Mereka, Berlin.
Sore ini aku duduk di cafe paling favorite, menurut ku. Karena cafe ini sangat sepi jadi tidak akan mengganggu konsentrasiku yang sangat minim ini untuk mengerjakan tugas kuliah dari dosen yang segunung itu.
Jam cantik kesayanganku yang berumur dua tahun sudah menunjukan pukul lima sore, tandanya sebentar lagi jalanan akan dipenuhi oleh manusia yang berebut ingin sampai duluan ke rumah mereka.
Satu.
Dua.
Tiga.
Ting!
Aku pikir lampu lalu lintas di sebrang sana akan berganti warna menjadi merah, tapi ternyata aku salah. Bunyi itu bukan berasal dari hayalan otakku.
Ku lihat pintu cafe yang terbuka karena ada satu pengunjung lagi yang datang. Ah malas sekali rasanya melihat cafe ini jadi dua penghuni, padahal sebelum aku berangkat ke sini, aku sudah berdoa kepada Ibu Peri agar cafe ini hanya di huni oleh aku seorang. Doa tidak baik sebenarnya, maka itu Ibu Peri tidak mengabulkan doaku kali ini.
Aku tidak menghiraukan laki-laki yang baru saja masuk dan duduk di meja 13 dengan celana jeans robek-robek ala anak metal, hoodie hitam yang ia gantungkan di lengan kirinya, kaos hitam polos serta sepatu convers yang dia injak belakangnya. Hah dia injak?! DIA INJAK?!! WAH benar-benar mengibarkan bendera perang denganku.
Apa yang kau pikirkan Berlin? Sudah aku bilang aku tidak menghiraukan laki-laki itu, tadi hanya terlihat sekilas oleh mataku, benar-benar sekilas. Aku tidak menghiraukannya. Sumpah.
Aku kembali mengerjakan tugas-tugas yang rasanya tidak pernah selesai. terhitung sudah satu jam aku duduk di cafe ini, sendiri. Sampai dua menit yang lalu ada satu pengunjung yang datang menemaniku dalam keheningan.
Tiga menit.
Delapan menit.
Dua belas menit.
Konsentrasiku terbuyarkan hanya karena laki-laki itu menginjak belakang sepatunya. Ibu Peri, tolong bantu aku sekarang juga, aku butuh Ibu Peri mengusir dia atau setidaknya buat dia memakai sepatunya dengan benar. Aku mohon.
Kenapa ia menatapku? Ada yang salah dengan pakaianku? Mungkin mukaku? Atau mungkin aku mirip dengan adiknya? Heyyyy, mana mungkin Berlin, kau saja tidak tahu dia punya adik atau tidak. Atau bisa jadi ternyata selama ini aku punya hutang dengan dirinya? Ah tidak mungkin juga Berlin. Ayo kendalikan pikiranmu itu.
Lapor, Ibu Peri! Dia terus memperhatikanku! Aku bingung sekarang juga dan aku yakin dia bisa melihatnya dengan jelas kebingunganku yang tidak jelas ini.
Dia berdiri, Ibu Peri tolong aku!
Dia berjalan mengahampiriku!
Ayo Berlin cepat berpikir apa yang harus kamu lakukan dalam hitungan ke sepuluh. Ah tidak, itu terlalu lama, yang ada dia sudah berada di depan ku. Hitungan ke lima Berlin, hitungan ke lima.
Satu.
Tiga.
Empat.
Empat seperepat.
Empat setengah.
Empat seperlapan.
Empat bagi dua.
Empat tambah satu. LIMA?
Lari. Aku benar-benar kabur dari mejaku menuju toilet, dan aku yakin laki-laki itu makin bingung dengan sikapku, atau mungkin tidak. Aku tidak tahu.
Aku mengintip dengan mata elang kebanggaanku, kulihat dia masih setia berdiri di mejaku. Sudah dapat ku pastikan bahwa aku sudah berada di dalam toilet lebih dari tujuh menit sampai akhirnya pelayan di cafe menghampiriku.
“Maaf Kak, Kakaknya ditunggu sama temennya di depan.”
Teman? Dia temanku? Menghayal! Kalau kau mau menjadi temanku, jangan injak belakang sepatumu itu.
“Eh, oh, anu iya Kak, tapi dia bukan temen saya.” Ucapku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
“Eh? Yaudah kak, coba disamper dulu aja, soalnya dari tadi nungguin.” Balas pelayan perempuan yang kulihat memiliki alis yang sudah terukir indah sejak lahir.
Ku hampiri laki-laki itu walaupun pelipisku sudah dipenuhi oleh keringatku sendiri. Laki-laki itu benar-benar terlihat kebingungan dengan tingkahku.
“Kenapa?” Tanyaku cepat karena sejujurnya aku ingin dia pergi dari sini.
Bukannya menjawab, ia malah mengambil tissue yang ada di mejaku, memberikannya kepada gadis aneh di hadapannya itu. “Nih, di lap dulu. Capek banget kayanya.”
Anehnya aku menuruti perintah dia, rasanya seperti terhipnotis. Ibu Peri tolong aku! Kenapa disaat seperti ini engkau tidak muncul. Ku percepat setiap pergerakanku seperti menggunakan speed 2x.
“Udah. Ada apa ya?” Tanyaku lagi. Semoga kali ini ia segera memberitahu maksud kedatangannya ke mejaku.
“Ga mau duduk dulu?” Ya Tuhan. Hilangkan aku sekarang juga dari cafe ini, pindahkan aku ke apart saja, aku mohon. Kenapa laki-laki ini sulit sekali rasanya tinggal berbicara tujuannya kepadaku.
Ku tarik napas sebentar setelah melihat sepatu dia yang ternyata masih diinjak, “Okayyy,” jawabku sambil duduk. “Mau apa??” Lanjutku tidak sabar.
Ia menunjuk salah satu buku dari sekian banyaknya tumpukan buku yang aku bawa. “Ini belinya dimana?”
“Ga dijual dimana-mana.” Kataku.
Laki-laki itu menaikan satu alisnya, aku tahu dia tidak puas dengan jawabanku. “Ini ga dijual di toko buku, soalnya gue bikin sendiri.” Kataku sambil memamerkan buku yang aku yakin dia taksir.
“Boleh dipinjam sebentar?” Tanyanya yang tiba-tiba duduk di kursi sebrang.
TIDAK! TIDAK BOLEH WAHAI LAKI-LAKI YANG MENGINJAK BELAKANG SEPATUNYA.
“Halo?” Panggilnya sambil melambaikan tangannya ke wajahku.
Dengan cepat aku menjawab, “Gak! Soalnya lo pake sepatu belakangnya diinjek.”
Berlin kenapa kamu bilang seperti itu? Kenapa kamu kasih tau alasannya Berlin? Kenapaaaaa? Sumpah demi Tuhan aku butuh Ibu Peri sekarang juga!
Ku lihat, wajahnya heran dengan perkataanku barusan, ia segera melihat sepatunya dan tertawa. Tertawa ku bilang. Ia tertawa. Makhluk aneh menurutku.
“Kenapa emang kalau belakang sepatunya gue injek?”
“Gue ga suka. Lo aneh.” Kataku yang membuat dirinya semakin bingung. Aku yakin dia pasti sudah mengira bahwa aku adalah orang aneh yang menyebut orang lain aneh.
“Lo ga suka gue? Atau gue aneh? Atau apa?”
“Gue ga mau pinjemin buku ini karena gue ga suka liat orang pake sepatu belakang diinjek.” Jelasku dan membuat ia tertawa terbahak-bahak.
Laki-laki itu segera membenarkan posisi sepatunya dengan sempurna dan memamerkannya kepadaku. “Udah bener nih, boleh minjem ga?”
‘Ya tentu tidak’ pikirku lima detik yang lalu akan keluar jawaban seperti itu, tapi ternyata aku salah. Yang terucap ternyata “Yaudah nih, tapi jangan lama-lama ya.”
Demi Dewa Neptunus, Mars, Venus, Jupiter dan kawan-kawannya, rasanya aku ingin mengulang waktu ke sepuluh detik yang lalu dimana seharusnya aku menjawab “TIDAK BOLEH” karena buku yang baru saja ia pinjam adalah buku harianku.
Buku harian dimana aku menceritakan tentang tetangga rumahku dulu yang suka menyanyi malam-malam tetapi suaranya tidak enak, coffeeshop yang baru saja buka tapi katanya tempat tersebut dulunya merupakan kuburan, aku yang beberapa hari lalu mencoba racik makanan ala-ala diriku sendiri yaitu menggabungkan cheetos dan oreo lalu diblender dengan susu, aku yang kehujanan saat diputusin oleh mantanku yang seperti tai beberapa bulan lalu dan masih banyak cerita-ceritaku setiap harinya.
“EH WOY! COWOK! Ga jadi gue penjemin!” Teriakku saat dia sudah berjalan meniggalkan mejaku.
“Isac, nama gue Isac, Berlin.” Katanya setelah mendengar teriakanku yang sangat besar itu. Dan tunggu, bagaimana dia bisa tau namaku Berlin?
Seperti bisa membaca pikiranku, dengan cepat ia melanjutkan kalimatnya, “ada di cover buku, ‘Berlin’s’ Berlin nama lo kan?”
Aku hanya mengangguk, laki-laki itu kembali berjalan ke arahku sampai akhirnya ia menaruh buku itu kembali ke tempatnya, yaitu tanganku.
“Lain kali ngomong ya kalau ini diary, gue kira buku cerita, soalnya covernya unik.”
“Hah? okeee, I...sac?”
“Iya Isac, Isac Zenberlin.”