Malam itu, enam tahun yang lalu.

“Di balkon mau ga?” Tanya Zetta saat Delta baru saja datang.

Malam ini pukul sepuluh malam, Delta baru bisa datang ke rumah Zetta karena ia baru saja menyelesaikan urusan dengan temannya yang lain.

“Mau. Zello ada?” Tanya Delta sambil berjalan di belakang Zetta.

“Hazel belom pulang, paling jam dua belas. Naik duluan aja Del, gue mau ambil gelas sama botol dulu.”

“Gue temenin aja deh,” balas Delta.

Setalah mengambil gelas dan satu botol red wine, Delta dan Zetta sudah berada di balkon rumah gadis itu. Pakaian mereka malam ini benar-benar santai, Zetta yang hanya menggunakan kaos crop serta celana panjang dan Delta yang mengenakan kaos hitam polos serta celana jeans.

“Jangan dibuka dulu, gue mau cek lo udah sembuh atau belum.” Ucap Delta saat Zetta sudah memegang botol itu.

Gadis itu tertawa, “nih cek, gue udah sembuh sumpah.”

Delta mengeluarkan termometer dari dalam sakunya, lalu mengarahkan benda itu ke tangan Zetta, “oke, boleh dibuka sekarang, Nona.” ucap Delta, Zetta cukup dibuat terkejut dengan kata terakhir yang diucapkan oleh Delta.

Gadis di sebelahnya sudah menghabiskan dua gelas wine dan masih setia bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya selama seminggu kebelakangan ini.

“Kadang masih suka ga nyangka kalau bokap gue mau nikah lagi,” ucap Zetta sambil melihat halaman rumahnya dari duduknya.

“Dulu, Bokap gue jarang banget pulang, sekalinya pulang cuma bisa marah-marah dan main tangan, padahal kalau dia cape, dia bisa cerita ke bunda kan, Del, pasti Bunda dengerin. Tapi dia lebih milih main tangan sama anak-anaknya bahkan istrinya sendiri.”

“Dua tahun, selama itu, dia selalu main tangan ke Bunda kalau urusan di kantornya ada yang ga berjalan sesuai rencana awal atau ngeliat rumah berantakan karena Hazel waktu itu masih kecil. Gue yang liat Bunda suka nangis tiap Bokap pulang, rasanya mau banget teriak ke Bokap kalau ini tuh bukan salah Bunda gue, karena Bunda udah jadi orang paling sabar di rumah ini.”

“Sampe puncaknya, waktu gue umur empat belas tahun, Del. Semuanya bener-bener berubah, Bunda gue masuk rumah sakit karena dia nanggung beban banyak banget selama ini, pasti Bunda gue selama itu bener-bener menderita sendirian, gue yakin dia bingung mau cerita ke siapa karena anak-anaknya masih kecil,” Zetta meneteskan air matanya, untuk kali pertama selama hidupnya, ia menceritakan kisah yang dia alami selama ini selain ke Geya, karena Geya merupakan saksi nyata selama perjalanan dia.

Delta tidak berniat memotong semua kata yang Zetta lontarkan, ia masih setia di duduknya mendengarkan semua cerita Zetta.

“Ga lama Bunda dirawat, Bokap gue pulang lagi ke rumah, bahkan waktu dia pulang, dia sama sekali ga nanyain keadaan Bunda di rumah sakit kaya gimana, udah lebih baik atau belom. Tapi yang dia lakuin malah mukul gue karena katanya gue anak yang bandel dan ga bisa nurut.”

“Dan ternyata, hari itu juga jadi hari terakhir gue ngeliat Bunda di dunia ini,” Delta hanya bisa mengelus tangan Zetta, berharap bisa menyalurkan kekuatan kepada gadis itu.

“Gue kangen Bunda, tapi bunda udah ga ada di sini, Bunda udah ga bisa gue liat lagi kecuali dari foto yang ada di kamar gue, Del. Makanya pas pertama kali ketemu Bunda lo, rasanya tuh seneng banget gue diperhatiin lagi, karena selama ini, yang perhatiin diri gue cuma gue sendiri,”

Delta membenarkan rambut Zetta yang menutupi wajah gadis itu karena terbawa angin, “Bunda pergi ninggalin gue waktu umur gue masih empat belas tahun, rasanya mau marah sama Tuhan kenapa ngambil Bunda secepat itu dari gue sama Hazel,”

“Di hari yang sama waktu Bunda pergi ninggalin dunia, ternyata gue juga ngeliat ada anak laki-laki yang mau pergi ninggalin dunianya, kayanya dunia ini emang semenakutkan itu bagi sebagian orang ya, Del?”

Delta mengangguk, dia percaya bahwa dunia pasti pernah menjadi tempat paling menakutkan bagi sebagian orang.

“Awalnya, gua ga mau nyamperin anak itu, karena gue juga lagi berduka karena Bunda pergi ninggalin gue. Tapi gue inget pesan Bunda, kalau ada orang yang butuh bantuan, siapapun, mau kenal dia atau engga, harus dibantu, kareanakita ga akan tau kedepannya gimana, bisa aja orang yang kita bantu jadi ngebantu kita di masa depan, atau karena bantuan kita, ada satu harapan baru di dalam hidupnya.”

“Makanya waktu gue inget Bunda pernah bilang kaya gitu, gue langsung lari nyamperin dia,” gadis itu tertawa mengingat kejadia enam tahun lalu. “Lucu banget, Del. Gue ajak dia beli minum terus kita duduk sambil nangis, kayanya orang-orang yang liat pasti bakal mikir kalau gue sama dia kaya pasangan anak kecil yang berantem gara-gara ga bales chat selama semenit.”

“Awalnya gue ga mau tanya keadaan dia kenapa, karena keadaan gue waktu itu juga lagi ga baik-baik aja, tapi akhirnya tetep gue tanya karena uda terlanjur duduk nangis bareng dia, ternyata dunia dia waktu itu keadaannya sama kaya dunia gue, dia baru aja ditinggal sama Ayahnya seminggu lalu dan Bundanya masuk rumah sakit.”

Zetta menuang air di dalam botol ke dalam gelasnya, “dia bilang, buat apa ada di dunia ini kalau orang-orang yang dia sayang pergi ninggalin dia. Del, asal lo tau, pikiran gue sama dia saat itu bener-bener sama, buat apa sih ada di dunia ini kalau Bunda gue ga ada?”

“Dia mau akhirin dunianya malem itu, tapi gue bilang ke dia, gimana kalau Bundanya dapet kabar anak kesayangannya udah ga ada, gimana keadaanya? harusnya dia nemenin Bundanya, support biar cepet sembuh walaupun gue tau itu sama sekali ga gampang karena dia juga baru ditinggal Ayahnya, tapi anehnya anak laki-laki itu malah ketawa dan bilang makasih ke gue, padahal gue cuma bilang begitu.”

“Terus dia ngajak kenalan, kata dia namanya Alam, pertama kali gue denger namanya langsung ketawa, karena baru pertama kali denger nama orang Alam, tapi sekarang biasa aja karena nama lo juga ada Alamnya jadi menurut gue udah ga unik lagi.” Zetta tiba-tiba tertawa karena mengetahui bahwa ia mempunya teman yang bernama Alam juga.

Delta tersenyum mendengarnya, “anak perempuan yang ngomong pasti bawa gantungan warna coklat di tangan kirinya,” ucap Delta secara tiba-tiba.

Zetta langsung menoleh dengan cepat ke arah Delta, “kok lo tau?”

“Gantungan yang sampe sekarang masih ada, dan dia jadiin gantungan powerbank,” lanjut Delta tanpa menjawab pertanyaan Zetta.

“Del?”

Delta menatap netra hitam milik Zetta, “itu gue Ze. Alam itu gue, anak yang pernah ngobrol sama lo malem-malem sambil nangis terus tiba-tiba ketawa dan ngajak kenalan di deket rumah sakit, itu gue.”

“Gue mau berterima kasih banyak banget sama lo karena omongan lo waktu itu bener-bener ngebuat gue sadar gimana kalau Bunda tau anak satu-satunya pergi ninggalin dia juga, padahal bunda butuh support gue biar cepet sembuh. Kerena omongan lo juga, gue bisa ada di titik ini sampe sekarang.” Jelas Delta membuat Zetta sama sekali tidak berkedip.

Malam itu jadi saksi bisu pertemuan tak terduga mereka enam tahun yang lalu, ternyata bisa menjadi sangat berati bagi hidupnya masing-masing.

Terima kasih karena telah menolong dan terima kasih karena sudah bertahan.