Yang cantik dan jatuh.

Studio milik Isac benar-benar membuatku takjub, lelaki di sebelahku, yang pada awalnya tidak pernah terlintas di dalam pikiranku barang sedetik saja bisa berteman dengannya, sekarang, dia ada di sebelahku, bahkan aku berada di dalam studio miliknya.

Isac selalu bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah, sejujurnya aku tidak ingin memulai hal baru lagi dengan orang baru, tapi dia lain, benar-benar lain. Seperti ada pengecualian baginya. Jiwaku pilih kasih.

Pukul empat lewat sembilan belas aku dan dia sudah berada di dalam studionya. Dan benar saja, ada satu dus yang masih terbungkus rapi di ruang tengah studio. Sepertinya paket kamera itu belum dibuka oleh siapapun.

“Ini ya?” Tanyaku basa-basi.

Isac menoleh ke arahku, “bukan,” jawabnya membuat dahiku mengerut.

“Ini,” tunjuk Isac pada diriku.

'Hah? kok gue?' ucapku dalam hati yang mungkin saja terdengar olehnya, maka dari itu ia langsung melanjutkan kalimatnya.

“Yang cantik,”

Bu Peri! Apa maksud laki-laki ini??? Dia bilang apa barusan? Aku tidak bisa menahan senyum, diriku benar-benar terseyum sekarang.

“Apaan sih, Sac,” ucapku sambil memalingkan wajahku dari dirinya. Aku yakin lima ratus juta persen dia tahu aku sedang salah tingkah.

“Kan bener, ini yang cantik,” ucap Isac kedua kalinya! Kedua kalinya aku bilang! Kedua kalinya Isac memuji diriku. Cantik katanya.

Demi menyamarkan rasa gugup diriku, akhirnya aku sahutkan saja perkataannya, “iyalah, gue dari lahir udah cantiiiiiikkkkk banget!”

“Wih, iyasih gue percaya, gedenya ada kaya gini, pasti dari kecil juga udah cantik,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Dor! TELAK! AKU KALAH TELAK!!! Isac benar-benar mengacak-acak segalanya, rambutku, jantungku, hatiku, perasaanku, semuanya, semua milikku dia acak-acak.

Mungkin dia tahu aku sudah salah tingkah abis karena perkataannya, makanya dia langsng membuka dus di hadapan kami.

Mengecek kamera yang baru saja datang, dari yang aku lihat, sepertinya kamera ini salah satu kamera keinginannya, karena sejak dusnya terbuka, Isac tidak henti-hentinya memuji kamera itu.

“Lin,”

“Apa?” Jawab aku di sebelahnya.

“Mau jadi objek foto gue ga?”

Apa lagi ini ya Tuhan? Bisa tidak kamu berbicara tanpa harus membuat jantungku berdetak lebih cepat.

“Hah? Ga paham,” kataku sekenanya.

Isac malah memegang kedua bahuku, mendorongnya dari belakang, aku mengikuti arah kakinya melangkah mengdorongku.

“Nih, diem di sini ya,” suruh Isac saat ia memberhentikan diriku di depan baground foto berwarna merah.

“Ngapainnn?”

“Gaya aja, nanti gue foto,”

Sumpah, aku tidak terbiasa difoto oleh orang asing, walaupun aku tahu Isac sudah bukan lagi orang asing bagiku, tetapi tetap saja lelaki ini bukan orang yang biasa aku minta tolong untuk mengambil jepretan dari diriku.

“Gue ga bisa gaya,”

“yaudah, diem aja, jangan liat kamera,”

Setalah dia bilang aku boleh untuk tidak melihat kamernya, aku menyerongkan badanku ke arah lain, biarkan saja dia sibuk sendiri dengan kameranya.

Aku sesekali memejamkan mata saat Isac mengambil potret diriku. Malu. Rasanya malu.

Padahal kata Jinan, aku orang paling tidak tahu malu yang pernah dia temui. Jinan memang senang sekali mencari masalah denganku.

“Cantik,” Aku mendengar Isac berkata seperti itu. Aku yakin tidak salah dengar bahwa Isac bergumam pelan kata itu.

Hari ini hatiku jatuh, benar-benar jatuh untuknya. Selamat Isac, kamu memenangkannya.

Semoga ia tidak patahkan milikku kedua kalinya. Walaupun aku tahu sejak awal aku sudah salah menaruh harap kepada manusia. Tapi untuk kali ini, aku mohon, jangan patahkan hatiku ya? Agar aku percaya bahwa masih ada lelaki baik di hidupku.