian tentang lo,”
Zetta tidak tahu harus merespon seperti apa, karena ia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini mengucapkan hal itu. Sejujurnya, Zetta juga sering kali memikirkan Delta, bagaimana bisa selama delapan bulan kenal dengannya tapi tidak satu hari pun Zetta memikirkan Delta.
Bagi Zetta, Delta sudah memiliki posisi di hatinya, sama seperti Geya, dan Zello yang sudah lebih dulu mempunyai tempat di sana.
“Tiba-tiba banget nanya gini, kenapa?” balas Zetta sekenanya.
“Pernah ga, Zee?” tanyanya lagi sambil tertawa.
“Ya pernah lah, ya kali selama kita temenan gue ga pernah mikirin lo,” suasana ruang tamu gadis itu jadi terasa lebih dingin karena percakapan mereka.
“Gue mau sering hadir di pikiran lo, gue juga mau diganggu hari-harinya sama lo, gue mau setiap harinya gue selalu ada lo Zee,” kata Delta sambil menatap Zetta.
“Del,”
“Mau ga, Zee?”
“Delta, jujur kalau lo tanya mau atau engga, kemungkinan besar jawabannya bakalan mau, harusnya lo tanya bisa atau engga,” jawab Zetta.
“Bisa ga, Zee?” tanya Delta, lagi, karena gadis yang diajak bicara memintanya bertanya dengan pertanyaan itu.
“Engga,” jawab Zetta dengan senyum di wajahnya.
Delta cukup terkejut dengan kata yang Zetta lontarkan, “kenapa?”
“Jawabannya bener-bener ada di depan mata Del, gue masih stuck di masa lalu gue sedangkan lo udah bisa ngelanjutin semuanya, gue masih ada di diri gue yang enam tahun lalu, semuanya masih bener-bener jelas di kepala gue. Kalau seandainya gue maksa buat biarin lo hadir di sini, yang udah-udah pasti bakalan keulang.”
“Gue gamau bikin lo ngerasain apa yang seharusnya ga lo rasain, karena kalau lo masuk ke kehidupan gue, lo pasti bakalan banyak banget berkorban dan gue gamau itu kejadian.” Jelas Zetta, gadis itu benar-benar tidak ingin memebuat Delta harus merasakan sakitnya berkorban demi dirinya, atau menanggung hal yang sebenarnya tidak perlu ia tanggung.
“Tapi gue terima semuanya Zee, semua yang ada di diri lo walupun lo masih stuck di enam tahun lalu, gue mau dengerin cerita lo di setiap pengujung hari, gue mau dibagi capeknya lo, senengnya, marah bahkan kecewa lo, semuanya bisa dibagi ke gue.” Jawab Delta sambil menautkan kedua tangannya.
“Andai semudah itu ngebagi cerita kita, gue pasti udah ngantri paling depan buat dapet orang yang mau dengerin semua cerita gue, tapi kenyataanya, gue yang masih belum berani buat seterbuka itu sama orang.” Zetta lagi dan lagi mengatakan hal yang membuat Delta semakin kehilangan kesempatan.
“Berarti ga bisa ya ta?” balas Delta sambil menunduk.
“Buat sekarang belum bisa, Del, mungkin nanti, nanti kalau gue udah bisa lepas dari enam tahun yang lalu.”
“Tapi selama itu, lo tetep jadi temen gue, lo bakal banyak berperan penting di hari-hari gue, Del, cuma bedanya kita tetep jadi temen kaya gini.”
Delta sedikit tidak yakin dengan ucapan Zetta bahwa mereka akan tetap bisa berteman seperti ini, terlebih saat gadis itu sudah mengetahui perasaan Delta padanya.
“Bisa kok, kita tetep bisa kaya gini, ga akan ada yang berubah, Del,”
“Yakin Del, percaya sama Tuhan, kita minta doa yang terbaik buat ke depannya. Tapi buat sekarang, gue nyaman kita kaya gini, maaf kesannya gue egois, seandainya kalau gue jawab iya pun itu bakal lebih egois, karena yang sakit pasti bukan gue doang, lo juga bakal sakit gara-gara gue,”
Padahal Delta mau Zetta berbagi keluh kesah pada dirinya. Semuanya bisa dibagi agar terasa lebih ringan, tidak terlalu terasa karena sudah ada tempat bersandar. Tapi sepertinya Zetta tidak satu tujuan untuk hal yang satu ini.
Hingga pada akhirnya, mereka tetap kembali seperti biasa, seperti dua makhluk Tuhan yang hanya mengisi hari-harinya satu sama lain, hanya berbagi cerita tentang apa yang terjadi tanpa ada ikatan diantaranya.
Dan Zetta, gadis itu tetep memilih menyelesaikan segala urusan masa lalunya sendiri tanpa bantuan yang sudah Delta ulurkan sebelumnya karena Zetta tidak ingin membuat orang-orang yang ia sayangi harus ikut masuk ke dalam dunia dia yang belum selesai.