chiiroses

Ragil membeli satu bungkus milkita melon di salah satu supermarket terdekat. Laki-laki itu segera memberikan laporan kepada Jule bahwa ia sudah membelinya.

Setelah mendapat balasan dari Jule bahwa gadis itu sedang berada di rumah, Ragil segera menjalankan kendaraan roda empat miliknya ke rumah gadisnya.

Sedangkan Jule, gadis itu masih tidak habis pikir bahwa Ragil akan membeli satu bungkus permen milkita melon hanya karena ia bilang bahwa setiap kali mereka melakukannya, rasanya selalu liqiud laki-laki itu.

Jule pun tidak pernah protes karena rasa liquid milik Ragil tetap dapat diterima oleh mulutnya. Hanya saja ia ingin sesekali merasakan rasa yang berbeda.

Setalah lima belas menit lalu pesan terakhir dari Ragil yang mengabarkan bahwa ia akan segera menuju rumah Jule, saat ini lelaki itu sudah berada di depan ruang tamu rumah gadisnya.

“Nih permen milkita melon satu bungkus,” ucap Ragil membuat Jule tidak tahan untuk tidak tertawa.

“Kenapa beneran lu beli ya ampun,” balas Jule tertawa di sebelah Ragil.

“Ya biar rasanya beda,”

“Tapi kopi juga enak,”

“Nyoba yang baru apa salahnya? Kali aja melon lebih enak,” balas Ragil sambil membuka bungkus permen milkita.

“Nih, lu iuga makan, biar makin kerasa melonnya,” Ragil memberi Jule satu permen yan sudah dibuka.

Jule mengambil permen itu sambil tertawa, laki-laki ini benar-benar membuat dirinya gila.

“Manis,” ucap Jule ketika permen itu masuk ke dalam mulutnya.

“Iyalah, kan permen,”

“Lu manaaa? Udah di makan belum?”

“Ini tik, gue juga lagi makan,” jawab ragil sambil memamerkan satu permen milkita di dalam mulutnya.

Tiga menit berlalu, mereka masih sibuk dengan permennya masing-masing sampai pada menit kelima keduanya sudah menghabiskan permennya.

“Udah belum?” tanya Jule.

“Udah apanya?”

“Udah kerasa?”

“Melonnya?” tanya Ragil bingung.

“Iya, udah kerasa?”

“Udah,” jawab ragil membuat Jule mengangguk.

“Yaudah,” ucap Jule.

Ragil dengan pelan memajukan badannya, mencium kening Jule, kemudian mata kanannya, lalu mata kiri milik gadisnya, tak lupa dengan hidung dan kedua pipi merah Jule.

Jule tersenyum melihat kebiasaan lelakinya, sudah pasti Ragil akan melakukan ritual awal dimana ia akan mencium setiap wajah milik Jule.

“Lucu, pipinya merah,” ucap Ragil kala ia melihat pipi Jule yang sudah berubah menjadi warna merah karena ini kali pertama mereka melakukannya dengan merencanakan rasa apa yang akan mereka coba.

“Jangan diliatin,” balas Jule.

“Gapapa, cantik soalnya,” setelah kalimat ini keluar dari mulut Ragil, lelaki itu kemudian mengecup singkat bibir Jule.

Yang dikecup hanya bisa menahan dirinya agar tetap bisa terlihat waras, karena hawa nafas yang dikeluarkan oleh Ragil sudah terasa berbeda dari biasanya, rasa melon benar-benar mendominasi.

Ragil memberi kode dengan menaikan satu alis kanannya, bertanya apalah gadisnya sudah lebih baik-baik saja. Karena tidak seperti biasanya pipi Jule berubah menjadi merah.

Jule memberikan jawaban dengan anggukan kepalanya, tanda bahwa ia baik-baik saja. Berati Ragil bisa melanjutkannya.

Lelaki itu mengecup bibir Jule sekali lagi, kali ini ia biarkan miliknya dan milik Jule menempel lebih lama, sampai akhirnya Jule membiarkan Ragil untuk memulainya.

Ragil benar-benar melakukannya dengan pelan agar Jule tidak merasa lelah dengan hal itu, sambil memeluk tubuh milik Jule, dan mengelus punggung gadisnya.

Ia melakukannya dengan pelan tapi sudah dipastikan Jule hanyut di dalamnya karena Ragil tidak pernah membuatnya merasa terburu-buru dengan setiap gerakan yang diberikan oleh laki-laki itu.

“I love you,” ucap Ragil sambil membenarkan poni Jule.

Isac menekan bel apartment Berlin ketika dirinya sudah kembali dari studio miliknya.

“Masuk aja, kan tau passwordnya,” Berlin mengetik pesan tersebut pada ponselnya untuk Isac.

Lima belas detik menunggu, Isac tetap tidak membuka pintu apartment milik Berlin. Membuat gadis itu harus berjalan menghampiri pintu.

“Kan udah di bilang, masuk ajaaa,” ucap Berlin sambil membuka pintu untuk Isac, laki-laki itu hanya tertawa menanggapi Berlin.

“Lo tau passwordnya kan Isaaaaac, tinggal masuk sendiri, lo mah bikin gue gerak aja,” oceh Berlin membiarkan Isac berjalan di belakanganya.

“Ga sopan lagian main masuk-masuk rumah orang,” balas Isac.

Berlin menoleh ke belakang, “ya engga, kan udah disuruh masuk sama yang punya rumah,”

“Udah, duduk aja, jangan ngomong mulu, katanya mau makan,” ucap Isac sambil menarik kursi untuk Berlin.

Meja makan masih diisi oleh makanan yang diberikan oleh Mami Berlin. Isac segera berjalan menuju kitchen set, laki-laki itu sejak tadi belum merebahkan badannya.

“Lin, gue ambil gelas ya,”

Berlin langsung berduri dari duduknya, “eh biar gue aja,”

“Lo duduk aja, gelasnya juga udah di tangan gue,” Isac memamerkan dua buah gelas yang sudah berada di tangan kanan dan kirinya.

Mereka memakan dua paket ayam goreng dengan bermacam-macam saus di hadapannya, porsi makan mereka kali ini benar-benar besar, karena bisa dimakan oleh lima orang sekaligus.

Sambil mendengarkan lagu yang Berlin putar pada speaker di ruang tengah apartnya, Berlin banyak bercerita tentang semua yang ada di dalam pikirannya.

Kali ini lagu milik Tulus yang berjudul Jatuh Suka berputar, suaranya mengisi seluruh ruangan yang saat ini hanya berisi mereka berdua.

“Mau ketemu Ryujin,”

“Tiba-tiba?”

“Iyaaa, tapi ga bisa, sedih banget,”

“Ketemu yang lain aja,”

“Ga mau, gue maunya Ryujin,”

Isac membuka ponselnya, lalu mengetik nama Ryujin pada pencariannya.

“Nih udah ketemu,” ucap Isac sambil menghadapkan layar ponsel miliknya yang sudah berubah menjadi wajah Ryujin sepenuhnya.

“GAK GITU ISAC!”

Laki-laki itu tertawa melihat Berlin yang malah marah-marah sendiri akibat tingkahnya barusan.

“Kalau itu gue juga tiap hari ketemu. Gue mau ketemu yang KETEMU LANGSUNG, LANGSUNG DI DEPAN MUKA GUE,” Berlin menggebu-gebu menjelaskan kepada Isac.

“Yaudah berangkat ke korea mau ga?”

“Yeh ngaco,”

Berlin berjalan menuju salah satu laci yang berada di dekat kulkas, Isac hanya memperhatikan dari duduknya apa yang dilakukan oleh Berlin.

Gadis itu mengambil sesuatu dari dalam laci, menyembunyikannya di belakang tubuhnya sambil kembali berjalan ke tempat duduknya semula.

“Ngapain?” tanya Isac.

Berlin dengan cepat langsung mengeluarkan barang yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya, terlihat satu toples coklat yang masih tertutup rapat.

“MAKAN COKLAT! BIAR HAPPY!”

“Sini,” isac meminta toples yang Berlin pegang. Lelaki itu membuka segel dan menarihnya di atas meja.

“Nih makan, biar happy,” ucap Isac mengambil satu butih coklat dan mengarahkan ke arah mulut Berlin.

Gadis itu benar-benar bingung harus bagaimana menanggapinya, ia membuka mulutnya, menerima satu suapan dari Isac dengan menahan diri agar wajahnya tetap terlihat seperti biasa walau ia mati-matian berusaha menahan suara detak jantungnya tidak terndengar oleh Isac.

Pagi ini kota Jakarta sedang ramai karena para penduduknya baru saja memulai aktifitasnya masing-masing. Sama seperti dua muda-mudi yang sekarang berada di dalam mobil.

“Ih gue malu deh kalau nanti foto-foto,” ucap Berlin saat mobil Isac baru saja keluar dari studio miliknya.

“Lah kenapa?”

“soalnya lu photographer, gue malu anjir,”

“Ya jangan gitu, lagian foto lo juga keren-keren,” balas Isac, lelaki itu sempat ditunjukan hasil jepretan milik Berlin.

“Tapi lain loh rasanya, lo kan professional trus gue yang amatiran,”

“Sama, kan sama sama manusia,”

“Tau dah terserah lo, tapi sumpah ini mah beneran nanti lu jangan komentarin foto-foto gue yaaaa,”

“Ga bakal, pasti hasilnya juga bagus,” jawab Isac memberikan jempol kepada Berlin.

Perjalanan menuju Jakarta Aquarium tidak membutuhkan waktu lama karena lokasi apartment mereka pun jaraknya tidak terlalu jauh.

Berlin sudah mengisi kamera polaroidnya dengan polaroid film di perjalanan tadi, agar saat sampai, Berlin tidak perlu repot-repot mengisinya lagi.

Pukul setengah dua belas mereka sudah berada di Jakarta Aquarium, hari ini cukup ramai karena ada anak-anak SD yang datang kesana.

“Lagi ada yang tour gitu ya?” tanya Berlin ketika mereka masuk kedalam.

“Iya, anak SD, tadi sih gue baca di depan ada bus mereka gitu,”

“Seru dong, banyak anak-anak,” ucap Berlin, Isac mengangguk menanggapi.

Mereka melihat ikan-ikan yang sebelumnya belum pernah mereka lihat. Ada banyak sekali jenis ikan yang baru pertama kali Berlin dan Isac lihat.

Gadis itu sibuk dengan polaroid serta kamera pada ponselnya. Sesekali ia mengambil foto ikan dan anak-anak SD yang sedang malihat ikan dengan polaroid.

Isac, laki-laki itu terus mengikuti kemana arah kaki Berlin melangkah, memperhatikannya seperti takut Berlin akan menghilang.

“Lin, sini, nanti ilang,” ucap Isac meminta Berlin untuk mundur beberapa langkah karena posisi Berlin saat ini sedang ramai.

“Bukan anak keciiillll,” balas Berlin tetapi gadis itu tetap menghampiri Isac.

“Tapi mirip tuh sama anak-anak kecil di sana,” balas Isac menunjuk sekumpulan anak SD yang sedang melihat ikan.

“Yeeeehhhh,”

“Nanti kalau lo ilang, gue juga nih yang repot,”

“Ya kan bisa call,”

“Kalau hp mati gimana?”

“Beli lagi yang baru,” jawab Berlin asal, gadis itu kemudian berjalan meninggalkan Isac.

Baru saja jalan beberapa langkah, Berlin langsung ditarik oleh Isac.

“Tuh kan, gue bilang juga apa, siniiii,” oceh Isac sambil memegang tanggan Berlin, bila saja Isac telat menarik gadis itu, sudah dapat dipastikan sekarang Berlin sedang terjatuh di lantai karena dari arah berlawanan ada anak kecil yang sedang berlari.

Yang dimarahi hanya tersenyum sambil memamerkan sederet giginya yang rapi.

Akhirnya selama mengelilingi Aquarium, tangan Isac tidak pernah lepas menggenggam tangan Berlin, karena gadis di sebelahnya benar-benar seperti anak kecil yang bila Isac melepas genggaman tersebut akan hilang atau jatuh.

Setelah Berlin mengunggah foto polaroid miliknya yang baru saja ia ambil satu jam lalu, gadis itu segera berjalan menuju balkon unitnya.

Miyo sudah tertidur pulas di sofa, Berlin terlalu malas untuk memindahkan Miyo, jadi ia biarkan saja kucing itu tertidur disana.

Membawa segelas matcha di tangan kirinya dan ponsel di tangan kanannya, lalu Berlin duduk di kursi menghadap langit Jakarta malam hari ini.

Pukul dua lewat sepuluh dini hari. Berlin masih menggunakan jaket yang sama dengan post instagramnya.

Melihat suasana jalanan kota tak pernah mati dari lantai empat kamarnya, ternyata benar, Jakarta tetap ramai pada pukul ini.

Berlin memutar lagu talk to me by Zayn untuk menemani keheningan di tempatnya. Dia tidak bernyanyi karena takut terdengar oleh tetangga unit sebelahnya.

“Tumben ga nyanyi,” suara itu benar-benar membuat jantung berlin ingin jatuh dari tempatnya.

“YA TUHAN!!”

“Eh, gue ngagetin ya?” Tanya Isac dari sebrang sana.

Tentu saja, bagaimana bisa lelaki itu malah bertanya saat ia sudah tahu jawabannya, “IYALAH! GILA ISAC LO NGAPAINNNN?”

“Gue dari tadi duduk di sini,”

“Terus kenapa ngagetin gue?”

“Gue mau nanya kenapa ga nyanyi, eh lo malah kaget,”

“Ya iya, gimana ga kaget? Orang dari tadi gue taunya lagi sendirian,” oceh Berlin, gadis itu berterima kasih kepada Tuhan untuk tidak memutuskan jantung miliknya karena terlalu terkejut.

Isac tertawa menanggapi Berlin, “sorry sorry, ya, ga maksud ngagetin sumpah,”

Berlin mengangguk, “lagian ngapain sih? Udah malem bukannya diem di kamar, malah nongkrong di balkon,” tanya Berlin, padahal ia sendiri pun sedang duduk di balkon malam hari.

“Loh.. sendirinya juga ngapain duduk di balkon sambil minum matcha terus dengerin talk to me? Kaya orang galau,”

“Gue ga galau ya, ini tuh gara-gara ga ada kerjaan aja, makanya gue ke balkon. Lo masih belum jawab pertanyaan gue, lo ngapain malem-malem diem di sini?”

“Nikmatin angin malem,” jawab Isac asal.

“Yehhh,”

“Hahaha, lagi duduk aja, Lin, emang ga boleh?”

“Boleeehhh, yaudah lanjutin duduk-duduknya,” suruh gadis itu, sebenarnya ia mengusir Isac dengan halus karena ia masih punya sedikit malu atas kejadian beberapa hari lalu tentang suaranya yang terdengar sampai unit Isac.

Isac kembali duduk di tempatnya, sebenarnya, laki-laki itu sedang menikmati pods miliknya sambil melihat gedung-gadung yang memancarkan cahaya dari dalamnya.

Tapi sejak lima menit yang lalu, ketika ia mendengar suara pintu terbuka dari arah kanan, lelaki itu langsung menyudahi aktivitasnya, mematikan pods miliknya kemudian memperhatikan setiap gerak gadis di sebrang sana dengan seksama sambil tersenyum.

Gadis yang sejak awal ketika Isac pindah ke unit 416 langsung kendapatkan atensi yang sangat kuat dari laki-laki itu.

Aku dengar suara bel unitku ditekan dari luar, tandanya Isac —lelaki yang sebelumnya sangat ingin aku hindari tapi kenyataannya kita bertetangga sudah sampai di depan.

Sambil menguncir rambutku asal-asalan, aku berjalan membuka pintu untuknya.

“Nasi goreng ga pake acar, kerupuknya banyak, kecapnya sedikit, dan ga pedes, dataaang!” ucap Isac saat ku buka pintu.

Jujur aku sangat terkejut karena dia berbicara dengan tiba-tiba sambil memamerkan satu plastik putih di depan wajahnya.

“Kok inget?” Pertanyaan aneh ini keluar dari mulutku.

“Iya, kan baru sepuluh menit yang lalu,”

“Ini mau diem aja di pintu?” tanya Isac karena aku tidak mempersilahkan dirinya masuk.

Lagian aku memang hanya ingin mengambil makanan yang sudah ia belikan tanpa mengajaknya mampir ke dalam unitku.

“Nih,” laki-laki itu malah memberikan plastik itu ke tangan kananku.

Jantungku sedikit berdetak lebih kencang! Berlin kamu kenapa? Dia hanya memberikan plastik itu kepada ku.

“Dimakan ya, jangan tambahin sambel lagi kalau mau cepet sembuh,” laki-laki ini tidak berhenti berbicara. Padahal jantungku sudah berdetak semakin cepat karena dia.

“Lin, mulutnya sakit juga?”

TIDAK!! Mulutku sama sekali tidak bermasalah, jantungku yang bermasalah!

Ku jawab pertanyan Isac yang terakhir dengan menggelengkan kepala, lalu dengan cepat aku putuskan percakapan kita, karena bila semakin lama aku berhadapan dengannya, mukaku bisa merah seperti tomat! Dan aku tidak mau itu terjadi.

Jadi ku putuskan untuk bilang “makasih Sac, nanti uangnya gue ganti ya,”

Tapi dia malah menggeleng, “ga usah, itu anggep aja hadiah gue jengukin lo,”

Aku tidak terbiasa dengan sikap laki-laki seperti ini, karena mantanku yang lalu benar-benar berbanding terbalik dengan Isac.

“Sama bentar, Lin, jangan ditutup dulu,” dia menyuruhku untuk tidak menutup pintu tapi malah meninggalkan aku yang berdiri sendiri di depan pintu.

Anehnya aku tetap menunggu dia, menunggunya kembali dari kamarnya.

Rasanya aneh, benar-benar aneh saat aku menuruti semua ucapannya.

Dia kembali, dan ternyata Isac memberiku obat, katanya buat diminum biar besok pagi sudah lebih baik.

Aku mengambil obat darinya, jantungku semakin tidak karuan. Laki-laki satu ini benar-benar membuat diriku yang sebelumnya sudah panas menjadi tambah panas karena tindakannya.

“Udah sana makan, minum obatnya jangan lupa, biar sehat,”

Isac mengangkat tanganya yang sudah ia posisikan di depan wajahku, “Cepet sembuh,” katanya sambil menepuk jidatku yang terpampang dengan jelas sebelum akhirnya laki-laki itu benar-benar meninggalkan diriku sendirian.

“Gimana tadi?” tanya Hail saat panggilan mereka sudah tersambung.

“Caaaaaapeeeeekkkk. Tadi kan aku mau makan ya sama Alia, terus semua restaurant penuh, bener-bener ga ada yang kosong, ahirnya aku nyari yang di luar.”

“Dapet ga di luar?”

“Engga jugaaaa, makanya aku capemm mana rame banget kan ya jadinya aku sama Alia ga jadi makan, kayanya gara-gara banyak yang lagi buka puasa deh, jadi yaudah aku beli shihlin aja,”

“Kamu nyari makannya pas lagi jam-jam sore?”

“Iyaaaa, soalnya tadi keasikan muter-muter pas abis nont- YA TUHAN,”

“Kal?! Kenapa?!”

“WOYY KAMU DENGER GAA?”

“Apa? Aku denger suara kamu doang,”

“IH SUMPAAAAHHHH, ada suara barang jatuh di bawah, tapi gatau apa soalnya aku lagi bersih-bersih di kamar,”

“Kamu sama siapa?” Tanya Hail sedikit panik, “ada Bunda ga?”

“Ga ada, aku sendirian,”

“Kamu udah kunci pintu belum tadi?”

“IHHH KAMU JANGAN TAKUTIN AKU.”

“Aku nanyaaa, udah belum?”

“Ga tau aku lupa anjir, gimana dong? IH TUH AKAN ADA LAGI SUARANYA!” “HAIL KAMU MASIH DENGER AKU GAAAA? AKU TAKUT WOYY, HAIL JAWAABBB,”

“Kal, call kita jangan dimatiin, aku kesana ya, tunggu sebentar,”

“Ga usahhhhh, kamu lagi main, temenin aja di call, aku cek sendiri aja ke bawah,”

“Gapapa, jangan ke bawah dulu, nanti tunggu aku dateng,”

“Aku ke bawah aja, kamu ga usah dateng ya Tuhan,”

“Aku udah di jalan, kamu jangan matiin call oke? Kamu ngomong terus aja sini sama aku, jangan kemana-mana, tetep di kamar sampe nanti aku sampe,”

“Terus temen kamu gimana?”

“Ga gimana-gimana. Kamu lagi sendirian di rumah, mereka lagi rame-rame, jadi aku tinggal pun ga akan kenapa-kenapa. Jangan berhenti ngomong Kal,”

“Iyaudahhh, hati-hati yaaa,”

“Iya, kamu ngomong,”

“Ngomong apa?”

“Apa aja, yang penting aku denger suara kamu,”

“Aku pacar Hail,” ucap Kale.

“Iya aku tau,”

“Aku mau makan mie,”

“Nanti aku buatin kalau aku udah sampe rumah kamu,”

“Aku denger suaranya lagi,”

“Tunggu sebentar lagi ya,” balas Hail, laki-laki itu menambah kecepatan pada sepeda motornya.

“Aku mau pipis, tapi ga berani,”

“Masih bisa nunggu ga? Nanti aku anterin, ini udah deket jalanan rumah kamu,”

“Cepet banget, kamu ngebut ya?”

“Terbang,” balas Hail asal, membuat Kale tertawa.

“Nah, kan makin cantik kalau ketawa,”

“Emang keliatan?”

“Engga, tapi kedengaran, suara ketawanya cantik.”

Hail sudah menunggu di halaman depan rumah Kale dengan mobil hitam miliknya.

Kale menghampiri mobil Hail dengan wajah yang sedikit merah, gadis itu sudah tidak karuan perasaannya.

“Halo,” sapa Kale saat membuka pintu mobil.

“Hai,” Hail membalas, “muter-muter aja gapapa kan?” tanya Hail.

“Iya gapapa, bebas mau kemana aja,”

Setelah Kale duduk rapih di sebelah Hail, laki-laki itu langsung mengendarakan mobilnya menuju salah satu tempat ice cream di BSD.

Selama perjalanan, mereka sama sekali tidak menyinggung tentang proposal itu, Hail tidak menanyakan jawaban dan Kale pun belum memberikan jawaban.

“Mau rasa apa?” tanya Hail pada Kale saat mereka sudah sampai.

“Chocolate chip cookie dough”

Hail memesan dua cup ice cream dengan rasa yang berbeda, satu chocolate chip cookie dough untuk kale dan satu jamoca untuk dirinya.

“Kenapa hari ini BSD panas banget ya?” tanya Kale pada dirinya sendiri.

“Kenapa, Kal?”

“Hah? Engga, gue lagi ngomong sendiri,”

“Oh,” balas Hail sambil tertawa.

Hail memberikan satu cup untuk Kale, lalu mereka duduk di salah satu meja yang posisinya berada di dekat jendela menghadap jalanan.

Suasanya cukup hening, hanya ada alunan musik yang berputar dari dalam toko tersebut serta suara yang keluar dari wajah cantik di hadapan Hail.

“Seger banget jam segini makan ice cream,” “Kenapa gue baru tau ada toko ice cream enak deket sini,” “Ih kucingnya lucuuuu,” “Laba-laba ada dagingnya ga sih?” “Ikan kalau ngobrol gimana ya?” Dan masih banyak lagi pertanyaan seta ocehan-ocehan yang keluar dari mulut Kale.

“Lagi seneng, Kal?”

“Eh?”

“Lo lagi seneng? Biasanya kalau lagi seneng pasti lo banyak ngomong,” tanya Hail, laki-laki itu sampai tahu bahwa Kale akan banyak bicara bila sedang bahagia.

Kale tersenyum kikuk, gadis itu seperti anak kecil yang ketahuan diam-diam kabur dari waktu tidur siangnya.

“Sotau,” jawab Kale.

“Emang tau,”

“Tau apa?”

“Tau kalau lo cantik,”

Hail benar-benar memporak-porandakan hati kale. Wajah gadi di depannya sudah dapat dipastikan berwarna merah pekat.

“Seriussss,”

“Iya serius, coba aja ngaca,” suruh Hail, lalu laki-laki itu membuka gambar kamera pada ponselnya.

“Tuh kan, ada bidadari,” ucap Hail ketika mengarahkan kamera depannya pada wajah Kale.

“HAILLL!”

Hail malah tertawa melihat Kale, saat ini bagi Hail, Kale benar-benar terlihat seribu persen lebih cantik dari biasanya. Benar-benar pikirannya hanya terisi oleh wajah Kale.

Lima belas menit berlalu, mereka masih setia melanjutkan obrolan tidak jelasnya.

“Iya,” ucap Kale.

“Apa? Kok tiba-tiba iya?”

“Yaaaa, iya,”

“Iya, apa?” Tanya Hail bingung, karena sebelumnya mereka sedang membicarakan ikan-ikan di dalam air.

“Ituuuu,”

“Apa?”

“IH MASA HARUS GUE PERJELAS,” oceh Kale karena hail sama sekali tidak paham dengan maksudnya.

“Proposal, jawabannya iya,” jelas Kale.

Hail masih kaget dengan perkataan Kale yang benar-benar mendadak, laki-laki ini tidak menyangka Kale akan menjawabnya sekarang, disaat ini juga ketika mereka sedang membicarakan mengapa ikan tidak tenggelam di dalam air.

Berlin segera turun dengan rambut yang masih berantakan belum tersisir, dengan laptop di tangan kanannya dan tas yang biasa ia gunakan di tangan kirinya.

Memesan taxi online disaat seperti ini sepertinya akan membuang waktu yang cukup lama, tetapi tetap dilakukan oleh gadis itu.

Tiga menit menunggu, masih tidak ada satupun yang mengambil pesanannya, sepertinya pagi ini kota jakarta tidak bersahabat dengannya.

Berlin memutuskan untuk berjalan ke depan jalan raya, berharap ada taxi yang dengan tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Please, kali ini aja Ibu Peri, ada taxi yang lewat dong, ini udah mepet banget sama kelas.” Doa Berlin di dalam hatinya.

Dan sepertinya Ibu Peri benar-benar mengabulkan doanya secara cepat, ternyata walau jakarta tidak bersahabat dengannya, Ibu Peri masih setia mengabulkan doa-doanya.

Ada satu taxi yang entah dari mana tiba-tiba berhenti di hadapannya, “Pak, ke kampus ya,” suruh Berlin ketika dia membuka pintu mobil itu.

“Eh, neng, maaf banget, bapak udah dipesan sama orang,” jelas supir taxi itu.

Wajah Berlin menjadi merah akibat perkataan supir taxi barusan, ia meminta maaf dan segera menutup pintu mobil.

Dari arah belakang, mobil hitam dengan tulisan 'Range Rover' di bagian depan mendekati Berlin yang masih setia berdiri menunggu taxi yang datang.

“Berlin,” sapa orang yang berada di dalam mobil.

Berlin yang merasa namanya dipanggil pun sudah pasti menoleh ke sumber suara, gadis itu terkejut setelah melihat bahwa tetangga apartmentnya yang memanggil dia dari dalam mobil.

“Mau berangkat kuliah kan? Bareng aja sini,” ajak Isac dengan cepat, lelaki ini sudah yakin bahwa Berlin pasti ingin menuju kampus, terlihat dari pakaian yang ia gunakan dan barang bawaan yang dibawanya.

Berlin tetaplah Berlin, dia menolak tawaran laki-laki itu hanya karena masalah sepatu waktu itu, “gausah, gue bisa nunggu taxi.” Tolaknya.

“Mepet banget Lin, nanti telat yang ada ga bisa masuk kelas,”

Berlin tidak menghiraukan ajakan laki-laki itu, ia masih berdiri teguh pada perkatannya.

“Serius ga mau?”

“Engga, udah sana berangkat aja,” usir Berlin.

Lelaki itu kemudian tersenyum, “tenang aja Lin, sepatu gue kali ini lagi ga diinjek, ayo bareng aja, hitung-hitung gue mau berterima kasih sama Ibu lo yang udah kasih gue makanan waktu itu.”

“Ayo, bentar lagi telat,” ajak Isac lagi karena Berlin masih belum bergerak.

Dengan sangat terpaksa, gadis itu berjalan menghampiri mobil Isac, dan duduk di sebelah laki-laki itu.

“Nih kalau ga percaya, gue pake sepatunya bener kan?” Pamer Isac kepada Berlin sambil mengangkat sedikit kakinya, menunjukan kepada gadis itu bahwa ia benar-benar menggunakan sepatunya dengan benar.

Sore ini aku duduk di cafe paling favorite, menurut ku. Karena cafe ini sangat sepi jadi tidak akan mengganggu konsentrasiku yang sangat minim ini untuk mengerjakan tugas kuliah dari dosen yang segunung itu.

Jam cantik kesayanganku yang berumur dua tahun sudah menunjukan pukul lima sore, tandanya sebentar lagi jalanan akan dipenuhi oleh manusia yang berebut ingin sampai duluan ke rumah mereka.

Satu.

Dua.

Tiga.

Ting!

Aku pikir lampu lalu lintas di sebrang sana akan berganti warna menjadi merah, tapi ternyata aku salah. Bunyi itu bukan berasal dari hayalan otakku.

Ku lihat pintu cafe yang terbuka karena ada satu pengunjung lagi yang datang. Ah malas sekali rasanya melihat cafe ini jadi dua penghuni, padahal sebelum aku berangkat ke sini, aku sudah berdoa kepada Ibu Peri agar cafe ini hanya di huni oleh aku seorang. Doa tidak baik sebenarnya, maka itu Ibu Peri tidak mengabulkan doaku kali ini.

Aku tidak menghiraukan laki-laki yang baru saja masuk dan duduk di meja 13 dengan celana jeans robek-robek ala anak metal, hoodie hitam yang ia gantungkan di lengan kirinya, kaos hitam polos serta sepatu convers yang dia injak belakangnya. Hah dia injak?! DIA INJAK?!! WAH benar-benar mengibarkan bendera perang denganku.

Apa yang kau pikirkan Berlin? Sudah aku bilang aku tidak menghiraukan laki-laki itu, tadi hanya terlihat sekilas oleh mataku, benar-benar sekilas. Aku tidak menghiraukannya. Sumpah.

Aku kembali mengerjakan tugas-tugas yang rasanya tidak pernah selesai. terhitung sudah satu jam aku duduk di cafe ini, sendiri. Sampai dua menit yang lalu ada satu pengunjung yang datang menemaniku dalam keheningan.

Tiga menit.

Delapan menit.

Dua belas menit.

Konsentrasiku terbuyarkan hanya karena laki-laki itu menginjak belakang sepatunya. Ibu Peri, tolong bantu aku sekarang juga, aku butuh Ibu Peri mengusir dia atau setidaknya buat dia memakai sepatunya dengan benar. Aku mohon.

Kenapa ia menatapku? Ada yang salah dengan pakaianku? Mungkin mukaku? Atau mungkin aku mirip dengan adiknya? Heyyyy, mana mungkin Berlin, kau saja tidak tahu dia punya adik atau tidak. Atau bisa jadi ternyata selama ini aku punya hutang dengan dirinya? Ah tidak mungkin juga Berlin. Ayo kendalikan pikiranmu itu.

Lapor, Ibu Peri! Dia terus memperhatikanku! Aku bingung sekarang juga dan aku yakin dia bisa melihatnya dengan jelas kebingunganku yang tidak jelas ini.

Dia berdiri, Ibu Peri tolong aku!

Dia berjalan mengahampiriku!

Ayo Berlin cepat berpikir apa yang harus kamu lakukan dalam hitungan ke sepuluh. Ah tidak, itu terlalu lama, yang ada dia sudah berada di depan ku. Hitungan ke lima Berlin, hitungan ke lima.

Satu.

Tiga.

Empat.

Empat seperepat.

Empat setengah.

Empat seperlapan.

Empat bagi dua.

Empat tambah satu. LIMA?

Lari. Aku benar-benar kabur dari mejaku menuju toilet, dan aku yakin laki-laki itu makin bingung dengan sikapku, atau mungkin tidak. Aku tidak tahu.

Aku mengintip dengan mata elang kebanggaanku, kulihat dia masih setia berdiri di mejaku. Sudah dapat ku pastikan bahwa aku sudah berada di dalam toilet lebih dari tujuh menit sampai akhirnya pelayan di cafe menghampiriku.

“Maaf Kak, Kakaknya ditunggu sama temennya di depan.”

Teman? Dia temanku? Menghayal! Kalau kau mau menjadi temanku, jangan injak belakang sepatumu itu.

“Eh, oh, anu iya Kak, tapi dia bukan temen saya.” Ucapku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

“Eh? Yaudah kak, coba disamper dulu aja, soalnya dari tadi nungguin.” Balas pelayan perempuan yang kulihat memiliki alis yang sudah terukir indah sejak lahir.

Ku hampiri laki-laki itu walaupun pelipisku sudah dipenuhi oleh keringatku sendiri. Laki-laki itu benar-benar terlihat kebingungan dengan tingkahku.

“Kenapa?” Tanyaku cepat karena sejujurnya aku ingin dia pergi dari sini.

Bukannya menjawab, ia malah mengambil tissue yang ada di mejaku, memberikannya kepada gadis aneh di hadapannya itu. “Nih, di lap dulu. Capek banget kayanya.”

Anehnya aku menuruti perintah dia, rasanya seperti terhipnotis. Ibu Peri tolong aku! Kenapa disaat seperti ini engkau tidak muncul. Ku percepat setiap pergerakanku seperti menggunakan speed 2x.

“Udah. Ada apa ya?” Tanyaku lagi. Semoga kali ini ia segera memberitahu maksud kedatangannya ke mejaku.

“Ga mau duduk dulu?” Ya Tuhan. Hilangkan aku sekarang juga dari cafe ini, pindahkan aku ke apart saja, aku mohon. Kenapa laki-laki ini sulit sekali rasanya tinggal berbicara tujuannya kepadaku.

Ku tarik napas sebentar setelah melihat sepatu dia yang ternyata masih diinjak, “Okayyy,” jawabku sambil duduk. “Mau apa??” Lanjutku tidak sabar.

Ia menunjuk salah satu buku dari sekian banyaknya tumpukan buku yang aku bawa. “Ini belinya dimana?”

“Ga dijual dimana-mana.” Kataku.

Laki-laki itu menaikan satu alisnya, aku tahu dia tidak puas dengan jawabanku. “Ini ga dijual di toko buku, soalnya gue bikin sendiri.” Kataku sambil memamerkan buku yang aku yakin dia taksir.

“Boleh dipinjam sebentar?” Tanyanya yang tiba-tiba duduk di kursi sebrang.

TIDAK! TIDAK BOLEH WAHAI LAKI-LAKI YANG MENGINJAK BELAKANG SEPATUNYA.

“Halo?” Panggilnya sambil melambaikan tangannya ke wajahku.

Dengan cepat aku menjawab, “Gak! Soalnya lo pake sepatu belakangnya diinjek.”

Berlin kenapa kamu bilang seperti itu? Kenapa kamu kasih tau alasannya Berlin? Kenapaaaaa? Sumpah demi Tuhan aku butuh Ibu Peri sekarang juga!

Ku lihat, wajahnya heran dengan perkataanku barusan, ia segera melihat sepatunya dan tertawa. Tertawa ku bilang. Ia tertawa. Makhluk aneh menurutku.

“Kenapa emang kalau belakang sepatunya gue injek?”

“Gue ga suka. Lo aneh.” Kataku yang membuat dirinya semakin bingung. Aku yakin dia pasti sudah mengira bahwa aku adalah orang aneh yang menyebut orang lain aneh.

“Lo ga suka gue? Atau gue aneh? Atau apa?”

“Gue ga mau pinjemin buku ini karena gue ga suka liat orang pake sepatu belakang diinjek.” Jelasku dan membuat ia tertawa terbahak-bahak.

Laki-laki itu segera membenarkan posisi sepatunya dengan sempurna dan memamerkannya kepadaku. “Udah bener nih, boleh minjem ga?”

‘Ya tentu tidak’ pikirku lima detik yang lalu akan keluar jawaban seperti itu, tapi ternyata aku salah. Yang terucap ternyata “Yaudah nih, tapi jangan lama-lama ya.”

Demi Dewa Neptunus, Mars, Venus, Jupiter dan kawan-kawannya, rasanya aku ingin mengulang waktu ke sepuluh detik yang lalu dimana seharusnya aku menjawab “TIDAK BOLEH” karena buku yang baru saja ia pinjam adalah buku harianku.

Buku harian dimana aku menceritakan tentang tetangga rumahku dulu yang suka menyanyi malam-malam tetapi suaranya tidak enak, coffeeshop yang baru saja buka tapi katanya tempat tersebut dulunya merupakan kuburan, aku yang beberapa hari lalu mencoba racik makanan ala-ala diriku sendiri yaitu menggabungkan cheetos dan oreo lalu diblender dengan susu, aku yang kehujanan saat diputusin oleh mantanku yang seperti tai beberapa bulan lalu dan masih banyak cerita-ceritaku setiap harinya.

“EH WOY! COWOK! Ga jadi gue penjemin!” Teriakku saat dia sudah berjalan meniggalkan mejaku.

“Isac, nama gue Isac, Berlin.” Katanya setelah mendengar teriakanku yang sangat besar itu. Dan tunggu, bagaimana dia bisa tau namaku Berlin?

Seperti bisa membaca pikiranku, dengan cepat ia melanjutkan kalimatnya, “ada di cover buku, ‘Berlin’s’ Berlin nama lo kan?”

Aku hanya mengangguk, laki-laki itu kembali berjalan ke arahku sampai akhirnya ia menaruh buku itu kembali ke tempatnya, yaitu tanganku.

“Lain kali ngomong ya kalau ini diary, gue kira buku cerita, soalnya covernya unik.”

“Hah? okeee, I...sac?”

“Iya Isac, Isac Zenberlin.”

“Jadinya lo mau beli apa?” tanya Zetta ketika mereka sudah berada di dalam mall.

“Kayanya sepatu Zee, soalnya si Eja ngode minta sepatu hahaha,”

“Yaudah ayo, kita cari sepatu dulu, abis itu baru kita muter-muter sampe kaki kita mau putuuuuss.” Ajak Zetta.

Memasuki satu persatu store sepatu yang ada, hingga akhirnya mereka menjatuhkan tatapannya pada salah satu sepatu yang berada di tengah store terakhir dengan tulisan “New Edition”

“Ze, ini bagus ga?” tanya Delta, lelaki itu sejak tadi selalu menanyakan pendapat Zetta saat memlih sepatu yang ia rasa bagus.

“Baguuuuusss, ini mau gaa? Tapi Eja suka ga sih?”

“Suka sih, dia biasa pake yang setipe kaya gini,” jawab Delta membuat Zetta mengangguk setuju.

“Yaudah ini aja,” balasnya, “Kak, ini ada ukuran empat pulu dua ga?” tanya Zetta kepada penjaga toko itu.

“Ada Kak, sebentar ya saya ambil dulu.” Jawab penjaga toko sambil pergi menuju gudang sepatu tempat ia bekerja.

Setelah Delta meyakinkan diri lagi untuk membeli sepatu tersebut, mereka segera menuju kasir untuk melakukan transaksi dan segera melakukan rencana awal mereka untuk berkeliling mall ini sampai kaki mereka ingin putus.

Zetta memasuki toko mainan anak, Delta yang sejak tadi hanya mengikuti dari belakang pun sudah tidak heran kemana tujuan gadis itu, yang pasti ia hanya terus mengikutinya dan kembali mengantarkan Zetta selamat sampai rumah.

“Del, ini lucu,” tujuknya pada salah satu mainan bongkar pasang milik anak kecil, “eh, tapi ini juga lucu. Kenapa sih mainan anak kecil lucu-lucu,”

“Zee, udah ayo makan dulu. Tadi kan lo ribut laper,” ajak Delta karena sejak tadi Zetta hanya mengelilingi mall.

Gadis itu segera memutar badannya yang baru saja menuju ke tempat tembak-tembakan, “LET'S GO!!” ucapnya.

Mereka menuju salah satu tempat makan cepat saji, padahal sejak tadi, Zetta sama sekali tidak berteriak ingin mengisi perutnya, mungkin ia lupa karena sedang asik sendiri, hingga ketika mereka sedang menunggu makanan yang sudah dipesan, gadis itu kembali mengoceh bahwa ia sudah menahan lapar sejak dua jam yang lalu.

“Sumpaaahhh, kenapa ini lama banget? Gue udah mau pingsan nih,” ucap Zetta sambil berpura-pura sudah tidak kuat menahan hawa laparnya.

“Tadi aja pas lagi muter-muter ga ada tuh teriak-teriak laper,”

“Sebenernya tuh laper, cuma apa yaaaa, kaya masih bisa ditahan, terus sekarang udah sedikit lagi bisa nahannya,”

Delta melihat mba-mba yang sedang menulis pesanan meja sebelah mereka, “udah ga kuat? Mau gue beliin roti dulu ga?”

“Yehhh ga usah, gue masih bisa nahan ,” balasnya sambil memberikan jempol kanannya kepada Delta.

Makanan kali ini terlihat sangat lezat bagi Zetta, karena ia menyantapnya saat sendang lapar-laparnya, membuat rasa hidangan yang ia makan benar-benar menajdi dua kali lipat lebih terasa.

Di depannya, Delta sesekali tertawa karena Zetta selalu berkata “sumpah enak banget!” setiap dia memasukan satu sendok makanan ke dalam mulutnya.

“Makan dulu, ngocehnya dilanjut nanti,” suruh laki-laki itu, Zetta jawab dengan mengangguk karena saat ini mulutnya sedang penuh dengan makanan.

Seperti orang-orang pada umumnya, mereka tidak lansung beranjak dari tempat duduk, karena makanan yang baru saja dimakan pun belum sepenuhnya turun.

Gadis itu kembali bercerita tentang kalau saja ia memiliki adik perempuan, sudah pasti dia dan adiknya akan sering menghabiskan waktu bersama, entah melakukan shopping, nail art, menonton film, atau bahkan mendengarkan kisah cinta adiknya. Karena Hazello sama sekali tidak bisa diajak melakukan hal-hal seperti itu.

“Ini mau langsung pulang apa muter-muter lagi?” tanya Delta saat mereka sudah keluar dari tempat makan itu.

“Kayanya pulang aja Del, soalnya gue udah capek keliling,”

“Oke pulang ya?” tanyanya lagi memastikan.

“Iya, Delta.”

Malam ini BSD tidak seramai yang Zetta bayangkan, mungkin karena ini bukan malam minggu, jadi tidak terlalu banyak yang keluar pada malam hari. BSD benar-benar lenggang, Delta bisa dengan jelas mendengarkan suara yang ketikan yang keluar dari ponsel Zetta, sepertinya gadis itu sedang sibuk membalas pesan.

“Kenapa?” tanya Delta hanya ingin memastikan bahwa gadis yang duduk di sebelahnya baik-baik saja.

“Gapapa, cuma ini si Geya nanya gue dimana soalnya dari tadi ga bisa dihubugin,” sejak mereka sampai di mall hingga mereka kembali lagi ke dalam mobil untuk pulang, ponsel Zetta sudah mati total, gadis itu masih saja sering meninggalkan powerbanknya di mobil Delta.

“Udah ngasih kabar kan?”

“Udah, ini lagi diomelin sama dia, hahaha,” jawab Zetta, baginya Geya benar-benar seperti orang tua yang sibuk mencari anak kecilnya yang hilang. Ia mendaptkan banyak sekali panggilan tak terjawab.

“Bilang, sebentar lagi sampe rumah, aman kok,” ucap Delta sambil mengendari mobilnya.

Benar saja, lima belas menit kemudian Delta sudah menepikan mobilnya di depan rumah Zetta, gadis itu mengajak Delta untuk turun sebentar karena ada titipan dari Hazello untuknya.

“Gue ambil titipan Hazel dulu ya,” ucap Zetta, gadis itu segera menuju kamarnya mengambil sebuah hoodie hitam dengan bordiran D di dada kirinya.

Zello memberikan hoodie itu karena ia pernah menantang Delta untuk mengerjakan soal, dan apa bila skor diantara mereka lebih tinggi, yang kalah harus memberikan apapun yang diinginkan pemenang. Sebenarnya Delta juga tidak ingin meminta apa-apa dari Zello, karena ia mengiayakan ajakannya benar-benar tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tapi Zello tetaplah Zello, laki-laki itu memaksa Delta untuk meminta sesutu dari dirinya, akhirnya Delta meminta hoodie dengan bordiran D di dada kirinya.

“Nih,” Zetta memberikan paperbag yang sudah ia bawa, “gue ikut serta dalam pembuatan huruf D di hoodie itu tau,” ucap Zetta sambil duduk di kursi seberang Delta.

“Oh ya?”

“Iya, gue sih cuma ngerancang warna sama font, tetep tukang jahit yang buat, hahahaha,” sahut gadis itu sambil tertawa.

“Zee,”

“Apa?”

“Gue gatau gimana ngomong serius sama lo,” ucap Delta sambil membenarkan posisi duduknya.

“Ya tinggal ngomong ga sih?”

“Lo pernah kepikiran gue ga pas lagi ngelakuin sesuatu? Kaya tiba-tiba terlintas nama gue di kepala lo?” tanya Delta, ia benar-benar tidak basa basi, “kalau gue sering, sering tiba-tiba kepikirian tentang lo,”

Zetta tidak tahu harus merespon seperti apa, karena ia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini mengucapkan hal itu. Sejujurnya, Zetta juga sering kali memikirkan Delta, bagaimana bisa selama delapan bulan kenal dengannya tapi tidak satu hari pun Zetta memikirkan Delta.

Bagi Zetta, Delta sudah memiliki posisi di hatinya, sama seperti Geya, dan Zello yang sudah lebih dulu mempunyai tempat di sana.

“Tiba-tiba banget nanya gini, kenapa?” balas Zetta sekenanya.

“Pernah ga, Zee?” tanyanya lagi sambil tertawa.

“Ya pernah lah, ya kali selama kita temenan gue ga pernah mikirin lo,” suasana ruang tamu gadis itu jadi terasa lebih dingin karena percakapan mereka.

“Gue mau sering hadir di pikiran lo, gue juga mau diganggu hari-harinya sama lo, gue mau setiap harinya gue selalu ada lo Zee,” kata Delta sambil menatap Zetta.

“Del,”

“Mau ga, Zee?”

“Delta, jujur kalau lo tanya mau atau engga, kemungkinan besar jawabannya bakalan mau, harusnya lo tanya bisa atau engga,” jawab Zetta.

“Bisa ga, Zee?” tanya Delta, lagi, karena gadis yang diajak bicara memintanya bertanya dengan pertanyaan itu.

“Engga,” jawab Zetta dengan senyum di wajahnya.

Delta cukup terkejut dengan kata yang Zetta lontarkan, “kenapa?”

“Jawabannya bener-bener ada di depan mata Del, gue masih stuck di masa lalu gue sedangkan lo udah bisa ngelanjutin semuanya, gue masih ada di diri gue yang enam tahun lalu, semuanya masih bener-bener jelas di kepala gue. Kalau seandainya gue maksa buat biarin lo hadir di sini, yang udah-udah pasti bakalan keulang.”

“Gue gamau bikin lo ngerasain apa yang seharusnya ga lo rasain, karena kalau lo masuk ke kehidupan gue, lo pasti bakalan banyak banget berkorban dan gue gamau itu kejadian.” Jelas Zetta, gadis itu benar-benar tidak ingin memebuat Delta harus merasakan sakitnya berkorban demi dirinya, atau menanggung hal yang sebenarnya tidak perlu ia tanggung.

“Tapi gue terima semuanya Zee, semua yang ada di diri lo walupun lo masih stuck di enam tahun lalu, gue mau dengerin cerita lo di setiap pengujung hari, gue mau dibagi capeknya lo, senengnya, marah bahkan kecewa lo, semuanya bisa dibagi ke gue.” Jawab Delta sambil menautkan kedua tangannya.

“Andai semudah itu ngebagi cerita kita, gue pasti udah ngantri paling depan buat dapet orang yang mau dengerin semua cerita gue, tapi kenyataanya, gue yang masih belum berani buat seterbuka itu sama orang.” Zetta lagi dan lagi mengatakan hal yang membuat Delta semakin kehilangan kesempatan.

“Berarti ga bisa ya ta?” balas Delta sambil menunduk.

“Buat sekarang belum bisa, Del, mungkin nanti, nanti kalau gue udah bisa lepas dari enam tahun yang lalu.”

“Tapi selama itu, lo tetep jadi temen gue, lo bakal banyak berperan penting di hari-hari gue, Del, cuma bedanya kita tetep jadi temen kaya gini.”

Delta sedikit tidak yakin dengan ucapan Zetta bahwa mereka akan tetap bisa berteman seperti ini, terlebih saat gadis itu sudah mengetahui perasaan Delta padanya.

“Bisa kok, kita tetep bisa kaya gini, ga akan ada yang berubah, Del,”

“Yakin Del, percaya sama Tuhan, kita minta doa yang terbaik buat ke depannya. Tapi buat sekarang, gue nyaman kita kaya gini, maaf kesannya gue egois, seandainya kalau gue jawab iya pun itu bakal lebih egois, karena yang sakit pasti bukan gue doang, lo juga bakal sakit gara-gara gue,”

Padahal Delta mau Zetta berbagi keluh kesah pada dirinya. Semuanya bisa dibagi agar terasa lebih ringan, tidak terlalu terasa karena sudah ada tempat bersandar. Tapi sepertinya Zetta tidak satu tujuan untuk hal yang satu ini.

Hingga pada akhirnya, mereka tetap kembali seperti biasa, seperti dua makhluk Tuhan yang hanya mengisi hari-harinya satu sama lain, hanya berbagi cerita tentang apa yang terjadi tanpa ada ikatan diantaranya.

Dan Zetta, gadis itu tetep memilih menyelesaikan segala urusan masa lalunya sendiri tanpa bantuan yang sudah Delta ulurkan sebelumnya karena Zetta tidak ingin membuat orang-orang yang ia sayangi harus ikut masuk ke dalam dunia dia yang belum selesai.