Yours

Delta masih setia pada tempatnya saat Zetta meninggalkan dirinya dua puluh menit yang lalu. Sampai akhirnya Zetta kembali pada posisi duduk yang sebelumnya.

“Ada masalah?” tanya Delta, lelaki ini seperti bisa membaca selaga pikiran Zetta.

“Engga,”

“Tapi mukanya kaya gitu,” Delta menunjuk wajah Zetta yang sedikit berbeda dari biasanya.

“Bersihin masker yu, Del,” ajak Zetta dengan menarik tangan Delta, sebenarnya gadis itu sedang berusaha agar Delta tidak mengamati wajahnya.

Setelah selesai membilas wajahnya masing-masing, mereka lanjutkan dengan menonton film yang sejak tadi diputar walau sebenarnya hanya Delta yang menonton.

“Kenapa?” tanya Delta lagi di sela-sela film.

“Gapapa,”

“Keliatan ga tenang gitu, mau cerita ga?” tawar Delta kepada Zetta.

“Del,”

“Apa?”

“Del,”

“Iya?”

“Del,” panggil Zetta yang ketiga kalinya membuat Delta mengganti posisi duduknya menghadap gadis itu sepenuhnya.

“Apa, Zee? Kenapa?”

“mau nanya tapi jangan marah ya,” ujar Zetta kemudian menegak satu gelas wine yang ada di meja.

Delta yang melihat itu kemudian segera mengambil gelas di tangan Zetta, “Zee, ada apa? Sini cerita, i'm all ears,”

“Del, pasti capek ya sama gue?” ucap Zetta, dirinya masih sadar walaupun kepalanya sudah sangat pusing dan ramai.

“Engga, kenapa mikir gitu?”

“Tapi pernah kan?” tanya Zetta lagi, “gue pernah liat muka lu nahan emosi waktu lagi sama gue, gue juga pernah denger lu hela napas terus waktu sama gue. Pernah kan, Del?”

“Sini,” Delta menarik tubuh Zetta ke dalam rangkulannya, “yang namanya capek pasti semua orang pernah, tapi tergantung gimana dia nyikapinnya. Waktu itu gue capek karena lagi pusing sama skripsi, jadi maaf karena banyak hela napas ya?”

Zetta hanya menganggukkan kepalanya, “maaf juga bikin lo capeknya jadi double,”

“Engga,” sanggah Delta, “malah ketemu sama lo itu nge recharge diri gue yang seharian udah capek sama semua yang gue kerjain. Tapi maaf waktu itu guenya malah banyak hela napas.”

“Tapi pernah capek sama gue?”

Delta tersenyum, “pernah,” ucapnya membuat Zetta menunduk, “tapi bukan capek gara-gara ketemu sama lo terus. Capek sama diri sendiri aja kenapa gue selalu ga bisa buat lo bahagia,” jelas Delta membuat Zetta menolehkan wajahnya ke atah Delta.

“Siapa bilang? Siapa bilang lo ga bisa buat gue bahagia?” oceh Zetta tidak terima.

“Gue,”

“Kenapa? Padahal kan lo tau, Del, lo salah satu alasan gue bisa ketawa seharian,”

“Gue tau, tapi kadang, gue juga sering nyaksiin lo nangis seharian, Zee, dan disaat kaya gitu, gue selalu coba buat bikin lo ketawa lagi tapi selalu ga berhasil.”

“Lo selalu berhasil, semua yang lo lakuin selalu berhasil buat gue bahagia,” tegas Zetta.

Mendengar hal itu, Delta malah meniupkan wajah Zetta seolah-olah wajah gadis yang sedang dirangkulnya kepanasan.

“Ngapain sihh?”

“Biar ga panas,”

Zetta menunjuk AC yang ada di atas TV, “tuh liat, ada AC nyala,”

“Maksudnya biar pikiran lo ga panas,” ujar Delta dengan tangan kiri yang menjadi sandaran Zetta dia elus-eluskan ke pundak gadis itu.

“Jangan tinggalin gue ya, Del,” ucap Zetta secara tiba-tiba.

“Iya engga,”

“Janji?”

“Janji.”

“Gue beneran bisa gila, Del, kalau lo tinggalin gue.”

Delta yang mendengar langsung memotongnya, “hus, kalau ngomong,”

“Serius. Hazel, Geya, Lo, ga boleh ada yang pergi, semuanya punya peran penting di hidup gue,”

“Ga ada yang pergi, Zee, ga ada.”

“Tapi gue takut lo pergi,”

Delta sedikit melonggarkan rangkulannya, memberi jarak agar dia bisa melihat wajah gadis yang ia sayangi lima tahun kebelangan ini.

“Gue harus apa biar lo yakin?” tanya Delta dengan tangan yang masih setia mengelus-elus pundak gadis di sebelahnya.

“Ga tau,” Zetta menggeleng, “Tapi gue cuma mau bilang. Del, my heart is yours,