cepet sembuh
Aku dengar suara bel unitku ditekan dari luar, tandanya Isac —lelaki yang sebelumnya sangat ingin aku hindari tapi kenyataannya kita bertetangga sudah sampai di depan.
Sambil menguncir rambutku asal-asalan, aku berjalan membuka pintu untuknya.
“Nasi goreng ga pake acar, kerupuknya banyak, kecapnya sedikit, dan ga pedes, dataaang!” ucap Isac saat ku buka pintu.
Jujur aku sangat terkejut karena dia berbicara dengan tiba-tiba sambil memamerkan satu plastik putih di depan wajahnya.
“Kok inget?” Pertanyaan aneh ini keluar dari mulutku.
“Iya, kan baru sepuluh menit yang lalu,”
“Ini mau diem aja di pintu?” tanya Isac karena aku tidak mempersilahkan dirinya masuk.
Lagian aku memang hanya ingin mengambil makanan yang sudah ia belikan tanpa mengajaknya mampir ke dalam unitku.
“Nih,” laki-laki itu malah memberikan plastik itu ke tangan kananku.
Jantungku sedikit berdetak lebih kencang! Berlin kamu kenapa? Dia hanya memberikan plastik itu kepada ku.
“Dimakan ya, jangan tambahin sambel lagi kalau mau cepet sembuh,” laki-laki ini tidak berhenti berbicara. Padahal jantungku sudah berdetak semakin cepat karena dia.
“Lin, mulutnya sakit juga?”
TIDAK!! Mulutku sama sekali tidak bermasalah, jantungku yang bermasalah!
Ku jawab pertanyan Isac yang terakhir dengan menggelengkan kepala, lalu dengan cepat aku putuskan percakapan kita, karena bila semakin lama aku berhadapan dengannya, mukaku bisa merah seperti tomat! Dan aku tidak mau itu terjadi.
Jadi ku putuskan untuk bilang “makasih Sac, nanti uangnya gue ganti ya,”
Tapi dia malah menggeleng, “ga usah, itu anggep aja hadiah gue jengukin lo,”
Aku tidak terbiasa dengan sikap laki-laki seperti ini, karena mantanku yang lalu benar-benar berbanding terbalik dengan Isac.
“Sama bentar, Lin, jangan ditutup dulu,” dia menyuruhku untuk tidak menutup pintu tapi malah meninggalkan aku yang berdiri sendiri di depan pintu.
Anehnya aku tetap menunggu dia, menunggunya kembali dari kamarnya.
Rasanya aneh, benar-benar aneh saat aku menuruti semua ucapannya.
Dia kembali, dan ternyata Isac memberiku obat, katanya buat diminum biar besok pagi sudah lebih baik.
Aku mengambil obat darinya, jantungku semakin tidak karuan. Laki-laki satu ini benar-benar membuat diriku yang sebelumnya sudah panas menjadi tambah panas karena tindakannya.
“Udah sana makan, minum obatnya jangan lupa, biar sehat,”
Isac mengangkat tanganya yang sudah ia posisikan di depan wajahku, “Cepet sembuh,” katanya sambil menepuk jidatku yang terpampang dengan jelas sebelum akhirnya laki-laki itu benar-benar meninggalkan diriku sendirian.