chiiroses

Tok tok.

Suara pintu kelas IPS 2 dieketuk oleh seseorang dari luar, membuat Pak Tri—yang sedang mengajar geografi menjeda ucapannya dan segera mempersilahkan masuk kepada yang mengetuk pintu.

“Misi, Pak,” sapa Ragil saat Pak Tri sudah mempersilahkannya masuk.

“Iya, silahkan, ada apa?” Pak Tri bertanya kepada Ragil sambil membenarkan kacamatanya yang miring.

Tatapan Ragil menyapu ruang kelas ini, dan berhenti pada satu meja di ujung kanan sebelum meja paling belakang, “ini, Pak, mau ngasih tau kalau Jule,” Ragil menunjuk Jule yang sejak tadi sudah memperhatikannya, “tuh, yang itu Pak, sakit perut katanya, tapi ga berani bilang ke Bapak,”

Jelas saja itu semua bohong, Jule sama sekali tidak sakit perut, dan dia juga berani untuk bilang ke Pak Tri bahwa dirinya ingin ke toilet, hanya saja ia baru kembali dari toilet beberapa menit yang lalu, maka itu ia tidak mau izin lagi.

Jule yang namanya disebut malah membelakan mata tidak percaya, bagimana bisa Ragil melakukan hal seperti ini.

“Oh, ya udah, Jule, kamu ke uks dulu sana, minta obat. Kenapa dari tadi diem aja, ga bilang ke Bapak,” Pak Tri mempersilahkan Jule untuk pergi menuju UKS dengan Ragil yang masih berdiri di depan kelas. “Kamu bisa ke UKS sendiri?” tanya Pak Tri kepada Jule.

Yang ditanya memberikan anggukan sambil menahan rasa ingin teriaknya kepada laki-laki yang dengan tiba-tiba datang ke kelasnya, “bisa, Pak,”

“Coba dianter temen kamu aja. Ayo siapa yang mau nganterin Jule?” Pak Tri bertanya pada murid IPS 2.

Tidak ada yang menjawab, hanya ada sebagian orang yang saling menatap. Jule sudah biasa akan hal ini.

“Kamu mau ngapain?” Tanya Pak Tri kepada Ragil yang tiba-tiba jalan menghampiri Jule.

“Mau nganterin ke UKS, Pak,” jawab Ragil yang posisinya sekarang ada di belakang gadis itu.

“Oh, ya sudah. Tapi kamu sudah bilang guru kamu?”

“Udah, Pak. Jule temen kecil saya dari sebelum lahir tau, Pak. Ini info aja.” Ucap Ragil asal membuat seisi kelas tertawa, Pak Tri hanya bisa menggelengkan kepala dan segera mempersilahkan mereka berdua untuk pergi.

Malam ini pukul setengah delapan banyak sekali muda mudi yang keluar memenuhi jalanan sekedar untuk menghilangkan penat selama lima hari yang telah dilalui atau ingin bertemu dengan teman-temannya, kumpul bersama keluarga atau bisa saja seperti dua anak muda yang sekarang sudah duduk di warung kopi tempat biasa Ragil berkumpul bersama Bima.

“Mang, kopi hitam satu,” Ragil mengatakan pesananya kepada pemilik warung kopi, “lu, Le?” lanjutnya sambil melihat Jule.

“Kopi susu deh,”

“Sama kopi susu satu, ya, Mang.” ucap Ragil lagi kepada Mang Dani—si pemilik warung kopi.

“Tumben, A, ke sini ga sama si Bima,” tanya Mang Dani sambil menyeduh kopi pesanan mereka.

“Lain, Mang, masa sama Bima mulu, kali-kali dong saya bawa yang beda,” Ragil tertawa sambil melihat ke arah Jule yang sedang sibuk dengan rambutnya.

“Kuncir aja, Le.” Suruh Ragil, Jule menggeleng tidak mau. Gadis itu tidak suka rambut pendek sebahu miliknya dikuncir.

“Yaudah kenalan aja,” Ragil mengajak Jule untuk berkenalan dengan Mang Dani, “yang punya warung ini namanya Mang Dani, orang Bandung, iya kan Mang?” Ragil memastikan bahwa ia tidak salah memberi tahu Jule bahwa Mang Dani asli Bandung.

Mang Dani memberikan dua gelas berisikan kopi kepada mereka, “iya, A, Bandung. Si teteh temennya A Ragil?”

“Sebenernya males sih ngaku jadi temen dia, Mang,” jawab Jule sambil tertawa yang diikuti oleh tawa Mang Dani, sedangkan Ragil, laki-laki itu malah memasang wajah masamnya.

“Bercandaaaaa,” Kata Jule kepada Ragil.

“Sok, lanjut aja kalian ngobrolnya, Mamang tinggal ya, Teh, A,” Ragil dan Jule segera mempersilahkan Mang Dani untuk meninggal mereka.

Angin berhembus cukup kencang, membuat Jule yang sejak tadi tidak henti-henti menyelipkan rambutnya yang sempat terbang menutupi wajahnya.

“Berarti lu sering ke sini ya?” Jule membuka obrolan setelah Mang Dani meninggalkan mereka.

“Lumayan, kadang-kadang aja sih kalau lagi bete, mampir ke sini. Eh iya, Le, nanti abis dari sini temenin gue sebentar ya,”

Jule menerima permintaan Ragil yang baru saja laki-laki itu katakan sambil meminum kopinya, “kemana?”

“Keliling,” jawab Ragil singkat.

Jule lagi-lagi dibuat heran dengan permintaan Ragil. Laki-laki ini selalu saja membuat Jule merasa terheran-heran karena segala permintaannya.

Masih ingat waktu pertama kali Ragil mengajak Jule untuk main bersamanya sebanyak tiga kali?

Ternyata yang dilakukan Ragil saat mereka main untuk pertama kalinya adalah meminta Jule untuk menyetir mobil miliknya, kurang lebih seperti ini percakapan mereka. “Le, waktu isi questioner, lu bilang bisa bawa mobil kan? Coba dong setirin gue, soalnya gue penasaran banget rasanya disetirin sama cewek keren kaya lu,”

Atau saat main untuk yang kedua kalinya, Ragil meminta mereka untuk diam selama mereka bersama. Katanya, ingin tahu siapa yang lebih kuat untuk tidak mengeluarkan sepatah kata. Ternyata Jule benar-benar tidak mengeluarkan sepatah kata sama sekali sejak dua jam mereka bertemu, membuat Ragil akhirnya menyudahi permintaan konyolnya.

Dan waktu ketiga kalinya mereka main, posisinya saat sedang pulang sekolah, Ragil menunggu Jule di parkiran bersama motor miliknya. Lalu saat mereka sudah berada di atas motor, Ragil bertanya makanan seperti apa yang Jule suka, karena saat Ragil bertanya di questioner, gadis itu menjawab bahwa ia menyukain semua makana, membuat Ragil mau tidak mau harus bertanya lagi lebih spesifik. Jule bilang ia suka martabak dan cilok, akhirnya dengan ide yang ada di kepala laki-laki itu, Ragil mengajak Jule ke sebuah swalayan dekat rumahnya untuk membeli bahan yang diperlukan saat membuat cilok. Sore itu, Ragil membuat cilok buatannya dengan sedikit bantuan resep dari youtube yang ia pelajari secara spontan bersama Jule di rumah gadis itu. Saat jadi, ternyata rasanya tidak terlalu buruk, Ragil memberikan cilok itu kepada Jule sebagai tanda terima kasih karena sudah mau main bersamanya selama tiga kali.

Karena cilok itu juga mereka bisa menjadi teman hingga saat ini, Jule merasa cukup senang karena selama tiga kali main bersama Ragil, laki-laki itu selalu melakukan hal-hal yang tidak pernah terlintas di kepalanya, serta tidak pernah mengomentari dirinya seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Setalah menghabiskan kopi lalu membayarnya, Ragil dan Jule segera meninggalkan warung kopi Mang Dani dengan motornya. Benar saja, saat ragil mengajak Jule untuk berkeliling, mereka sudah berada di motor selama empat puluh menit mengelilingi kota BSD di malam hari.

“Gil, ini serius keliling-keliling ya?” Ragil mengangguk dari posisinya.

“Maksud gue, ini kita serius keliling-keliling BSD? bukan kayak jalan gitu? Soalnya ini udah ketiga kalinya kita lewatin jalan ini,” oceh Jule karena Ragil benar-benar mengajaknya mengelilingi tempat itu saja.

“Yaudah mau kemana?” Ragil bertanya sambil memelankan kecepatan motornya.

“Ga tau, ikut aja, tapi jangan muterin ini lagiiiii, udah bosen,”

“Mau yang ga bosen?”

“Iya,” Jule mendekatkan wajahnya ke arah Ragil agar suaranya tidak menghilang karena berisiknya jalanan.

“Yaudah jadi pacar gue aja,”

Jule mengedipkan matanya beberapa kali memastikan bahwa pendengarannya tidak salah, “hah, apa?”

“Jadi pacar gue, lu bosen kan? Makanya jadi pacar gue, Le. Yakin ga bakalan bosen,” Ragil mengulang kembali ucapannya dengan sedikit kencang agar Jule dapat mendengarnya dengan jelas.

“Ini lu ngajak gue pacaran?” tanya Jule karena ia tidak percaya Ragil mengucapkan kalimat itu di atas motornya yang sedang melaju.

“Ngajak belajar. Ya ngajak pacaran lah cantikkk,”

Tidak ada jawaban, Ragil lantas menoleh ke arah belakang, memastikan bahwa Jule masih berada di posisinya, “Le, masih ada kan?”

“Masiiihhh,”

“Oh, kirain ketinggalan, lagian tiba-tiba ga ada suaranya,” ucap Ragil yang dihadiahi pukulan ringan oleh Jule.

“Gil, bentar-bentar,” kata Jule membuat Ragil meminggirkan motornya, “Eh, ga usah minggir, jalan aja,”

“Tadi katanya bentar?”

“Maksudnya bentar deh, ini lu serius?”

“Keliatan bercanda emang?” Ragil malah balik bertanya.

“Engga juga, cuma kayak, ini kita lagi di motor? Lagi keliling, terus tiba-tiba lu ngajak gue jadi pacar lu?” Jelas Jule yang masih memproses semuanya.

“Iya lagi di motor, emang kalau di motor, ga boleh ngajak lu jadi pacar gue?”

“Boleh sih, cuma gue kaget aja,” kata Jule sambil tertawa. Lagi dan lagi Jule dibuat heran oleh tingkah Ragil.

“Jadi?” Tanya Ragil.

“Jadi?”

“Iya, jadi jawabannya apa?” Tanya Ragil lagi.

“Barusan ngomong apa?”

“Yaudah jadi pac—,” “Bukaaann, yang barusan, barusan banget,” potong Jule membuat Ragil mengangguk paham.

“Iya, jadi jawabannya apa?” Ragil mengulang kembali kalimatnya.

“Yaudah itu,” Jawab Jule.

Ragil tidak paham dengan maksud yang Jule sampaikan, “gimana?”

“Tadi lu ngomong apa?”

“Iya, jadi jawabannya apa?” Lagi-lagi Ragil mengulang kalimatnya.

“Ya, itu, yang barusan lu bilang,”

Jule membuat Ragil semakin bingung karena kalimatnya yang tidak jelas, “hah, apaan sih, Le?”

“Coba ngomong lagi, tapi kata paling depan aja,” Jule meminta Ragil mengucapkan kembali kalimatnya.

“Iya,”

Ragil langsung tersadar di detik selanjutnya, lalu tertawa, Jule yang di belakangnya pun ikut tertawa karena Ragil terus mengulang kalimat yang sama.

“Le, ini serius gue jadi pacar lu?” Tanya Ragil memastikan, karena dirinya masih tidak percaya.

“Maunya?”

“IYAAA,” Ragil berteriak semangat, membuat pengendara di sebelah mereka menoleh ke arahnya. Jule segera meminta maaf kepada dua orang yang Jule yakini adalah sepasang kekasih.

Lain halnya dengan yang dilakukan oleh Jule, Ragil malah berucap kepada pengendara di sebelah mereka, “Kak, saya baru pacaran, Kak, liat yang saya bonceng sekarang jadi pacar saya,”

Sepasang kekasih itu tersenyum lalu berkata “selamat ya, Kak, semoga ga sering berantem,”

“Iya, Kak, makasih ya, semoga Kakak sama pacarnya juga ga sering berantem,” balas Ragil membuat jule menutup wajahnya karena malu.

Sepanjang perjalanan mengelilingi kota BSD, Ragil tidak henti-hentinya tersenyum dan memamerkan Jule kepada beberapa orang yang ia temui di jalan. Bahkan saat sedang lampu merah, ternyata Ragil bertemu dengan temannya yang tidak Jule kenal, lalu dengan bangganya Ragil mengucap, “eh, Lang, kenalin nih, cewek gue, keren banget ya?”

Atau saat mereka berada di jalan yang lenggang, Ragil dengan percaya dirinya berteriak, “AKHIRNYA JULE JADI CEWEK GUE!” “LANGIT, LIAT DEH, CEWEK GUE CANTIK BANGET YA?” “BSD IRI GA YA, CEWE PALING KEREN DI KOTANYA UDAH JADI MILIK GUE?”

Malam ini mereka habiskan dengan berkeliling kota dengan Ragil yang sibuk memamerkan Jule kepada seluruh sudut di kota ini. Malam ini pula, di sebuah kota yang damai, kota yang ramah akan setiap penduduknya, menjadi saksi atas kebahagian dua makhluk yang jiwanya sedang berbahagia.

BSD pagi ini cukup sejuk, mungkin karena sebelum matahari terbit, hujan sudah membasahi kota ini. Hail—laki-laki dengan setelan kaos putih serta celana panjang berwarna hitam sedang mengendarai motornya dengan jok belakang yang diisi oleh Kale.

Jam masih menunjukan pukul sembilan pagi, pusat perbelanjaan di kota ini pun masih belum buka, jadi mereka memutuskan untuk berkeliling kota yang sejuk ini tanpa arah.

“Kamu kenapa sih Il, suka banget muter-muter naik motor gini?” Kale memajukan badannya ke depan agar Hail bisa mendengar suaranya, karena mereka berdua menggunakan penutup kepala.

“refreshing, sama biar jadi tau oh di sini tuh ada ini, di situ ada itu,”

“Aku mau tau dong, kamu udah nemuin apa aja,”

Hail memelankan laju motornya, “ Di pamulang, ada tukang kue pancong, rasanya enaaaak banget, tapi adanya di dalem gitu deket lahan kosong. Terus di situ,” ia menunjuk satu jalan di sebelah kiri mereka, “di dalem gang itu, ada yang jualan nasi goreng, ibu-ibu udah tua tapi rasanya TOP,” ucapnya memberikan jempol pada tangan kirinya.

Kale setia mendengarkan yang Hail katakan, “di deket rumah kamu, ada cafe tapi di dalam rumah, tau ga?” Hail bertanya.

“Hah di mana? Ga tau,” jawab Kale menggelengkan kepalanya.

“Sebelum masuk perumahan, ada belokan yang ke kiri, masuk ke situ nanti ada cafe nya di kanan.” Kale baru mengetahui bahwa di dekat rumah nya ada sebuah cafe, bila saja Hail tidak memberi tahu, Kale yakin sampai saat ini ia masih belum mnegetahui keberadaan cafe tersebut.

“Nanti harus ke sanaaaa!” Semangat gadis itu membuat Hail yang sedang mengendarai motornya tertawa.

Kale tiada henti-hentinya berbica selama mereka mengelilingi BSD pagi ini, sesekali ia menunjuk orang yang berlalu lalang, menunjuk mobil yang lewat di sebelahnya sambil mengaakan bahwa itu adalah mobil impian gadis itu, suatu saat ia pasti akan memilikinya.

Sudah satu jam sejak mereka berdua keliling kota ini, akhirnya Hail berhenti pada sebuah warung di pingir jalan, mereka sudah bukan berada di jalan besar saat ini.

Membeli minum sambil mengistirahatkan dirinya sebentar. Kale sibuk membeli jajanan yang ada di warung itu,” Il, mau yang mana?”

“Kamu aja, aku engga,” tolak Hail.

Kale hang mtidak mau mendengar penolakan itu malah mengambil beberapa snack dan membayarnya, “nih ya, makan,” Kale memberikan tiga makanan ringan kepada Hail. “Abis ini kita kemana ya?”

“Mau aku ajak muter-muter, tapi kayanya abis ini kita ke icon aja, cari makan.” jawab Hail sambil mengunyah jajanan yang ada di tangannya.

“Ih jangan makan dulu, ini kan juga udah makan,”

“Lain, Kaleee, ini mah jajan,”

“Sama aja,” Kale tetap pada pendiriannya bahwa saat ini mereka sedang makan.

“Yaudah kita lanjut muter-muter dulu, nanti pas siang, harus makan ya,” ucap Hail membuat gadis itu semangat.

“Iyaaa, gitu kan enak.”

Mereka kembali mengelilingi kota ini, sekarang jalanan sudah cukup ramai dengan penduduk yang sudah mulai menjalankan aktifitasnya. Mengelilingi kota indah ini bersama dengan sang pujaan hati sungguh sangat menyenangkan bagi keduanya. Kota ini seperti milik berdua.

Hari ini mereka habiskan untuk membagi tawa serta semangatnya untuk masing-masing, membuat satu cerita di masa muda, bahwa jalan ini pernah mereka lalui saat sabtu pagi sebelum ujian akhir semester yang akan membawa mereka ke tingkat terakhir sekolah menengah atas.

CW // kissing

Delta dan Zetta memasuki salah satu restaurant yang sebelumnya sudah beberapa kali mereka kunjungi saat sedang makan bersama.

Entah mengapa, kali ini kedua orang itu menggunakan baju yang sedikit lebih formal dari biasanya. Delta yang menggunakan tuxedo dan Zetta menggunakan dress hitam. Padahal biasanya mereka jarang sekali menggunakan baju formal seperti ini terlebih lagi bagi Zetta.

“Kenapa sih bisa sama-sama pake baju kaya gini?” tanya Zetta saat menunggu pelayan yang membawakan pesanan mereka.

“Feelingnya kuat,” sahut Delta.

Zetta tertawa sambil melihat sosok lelaki di hadapannya, “ganteng banget,” ucapnya dengan jelas.

Delta yang mendengar pun sontak langsung tersenyum, “yang ngomong juga cantik banget,” balasnya kepada Zetta.

Mereka tertawa karena obrolan yang mereka ciptakan sendiri, sampai pelayan pun datang menaruh pesanan mereka.

Ini dinner seperti biasa yang sering mereka lakukan, hanya saja dengan setelan baju yang berbeda. Zetta dengan bangga membicarakan kesuksesan Delta di usianya yang masih dua puluh lima tahun, membangga-banggakan Delta bukan suatu hal baru bagi Zetta. Karena selama ia bersama laki-laki itu, sudah beribu-ribu kali pula Zetta membanggakannya.

“Del, makan apa kok bisa jadi kaya gini?” Pertanyaan itu kembali keluar lagi dari mulut Zetta untuk yang kesekian kalinya.

“Makan masakan Bunda, makan nasi goreng Zetta, makan apalagi ya...” jawabnya tak pernah bosan, “makan ini,” lanjutnya menunjuk satu piring di hadapan mereka.

“Pantes keren,”

“Kan yang bikinnya juga orang-orang keren, gimana sih,”

“Oh iya sih, jelas,” Bangga Zetta sambil menyuap makanan miliknya.

Dinner kali ini mereka habiskan sambil mengingat kembali pertemuan pertama mereka saat masih duduk di kuliah semester tiga, yang ternyata sebenarnya itu adalah pertemuan kedua setelah enam tahun mereka tidak pernah bertemu, lebih tepatnya, pertemuan kedua bagi Zetta. Karena laki-laki itu masih ingat dengan jelas setiap pertemuannya dengan Zetta saat mereka masih SMA ketika bermain di rumah Shabila tanpa Zetta ketahui.

“Bayangin kalau waktu itu gue ga ketemu sama lo, Del,”

“Nanti muntah lo ga ada yang bersihin,” jawab laki-laki itu.

“Ih anjirrrr, lo masih inget aja lagi,” oceh Zetta karena Delta masih ingat tentang hal itu.

“Ya gimana engga? Cewek cantik tiba-tiba nyamperin gue, terus muntah, terus—” Zetta langsung memotong ucapan Delta sebelum laki-laki itu melanjutkannya.

“Udaaaahh, oke, gue malu,” kata Zetta sambil menutup mukanya.

Kalau diingat-ingat memang pertemuan mereka sangat lucu, seorang gadis yang sedang mabuk menghampiri laki-laki yang duduk di salah satu meja dan meminta nomer telephone miliknya kemudian gadis itu memuntahkan isi perutnya di depan laki-laki yang baru saja ia pinta nomernya.

“Ze,” panggil Delta ketika Zetta masih menutup wajahnya dengan tangan.

“Hm,”

“Ngapain malu gitu?”

“Ya malu, orang-orang ketemu sama pacarnya tuh seringnya di momen yang keren, gemes, lucu, lah gue?”

“Am i your boyfriend?”

Zetta yang tersadar dengan perkataannya kembali menutup wajahnya dengan tangan miliknya. “Del pulang yuuuu, muka gue udah gatau mau taro di mana lagi,”

Delta segera berdiri menghampiri Zetta, kedua tangan milik laki-laki itu memegang bahu gadis yang sedang menutup wajahnya, “Yah, tapi gue masih mau ngomong sebentar sama lo,”

“Yaudah ngomong aja, tapi gue tutup muka,”

“Yah ga seru dong, masa gue ngomong sama tangan,”

“Apa, apa, apaaaaaa?” ucap Zetta setelah melepaskan tangan di wajahnya.

laki-laki itu malah mengajak Zetta untuk segera berdiri dari duduknya, “bangun dulu, ngomongnya di rumah aja,”

“Kenapa jadi di rumah?”

“Mau di sini?”

“Ya kalau bisa di sini, di sini aja,” ucap Zetta sambil membenarkan rambutnya.

“Ga bisa, gapapa ya Zee di rumah aja,” balas Delta membuat Zetta mengangguk.

Delta dan Zetta berjalan menuju mobil dengan kedua tangan mereka yang saling bertaut satu sama lain. “Ga bakalan ilang padahal,” ucap Zetta, karena laki-laki di sebelahnya selalu menggandeng tangan miliknya ketika mereka sedang jalan bersama.

“Biar ga jatuh, ga nabrak, ga ilang, ga nyasar. Pokoknya biar selamat sampai tujuan,” jelas Delta.

Zetta malah mengangkat tangan laki-laki yang sedang memegang tangannya dan menaruh tangan itu pada bahu miliknya, membuat Delta merangkul bahu Zetta “biar sekalian aman semuanya,”


Delta memarkirkan mobilnya di halaman rumah Zetta, gadis di sebelahnya sudah tertidur lelap, sepertinya ia cukup lelah dengan apa yang sudah dilalui selama satu hari ini. Tanpa membangunkan Zetta, Delta menggendong dirinya keluar dari mobil dan mengantarkannya ke dalam kamar gadis itu.

“Kak, Kakak gue tipsy? kok pingsan gitu?” tanya Zello yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya.

“Engga, dia ketiduran di mobil, kayanya ngantuk,”

“Oh kirain, yaudah sini gue bantuin deh,” ucap Zello membantu Delta membuka kamar gadis itu dan membereskan beberapa baju yang berserakan pada ranjang kasur.

“Kebiasaan banget, baju yang dicoba bukannya langsung diberesin lagi malah taro di kasur,” oceh Zello melihat kamar sang kakak.

“Sini, biar gue yang beresin aja Zel. Mending lo tidur, besok magang kan?” kata Delta sambil mengambil beberapa baju Zetta yang ada di tangan Zello.

“Iyasih, tapi kan ini baju-baju Kakak gue, masa lo yang beresin,”

“Santai aja, kaya baru kenal kemarin sama gue” balas Delta membuat Zello tersenyum kikuk, “udah sana, tidur,” lanjutnya membuat Zello pergi dari kamar Zetta.

Laki-laki itu membereskan beberapa baju Zetta yang berada di lantai serta kasur miliknya, sepertinya ini adalah baju yang Zetta coba sebelum mereka keluar hari ini. Lalu Delta menuju meja rias milik Zetta, beberapa make up miliknya pun masih ada yang belum tertutup dengan rapat, bahkan ada yang sama sekali belum tertutup.

Delta merapikan semua barang yang berserakan di kamar Zetta, sampai ia lupa bahwa gadis yang sedang tertidur masih mengunakan sepatunya.

Saat Delta membuka sepatu Zetta, gadis itu mengerjapkan matanya membuat Delta bergumam “shhuuut... shhhhuut,” sambil mengelus-elus tangan Zetta.

Setelah dirasa Zetta sudah kembali pulas, Delta segera melanjutkan membuka sepatu Zetta.


Delta keluar dari kamar Zetta segera menuju dapur, ia yakin besok pagi gadis itu tidak akan sempat membuat saparan, maka dari itu Delta segera membuatkan sarapan untuk Zetta dan Zello.

Sepuluh menit sudah ia berkutat dengan berbagai bahan dan barang-barang di dapur, dari arah belakang terdengar suara langkah yang semakin lama semaki mendekat ke arahnya.

“Del?”

Delta yang merasa namanya terpanggil lantas menoleh, ia melihat Zetta yang masih menggunakan drees hitam tadi. “Kok bangun?” Tanyanya.

“Denger suara-suara, kirain ada apa, ternyata lo lagi masak. Laper, Del? Mau pesen aja ga?” ucap Zetta dengan wajah yang masih dipenuhi oleh make up.

“Engga, ini buat lo sarapan, pasti nanti pagi alesan 'gue ga sempet masakkkk' terus ujung-ujungnya ga sarapan.” Oceh Delta karena Zetta selalu seperti itu.

Yang diomong hanya tersenyum dengan memamerkan giginya, “oh iya, tadi lo mau ngomong apa?”

“Besok aja, lo ngantuk kan?”

Di tanya seperti itu lantas membuat Zetta membuka matanya dengan lebar, “engga, tuh engga, liat aja,”

“Hahahaha, yaudah duduk aja dulu, nanti kalau gue udah selesai masak, baru ngomong,” suruh Delta, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti.

Dari belakang, Zetta memperhatikan setiap pergerakan dari Delta, dalam hati gadis itu bergumam, 'kalau ga ada lo, gue ga tau lagi Del bakalan kaya gimana sekarang,'

Lima belas menit menunggu Delta memasak, akhirnya laki-laki itu sudah selesai dan segera mengahampiri Zetta yang masih setia pada duduknya, “bener udah ga ngantuk?”

“Bener, apaaa cepet?”

“Ke balkon mau ga?” ajak Delta membuat Zetta mengoceh.

“Lo mau ngomong dari tadi ga jadi-jadi mulu ya ampun, yaudahhhhh,” Zetta segera bangun dari duduknya, menuju lantai atas rumahnya yang kemudian disusul oleh Delta.

Malam ini langit sedang indah, ada beberapa bintang di atas sana yang tanpa malu-malu memancarkan sinarnya dengan terang. Bulan pun tak mau kalah dengan bintang, dia tampil dengan bulatnya yang cerah di atas sana menerangi gelapnya malam ini.

Angin malam memang salah satu angin terbaik, walau sebenarnya sama sekali tidak ada baiknya.

“Ini udah di balkon, cepet mau ngomong apa, jangan sampe ga jadi lagi,” kata Zetta sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

“Dua hari yang lalu lo bilang ke gue kalau ada gue di sana, itu bener?” ujar Delta, Zetta yang paham kemana percakapan ini langsung menjawabnya dengan anggukan.

“Sejak kapan?”

“Pastinya ga tau kapan, tapi rasa itu beneran udah ada, Del,” ucap Zetta membuat Delta memberanikan diri untuk melanjutkan setiap kalimat yang ingin ia sampaikan.

“Kalau seandainya kali ini gue minta lagi sama lo buat diisi hari-harinya sama gue, jadi tempat buat ngebagi capeknya hari-hari yang lo jalanin ke gue, tempat ngebagi cerita apa yang terjadi hari ini, mau ga Zee?” tanya Delta untuk yang kedua kalinya setelah pertanyaan ini terlontar lima tahun yang lalu.

Zetta menyangka Delta akan mengajak menjadi pacarnya, seperti ajakan, “Zee, mau jadi pacar gue ga?” atau ajakan-ajakan yang lain, tapi ternyata kalimat itu yang kembali keluar dari mulut Delta, ia sama sekali tidak menyangka.

“Del?”

“Iya? Maaf ya Zee, ajakannya masih sama kaya lima tahun yang lalu. Gue terima semuanya Zee, semua yang pernah terjadi sama diri lo, semua masa lalu lo, semua yang ada di diri lo gue terima, gue mau di setiap harinya lo, selalu ada gue di hari bahagia, sampai di hari terburuk, gue mau jadi bagian di dalamnya,”

“Delta,”

“Apa? Kalau emang jawabannya masih sama kaya yang dulu, gue terim—”

“Mau,” Zetta memotong ucapan Delta, “mau, Del, mau, gue mau disetiap hari-harinya gue selalu ada lo, gue mau semuanya yang lo bilang,”

Setelah Zetta mengucapkan itu, semilir angin menerpa wajah mereka, cahaya bulan yang sebelumnya sudah terang tampak lebih terang lagi, bintang pun semakin banyak yang menampakkan dirinya.

Delta tersenyum mendengar perkataan Zetta. Dielusnya tangan gadis di sebelahnya, sambil menikmati angin malam ini.

“Udah gitu aja?” tanya Zetta karena Delta tidak memberikan jawaban dari ucapanya.

“Mau apa?”

“Ya apaaa, peluk, tau apa gituuuu,” ujar Zetta membuat Delta langsung memeluk dirinya, mengusap punggung Zetta dengan perlahan.

Kali ini rasanya berbeda bagi Zetta, walaupun sudah beribu kali Delta memeluknya, tapi yang kali ini terasa lebih... entah lah.

Zetta mendongakan kepalanya ke wajah Delta, melihat laki-laki yang sudah menemaninya selama ini, “kenapa lagi?” tanya Delta.

“Engga, mau liat muka kamu aja,” sahut Zetta sambil tersenyum, “eh ini gapapa kan aku-kamu?”

“Ya gapapa, cantik,” balasnya sambil memainkan rambut Zetta.

Semakin lama, atmosfer diantaranya semakin berubah, Delta memajukan wajahnya pelan ke wajah Zetta, mengikis kedua jarak diantara mereka.

Dengan pelan Delta mengecup bibir milik gadisnya, rasa yang sangat baru bagi keduanya karena ini kali pertama mereka melakukan hal itu.

Delta kembali menatap wajah Zetta, melihat wajah cantiknya yang tidak pernah bosan ia tatap. Lalu kembali mengikis jarak diantara keduanya, kali ini terasa lebih dalam dari yang pertama.

Penantian laki-laki itu tidak sia-sia. Tuhan selalu baik kepadanya, sampai ia bingung harus mengucap kata syukur seperti apa lagi karena akhirnya ia bisa bersama dengan sang pujaan hatinya.

Malam ini menjadi saksi pertama mereka, semua hal akan berubah esok pagi. Ini bukan akhir bagi mereka, ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mereka lalui. Entah akan berakhir seperti apa, tapi yang mereka ucapkan dalam hatinya masing-masing adalah berharap agar selalu bersama sampai maut yang memisahkan.

Delta masih setia pada tempatnya saat Zetta meninggalkan dirinya dua puluh menit yang lalu. Sampai akhirnya Zetta kembali pada posisi duduk yang sebelumnya.

“Ada masalah?” tanya Delta, lelaki ini seperti bisa membaca selaga pikiran Zetta.

“Engga,”

“Tapi mukanya kaya gitu,” Delta menunjuk wajah Zetta yang sedikit berbeda dari biasanya.

“Bersihin masker yu, Del,” ajak Zetta dengan menarik tangan Delta, sebenarnya gadis itu sedang berusaha agar Delta tidak mengamati wajahnya.

Setelah selesai membilas wajahnya masing-masing, mereka lanjutkan dengan menonton film yang sejak tadi diputar walau sebenarnya hanya Delta yang menonton.

“Kenapa?” tanya Delta lagi di sela-sela film.

“Gapapa,”

“Keliatan ga tenang gitu, mau cerita ga?” tawar Delta kepada Zetta.

“Del,”

“Apa?”

“Del,”

“Iya?”

“Del,” panggil Zetta yang ketiga kalinya membuat Delta mengganti posisi duduknya menghadap gadis itu sepenuhnya.

“Apa, Zee? Kenapa?”

“mau nanya tapi jangan marah ya,” ujar Zetta kemudian menegak satu gelas wine yang ada di meja.

Delta yang melihat itu kemudian segera mengambil gelas di tangan Zetta, “Zee, ada apa? Sini cerita, i'm all ears,”

“Del, pasti capek ya sama gue?” ucap Zetta, dirinya masih sadar walaupun kepalanya sudah sangat pusing dan ramai.

“Engga, kenapa mikir gitu?”

“Tapi pernah kan?” tanya Zetta lagi, “gue pernah liat muka lu nahan emosi waktu lagi sama gue, gue juga pernah denger lu hela napas terus waktu sama gue. Pernah kan, Del?”

“Sini,” Delta menarik tubuh Zetta ke dalam rangkulannya, “yang namanya capek pasti semua orang pernah, tapi tergantung gimana dia nyikapinnya. Waktu itu gue capek karena lagi pusing sama skripsi, jadi maaf karena banyak hela napas ya?”

Zetta hanya menganggukkan kepalanya, “maaf juga bikin lo capeknya jadi double,”

“Engga,” sanggah Delta, “malah ketemu sama lo itu nge recharge diri gue yang seharian udah capek sama semua yang gue kerjain. Tapi maaf waktu itu guenya malah banyak hela napas.”

“Tapi pernah capek sama gue?”

Delta tersenyum, “pernah,” ucapnya membuat Zetta menunduk, “tapi bukan capek gara-gara ketemu sama lo terus. Capek sama diri sendiri aja kenapa gue selalu ga bisa buat lo bahagia,” jelas Delta membuat Zetta menolehkan wajahnya ke atah Delta.

“Siapa bilang? Siapa bilang lo ga bisa buat gue bahagia?” oceh Zetta tidak terima.

“Gue,”

“Kenapa? Padahal kan lo tau, Del, lo salah satu alasan gue bisa ketawa seharian,”

“Gue tau, tapi kadang, gue juga sering nyaksiin lo nangis seharian, Zee, dan disaat kaya gitu, gue selalu coba buat bikin lo ketawa lagi tapi selalu ga berhasil.”

“Lo selalu berhasil, semua yang lo lakuin selalu berhasil buat gue bahagia,” tegas Zetta.

Mendengar hal itu, Delta malah meniupkan wajah Zetta seolah-olah wajah gadis yang sedang dirangkulnya kepanasan.

“Ngapain sihh?”

“Biar ga panas,”

Zetta menunjuk AC yang ada di atas TV, “tuh liat, ada AC nyala,”

“Maksudnya biar pikiran lo ga panas,” ujar Delta dengan tangan kiri yang menjadi sandaran Zetta dia elus-eluskan ke pundak gadis itu.

“Jangan tinggalin gue ya, Del,” ucap Zetta secara tiba-tiba.

“Iya engga,”

“Janji?”

“Janji.”

“Gue beneran bisa gila, Del, kalau lo tinggalin gue.”

Delta yang mendengar langsung memotongnya, “hus, kalau ngomong,”

“Serius. Hazel, Geya, Lo, ga boleh ada yang pergi, semuanya punya peran penting di hidup gue,”

“Ga ada yang pergi, Zee, ga ada.”

“Tapi gue takut lo pergi,”

Delta sedikit melonggarkan rangkulannya, memberi jarak agar dia bisa melihat wajah gadis yang ia sayangi lima tahun kebelangan ini.

“Gue harus apa biar lo yakin?” tanya Delta dengan tangan yang masih setia mengelus-elus pundak gadis di sebelahnya.

“Ga tau,” Zetta menggeleng, “Tapi gue cuma mau bilang. Del, my heart is yours,

Laki-laki berpostur tinggi dengan mole di bawah mata sebelah kanannya masuk ke dalam rumah Zetta dengan membawa masker milik sang pemilik rumah.

“Cepet banget, ngebut ya?” tanya Zetta saat melihat satu-satunya teman lelaki yang sekarang ia miliki sedang berjalan menghampirinya.

“Tadi pake pintu doraemon,”

“Oh pantesan cepet, kapan-kapan ajak gue ya,”

Delta menjawab ucapan Zetta dengan anggukan. “Mana cookies yang gagal? Mau coba,”

“Duduk dulu bisa ga? Lu baru banget dateng,”

“Engga, udah ga sabar mau coba,” oceh Delta dan akhirnya ia sendiri berjalan menuju dapur milik Zetta.

Mencari tempat dimana gadis itu menaruh cookies gosong buatannya, sampai akhirnya ia menemukan satu toples transparan yang berisi cookies berwarna coklat gelap.

“Ini?” tanya Delta mengangkat toples yang baru saja ia temui.

“Iya, jangan dicobainnnn, nanti mules Del,”

Bukannya mendengarkan, Delta malah membuka toples yang ada di tangan kirinya lalu mengambil satu buah cookies buatan Zetta. Tanpa ragu, Delta langsung memasukan satu buah cookies ke dalam mulutnya.

“Enak ah,” ucap Delta setelah menelan makanan yang ada di mulutnya.

Zetta hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil berjalan ke arah Delta, berniat mengambil toples yang dipegang laki-laki itu.

“Jangan diambil, orang gue suka,”

“Tapi gosong, Del,”

“Enak, Zee, sumpah,” ujar Delta dengan tangan kanannya membuat angka dua, tanda bahwa ia serius dengan ucapannya.

“Rasanya pas, cuma emang agak pahit pas bagian yang gosong, tapi masih bisa diterima sama lidah gue,” jelas laki-laki itu membuat Zetta senang ada yang mengapresiasi cookies gosong buatannya.


Barang titipan Zetta tadi, saat ini sedang mereka gunakan pada wajahnya masing-masing. Tidak ada sesi yang menggemaskan seperti di film-film bahwa sang tuan mengoleskan masker kepada wajah sang puan pun sebaliknya.

Sebelumnya, Zetta sempat membujuk Delta agar dirinya mau untuk ikut serta dalam menggunakan masker pada wajahnya, karena biasanya laki-laki itu hanya menyaksikan Zetta berkutat dengan segala macam keperluannya.

“Del, itu ga rata anjir hahahaha,” tunjuk Zetta pada satu bagian di pipi Delta yang masih belum teroleskan benda cair berwarna hitam.

“Yang mana sih?”

“Ini siniiii, makanya ngaca,” Zetta meminta agar Delta melihat wajahnya dengan cermin.

“Takut aneh ngeliat muka gue,”

“Engga, orang ganteng gitu,”

“Kebiasaan,”

“Cepet ngacaaaa,” Paksa Zetta, akhirnya laki-laki itu memberanikan diri untuk melihat wajahnya yang sudah berwarna hitam.

“Zee ini bener ga sih?”

“Bener,”

“Muka gue kok jadi serem, kaya zombie,” oceh Delta setelah melihat wajahnya.

“Mana ada zombie maskeran,”

“Ini,” tunjuk Delta pada dirinya sendiri, “kok kalau lu tetep cantik sih Zee? Ga adil,”

“Tanya Tuhan aja, bingung jawabnya,” balas Zetta kemudia mengambil poselnya.

“Foto, Del, foto!”

“Malu, Zee,”

“Ih ngapain malu? Kan udah gue bilang GANTENG!“  Jelas Zetta.

“Yaudah sini hp nya,” Delta meminta ponsel milik Zetta dan membuka kamera untuk memotret diri mereka.

“Nih,” Isac mengeluarkan barang kecil dari dalam sakunya saat film sudah pada menit delapan dua.

Karena cahaya dari ruang tengah milik Berlin dimatikan, jadi tidak terlalu jelas barang apa yang Isac berikan kepada gadis itu sampai akhirnya layar TV mengeluarkan cahaya yang terang, barulah Berlin menyadarinya.

“Hah? Ini punya siapa?” tanya Berlin saat Isac memeberinya pod baru berwana campuran ungu dan gold.

“Buat lo, tapi ga ada yang warna pink,” Isac menaruh pod nya ke tangan Berlin.

“Sac sumpah kenapa sampe repot-repot nyari pod buat gue?”

“Tadi pagi gue mampir ke vapor, terus liat pod itu, eh langsung kepikiran sama lo, walaupun warnanya bukan pink tapi warna ini kaya lo banget,” jelas Isac membuat Berlin merasa tidak enak hati.

“Gue ganti dehhh, berapa?”

“Ga usah, anggep aja hadiah,”

“Tapi kan gue belum ulang tahun,” balas Berlin, Isac selalu saja datang dengan kejutannya.

“Ya, kadonya duluan? Atau hadiah apa gitu, ga mesti ulang tahun,” jelas Isac sambil mengambil Pizza di meja. “Oh tau,” lanjutnya membuat Berlin menoleh.

“Apa?”

“Hadiah karena lo lucu,”

Setelah film selesai, Isac melihat Berlin mengeluarkan liquid dari laci depan TV, “bawa pod ga?” tanya Berlin.

Isac mengangguk, “bawa,”

“Okeee, lu harus cobain liquid kesukaan gue, sumpah rasanya enak banget,” suruh Berlin sambil menunjukan liquid miliknya.

Betapa terkejutnya Isac saat ia melihat Berlin menunjukan liquid dengan rasa “Salted Caramel Vanilla Cake” sama persis seperti liquid kesukaannya.

“Hah? Lo suka ini juga?” tanya Isac tidak menyangka.

“Jangan bilang lo suka rasa ini?”

Yang ditanya malah tertawa sambil menganggukkan kepalanya tanda bahwa setuju dengan perkataan gadis di sebelahnya, “iya, di kamar gue juga ada, ini juga isinya rasa itu,” kata Isac sambil mengunjukkan pod miliknya.

“Wah gila, ga nyangka gue, sumpah beneran kaya kaget banget akhirnya temen gue ada sang satu selera sama gue,” heboh Berlin, karena teman-temannya tidak ada yang menggunakan rokok elektrik seperti dirinya, sekalinya ada itupun teman laki-laki yang pada dasarnya perempuan itu hanya memiliki satu teman, Sheila.

“Berarti nyobainnya gagal dong?” ucap Isac.

“Iyaaaa, kan lo juga udah tau rasanya gimana. Eh tapi sebagai gantinya, gue mau coba pod dari lo sekarang deh,” kata Berlin sambil membuka tutup liquid, menuangkan ke dalam pod miliknya.

Melihat Berlin yang menghisap benda elektrik itu, Isac pun tidak tinggal diam, lelaki itu ikut serta menemani Berlin mengeluarkan asap dari benda kecil itu.

Kamar lelaki ini benar-benar rapi, semua barangnya tertata pada tempatnya, lain dengan kamarku yang berantakan seperti kapal pecah. Aku melebih-lebihkannya, tidak seperti kapal pecah, tapi cukup membuat mata sakit melihatnya.

Ku cari senter pada tempat yang Isac katakan lewat pesan panjangnya. Tidak susah mencarinya karena seperti yang aku bilang tadi, kamarnya benar-benar rapi!! Aku boleh tidak ya bertukar kamar dengannya sehari saja.

Gelap sekali, gedung dengan lantai tiga puluh delapan di tengah-tengah kota tidak mengeluarkan cahanya.

Aku benar-benar ingin mengumpat kepada lampu. Hey lampu! Kenapa kamu harus mati saat malam hari?! Terlebih lagi senter di kamarku hilang dan temanku sedang tidak ada di kamarnya. Apes sudah.

Sepuluh menit aku duduk di ruang tengah bersama dua senter milik Isac dan ditemani Miyo yang berada di sampingku, sepertinya dia sudah mengantuk. Tiba-tiba pintu unitku terbuka dengan kasar.

Jantungku berdegup kencang. Tidak mungkin kan aku akan meninggalkan dunia sekarang juga? Tidak mungkin kan? Aku belum bertemu Ryujin, belum merasakan stressnya membuat skripsi, belum memukul Jinan, belum membuat makanan dengan resep rahasia terbaru. Belum sekarang kan Ibu Peri?! Tolong jawab!

Sumpah. Aku hanya bisa memejamkan mata berharap cemas bahwa tadi hanya angin. Miyo jadi terbangun karena mendengar suara itu, Ibu Peri, ayo tunjukkan dirimu.

Aku mendengar hembusan napas dari arah belakang. Ya Tuhan, siapa yang datang?

Bila memang sudah waktunya, aku titip kesayangan aku Miyo ya, kasih dia makan dan sering elus-elus badannya, titip salam juga buat cantikku Ryujin, semoga kita bisa bertemu.

Aku belum membuat surat wasiat, harusnya waktu Jinan mengajakku membuat surat wasiat, aku ikut serta dengannya. Jadi aku tidak perlu repot-repot memikirkan hal-hal seperti ini.

“Ya Tuhan, lo gue call berkali-kali kenapa ga diangkat?” Aku langsung menoleh ke sumber suara, itu suara Isac, aku yakin satu juta persen bahwa itu suara miliknya.

Benar saja, ternyata yang dari tadi aku takutkan adalah Isac, laki-laki ini kenapa harus membuka pintu unitku dengan keras? Seperti dikerjar setan!

“Loh? Kok lo disini?” Bagaimana bisa Isac secara tiba-tiba berada di kamarku, padahal saat mati lampu tadi dia sedang berada di studio, walaupun aku tahu jarak studio miliknya dan apart tidak terlalu jauh.

“Pulang, katanya mati lampu,” Dia menghampiriku, kenapa jantungku berdegup kencang lagi? Tapi rasa kali ini berbeda dengan yang sebelumnya.

“Iyaaa, kenapa pulang? Lagian kan di studio ga mati lampu, lebih enak di sana,”

Bukannya menjawab, Isac malah duduk di depanku, posisi kita sekarang berhadapan dengan senter yang ada di tengah-tengah menerangi wajahku dan wajahnya. Ku harap Isac tidak akan melakukan hal-hal yang membuat pipiku merah karen ia dapat dengan jelas melihatnya.

“Lo sendirian,”

Ibu Periiiiii!! Aku ingin teriak bahwa aku sudah tidak tahan dengannya! Aku langsung bangun dari dudukku berjalan ke arah kamar mandi tanpa membawa senter. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lupa membawa senternya?

Sekarang aku berada di dalam kamar mandi sambil menahan rasa takutku karena ruangan ini benar-benar tidak ada cahaya.

Tolong berikan setitik saja cahaya di sini, aku ingin mengompol saking takutnya. Tapi aku ingat bahwa aku sedang di kamar mandi, jadi aku tidak akan mengompol.

Pintu kamar mandi diketuk. Aku yakin Isac yang mengetuknya karena hanya ada aku, Isac, dan Miyo, tapi tidak mungkin Miyo yang mengetuk pintu ini.

Saat ku buka pintu kamar mandi sedikit sambil menahan diriku untuk tidak mengompol, Isac memberikan satu senter kepadaku, “Lin, kan gelap, bawa senternya,”

Studio milik Isac benar-benar membuatku takjub, lelaki di sebelahku, yang pada awalnya tidak pernah terlintas di dalam pikiranku barang sedetik saja bisa berteman dengannya, sekarang, dia ada di sebelahku, bahkan aku berada di dalam studio miliknya.

Isac selalu bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah, sejujurnya aku tidak ingin memulai hal baru lagi dengan orang baru, tapi dia lain, benar-benar lain. Seperti ada pengecualian baginya. Jiwaku pilih kasih.

Pukul empat lewat sembilan belas aku dan dia sudah berada di dalam studionya. Dan benar saja, ada satu dus yang masih terbungkus rapi di ruang tengah studio. Sepertinya paket kamera itu belum dibuka oleh siapapun.

“Ini ya?” Tanyaku basa-basi.

Isac menoleh ke arahku, “bukan,” jawabnya membuat dahiku mengerut.

“Ini,” tunjuk Isac pada diriku.

'Hah? kok gue?' ucapku dalam hati yang mungkin saja terdengar olehnya, maka dari itu ia langsung melanjutkan kalimatnya.

“Yang cantik,”

Bu Peri! Apa maksud laki-laki ini??? Dia bilang apa barusan? Aku tidak bisa menahan senyum, diriku benar-benar terseyum sekarang.

“Apaan sih, Sac,” ucapku sambil memalingkan wajahku dari dirinya. Aku yakin lima ratus juta persen dia tahu aku sedang salah tingkah.

“Kan bener, ini yang cantik,” ucap Isac kedua kalinya! Kedua kalinya aku bilang! Kedua kalinya Isac memuji diriku. Cantik katanya.

Demi menyamarkan rasa gugup diriku, akhirnya aku sahutkan saja perkataannya, “iyalah, gue dari lahir udah cantiiiiiikkkkk banget!”

“Wih, iyasih gue percaya, gedenya ada kaya gini, pasti dari kecil juga udah cantik,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Dor! TELAK! AKU KALAH TELAK!!! Isac benar-benar mengacak-acak segalanya, rambutku, jantungku, hatiku, perasaanku, semuanya, semua milikku dia acak-acak.

Mungkin dia tahu aku sudah salah tingkah abis karena perkataannya, makanya dia langsng membuka dus di hadapan kami.

Mengecek kamera yang baru saja datang, dari yang aku lihat, sepertinya kamera ini salah satu kamera keinginannya, karena sejak dusnya terbuka, Isac tidak henti-hentinya memuji kamera itu.

“Lin,”

“Apa?” Jawab aku di sebelahnya.

“Mau jadi objek foto gue ga?”

Apa lagi ini ya Tuhan? Bisa tidak kamu berbicara tanpa harus membuat jantungku berdetak lebih cepat.

“Hah? Ga paham,” kataku sekenanya.

Isac malah memegang kedua bahuku, mendorongnya dari belakang, aku mengikuti arah kakinya melangkah mengdorongku.

“Nih, diem di sini ya,” suruh Isac saat ia memberhentikan diriku di depan baground foto berwarna merah.

“Ngapainnn?”

“Gaya aja, nanti gue foto,”

Sumpah, aku tidak terbiasa difoto oleh orang asing, walaupun aku tahu Isac sudah bukan lagi orang asing bagiku, tetapi tetap saja lelaki ini bukan orang yang biasa aku minta tolong untuk mengambil jepretan dari diriku.

“Gue ga bisa gaya,”

“yaudah, diem aja, jangan liat kamera,”

Setalah dia bilang aku boleh untuk tidak melihat kamernya, aku menyerongkan badanku ke arah lain, biarkan saja dia sibuk sendiri dengan kameranya.

Aku sesekali memejamkan mata saat Isac mengambil potret diriku. Malu. Rasanya malu.

Padahal kata Jinan, aku orang paling tidak tahu malu yang pernah dia temui. Jinan memang senang sekali mencari masalah denganku.

“Cantik,” Aku mendengar Isac berkata seperti itu. Aku yakin tidak salah dengar bahwa Isac bergumam pelan kata itu.

Hari ini hatiku jatuh, benar-benar jatuh untuknya. Selamat Isac, kamu memenangkannya.

Semoga ia tidak patahkan milikku kedua kalinya. Walaupun aku tahu sejak awal aku sudah salah menaruh harap kepada manusia. Tapi untuk kali ini, aku mohon, jangan patahkan hatiku ya? Agar aku percaya bahwa masih ada lelaki baik di hidupku.

Studio milik Isac benar-benar membuatku takjub, lelaki di sebelahku, yang pada awalnya tidak pernah terlintas di dalam pikiranku barang sedetik saja bisa berteman dengannya, sekarang, dia ada di sebelahku, bahkan aku berada di dalam studio miliknya.

Isac selalu bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah, sejujurnya aku tidak ingin memulai hal baru lagi dengan orang baru, tapi dia lain, benar-benar lain. Seperti ada pengecualian baginya. Jiwaku pilih kasih.

Pukul empat lewat sembilan belas aku dan dia sudah berada di dalam studionya. Dan benar saja, ada satu dus yang masih terbungkus rapi di ruang tengah studio. Sepertinya paket kamera itu belum dibuka oleh siapapun.

“Ini ya?” Tanyaku basa-basi.

Isac menoleh ke arahku, “bukan,” jawabnya membuat dahiku mengerut.

“Ini,” tunjuk Isac pada diriku.

'Hah? kok gue?' ucapku dalam hati yang mungkin saja terdengar olehnya, maka dari itu ia langsung melanjutkan kalimatnya.

“Yang cantik,”

Bu Peri! Apa maksud laki-laki ini??? Dia bilang apa barusan? Aku tidak bisa menahan senyum, diriku benar-benar terseyum sekarang.

“Apaan sih, Sac,” ucapku sambil memalingkan wajahku dari dirinya. Aku yakin lima ratus juta persen dia tahu aku sedang salah tingkah.

“Kan bener, ini yang cantik,” ucap Isac kedua kalinya! Kedua kalinya aku bilang! Kedua kalinya Isac memuji diriku. Cantik katanya.

Demi menyamarkan rasa gugup diriku, akhirnya aku sahutkan saja perkataannya, “iyalah, gue dari lahir udah cantiiiiiikkkkk banget!”

“Wih, iyasih gue percaya, gedenya ada kaya gini, pasti dari kecil juga udah cantik,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Dor! TELAK! AKU KALAH TELAK!!! Isac benar-benar mengacak-acak segalanya, rambutku, jantungku, hatiku, perasaanku, semuanya, semua milikku dia acak-acak.

Mungkin dia tahu aku sudah salah tingkah abis karena perkataannya, makanya dia langsng membuka dus di hadapan kami.

Mengecek kamera yang baru saja datang, dari yang aku lihat, sepertinya kamera ini salah satu kamera keinginannya, karena sejak dusnya terbuka, Isac tidak henti-hentinya memuji kamera itu.

“Lin,”

“Apa?” Jawab aku di sebelahnya.

“Mau jadi objek foto gue ga?”

Apa lagi ini ya Tuhan? Bisa tidak kamu berbicara tanpa harus membuat jantungku berdetak lebih cepat.

“Hah? Ga paham,” kataku sekenanya.

Isac malah memegang kedua bahuku, mendorongnya dari belakang, aku mengikuti arah kakinya melangkah mengdorongku.

“Nih, diem di sini ya,” suruh Isac saat ia memberhentikan diriku di depan baground foto berwarna merah.

“Ngapainnn?”

“Gaya aja, nanti gue foto,”

Sumpah, aku tidak terbiasa difoto oleh orang asing, walaupun aku tahu Isac sudah bukan lagi orang asing bagiku, tetapi tetap saja lelaki ini bukan orang yang biasa aku minta tolong untuk mengambil jepretan dari diriku.

“Gue ga bisa gaya,”

“yaudah, diem aja, jangan liat kamera,”

Setalah dia bilang aku boleh untuk tidak melihat kamernya, aku menyerongkan badanku ke arah lain, biarkan saja dia sibuk sendiri dengan kameranya.

Aku sesekali memejamkan mata saat Isac mengambil potret diriku. Malu. Rasanya malu.

Padahal kata Jinan, aku orang paling tidak tahu malu yang pernah dia temui. Jinan memang senang sekali mencari masalah denganku.

“Cantik,” Aku mendengar Isac berkata seperti itu. Aku yakin tidak salah dengar bahwa Isac bergumam pelan kata itu.

Hari ini hatiku jatuh, benar-benar jatuh untuknya. Selamat Isac, kamu memenangkannya.

Semoga ia tidak patahkan milikku kedua kalinya. Walaupun aku tahu sejak awal aku sudah salah menaruh harap kepada manusia. Tapi untuk kali ini, aku mohon, jangan patahkan hatiku ya? Agar aku percaya bahwa masih ada lelaki baik di hidupku.