Malam ini semuanya berubah.

CW // kissing

Delta dan Zetta memasuki salah satu restaurant yang sebelumnya sudah beberapa kali mereka kunjungi saat sedang makan bersama.

Entah mengapa, kali ini kedua orang itu menggunakan baju yang sedikit lebih formal dari biasanya. Delta yang menggunakan tuxedo dan Zetta menggunakan dress hitam. Padahal biasanya mereka jarang sekali menggunakan baju formal seperti ini terlebih lagi bagi Zetta.

“Kenapa sih bisa sama-sama pake baju kaya gini?” tanya Zetta saat menunggu pelayan yang membawakan pesanan mereka.

“Feelingnya kuat,” sahut Delta.

Zetta tertawa sambil melihat sosok lelaki di hadapannya, “ganteng banget,” ucapnya dengan jelas.

Delta yang mendengar pun sontak langsung tersenyum, “yang ngomong juga cantik banget,” balasnya kepada Zetta.

Mereka tertawa karena obrolan yang mereka ciptakan sendiri, sampai pelayan pun datang menaruh pesanan mereka.

Ini dinner seperti biasa yang sering mereka lakukan, hanya saja dengan setelan baju yang berbeda. Zetta dengan bangga membicarakan kesuksesan Delta di usianya yang masih dua puluh lima tahun, membangga-banggakan Delta bukan suatu hal baru bagi Zetta. Karena selama ia bersama laki-laki itu, sudah beribu-ribu kali pula Zetta membanggakannya.

“Del, makan apa kok bisa jadi kaya gini?” Pertanyaan itu kembali keluar lagi dari mulut Zetta untuk yang kesekian kalinya.

“Makan masakan Bunda, makan nasi goreng Zetta, makan apalagi ya...” jawabnya tak pernah bosan, “makan ini,” lanjutnya menunjuk satu piring di hadapan mereka.

“Pantes keren,”

“Kan yang bikinnya juga orang-orang keren, gimana sih,”

“Oh iya sih, jelas,” Bangga Zetta sambil menyuap makanan miliknya.

Dinner kali ini mereka habiskan sambil mengingat kembali pertemuan pertama mereka saat masih duduk di kuliah semester tiga, yang ternyata sebenarnya itu adalah pertemuan kedua setelah enam tahun mereka tidak pernah bertemu, lebih tepatnya, pertemuan kedua bagi Zetta. Karena laki-laki itu masih ingat dengan jelas setiap pertemuannya dengan Zetta saat mereka masih SMA ketika bermain di rumah Shabila tanpa Zetta ketahui.

“Bayangin kalau waktu itu gue ga ketemu sama lo, Del,”

“Nanti muntah lo ga ada yang bersihin,” jawab laki-laki itu.

“Ih anjirrrr, lo masih inget aja lagi,” oceh Zetta karena Delta masih ingat tentang hal itu.

“Ya gimana engga? Cewek cantik tiba-tiba nyamperin gue, terus muntah, terus—” Zetta langsung memotong ucapan Delta sebelum laki-laki itu melanjutkannya.

“Udaaaahh, oke, gue malu,” kata Zetta sambil menutup mukanya.

Kalau diingat-ingat memang pertemuan mereka sangat lucu, seorang gadis yang sedang mabuk menghampiri laki-laki yang duduk di salah satu meja dan meminta nomer telephone miliknya kemudian gadis itu memuntahkan isi perutnya di depan laki-laki yang baru saja ia pinta nomernya.

“Ze,” panggil Delta ketika Zetta masih menutup wajahnya dengan tangan.

“Hm,”

“Ngapain malu gitu?”

“Ya malu, orang-orang ketemu sama pacarnya tuh seringnya di momen yang keren, gemes, lucu, lah gue?”

“Am i your boyfriend?”

Zetta yang tersadar dengan perkataannya kembali menutup wajahnya dengan tangan miliknya. “Del pulang yuuuu, muka gue udah gatau mau taro di mana lagi,”

Delta segera berdiri menghampiri Zetta, kedua tangan milik laki-laki itu memegang bahu gadis yang sedang menutup wajahnya, “Yah, tapi gue masih mau ngomong sebentar sama lo,”

“Yaudah ngomong aja, tapi gue tutup muka,”

“Yah ga seru dong, masa gue ngomong sama tangan,”

“Apa, apa, apaaaaaa?” ucap Zetta setelah melepaskan tangan di wajahnya.

laki-laki itu malah mengajak Zetta untuk segera berdiri dari duduknya, “bangun dulu, ngomongnya di rumah aja,”

“Kenapa jadi di rumah?”

“Mau di sini?”

“Ya kalau bisa di sini, di sini aja,” ucap Zetta sambil membenarkan rambutnya.

“Ga bisa, gapapa ya Zee di rumah aja,” balas Delta membuat Zetta mengangguk.

Delta dan Zetta berjalan menuju mobil dengan kedua tangan mereka yang saling bertaut satu sama lain. “Ga bakalan ilang padahal,” ucap Zetta, karena laki-laki di sebelahnya selalu menggandeng tangan miliknya ketika mereka sedang jalan bersama.

“Biar ga jatuh, ga nabrak, ga ilang, ga nyasar. Pokoknya biar selamat sampai tujuan,” jelas Delta.

Zetta malah mengangkat tangan laki-laki yang sedang memegang tangannya dan menaruh tangan itu pada bahu miliknya, membuat Delta merangkul bahu Zetta “biar sekalian aman semuanya,”


Delta memarkirkan mobilnya di halaman rumah Zetta, gadis di sebelahnya sudah tertidur lelap, sepertinya ia cukup lelah dengan apa yang sudah dilalui selama satu hari ini. Tanpa membangunkan Zetta, Delta menggendong dirinya keluar dari mobil dan mengantarkannya ke dalam kamar gadis itu.

“Kak, Kakak gue tipsy? kok pingsan gitu?” tanya Zello yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya.

“Engga, dia ketiduran di mobil, kayanya ngantuk,”

“Oh kirain, yaudah sini gue bantuin deh,” ucap Zello membantu Delta membuka kamar gadis itu dan membereskan beberapa baju yang berserakan pada ranjang kasur.

“Kebiasaan banget, baju yang dicoba bukannya langsung diberesin lagi malah taro di kasur,” oceh Zello melihat kamar sang kakak.

“Sini, biar gue yang beresin aja Zel. Mending lo tidur, besok magang kan?” kata Delta sambil mengambil beberapa baju Zetta yang ada di tangan Zello.

“Iyasih, tapi kan ini baju-baju Kakak gue, masa lo yang beresin,”

“Santai aja, kaya baru kenal kemarin sama gue” balas Delta membuat Zello tersenyum kikuk, “udah sana, tidur,” lanjutnya membuat Zello pergi dari kamar Zetta.

Laki-laki itu membereskan beberapa baju Zetta yang berada di lantai serta kasur miliknya, sepertinya ini adalah baju yang Zetta coba sebelum mereka keluar hari ini. Lalu Delta menuju meja rias milik Zetta, beberapa make up miliknya pun masih ada yang belum tertutup dengan rapat, bahkan ada yang sama sekali belum tertutup.

Delta merapikan semua barang yang berserakan di kamar Zetta, sampai ia lupa bahwa gadis yang sedang tertidur masih mengunakan sepatunya.

Saat Delta membuka sepatu Zetta, gadis itu mengerjapkan matanya membuat Delta bergumam “shhuuut... shhhhuut,” sambil mengelus-elus tangan Zetta.

Setelah dirasa Zetta sudah kembali pulas, Delta segera melanjutkan membuka sepatu Zetta.


Delta keluar dari kamar Zetta segera menuju dapur, ia yakin besok pagi gadis itu tidak akan sempat membuat saparan, maka dari itu Delta segera membuatkan sarapan untuk Zetta dan Zello.

Sepuluh menit sudah ia berkutat dengan berbagai bahan dan barang-barang di dapur, dari arah belakang terdengar suara langkah yang semakin lama semaki mendekat ke arahnya.

“Del?”

Delta yang merasa namanya terpanggil lantas menoleh, ia melihat Zetta yang masih menggunakan drees hitam tadi. “Kok bangun?” Tanyanya.

“Denger suara-suara, kirain ada apa, ternyata lo lagi masak. Laper, Del? Mau pesen aja ga?” ucap Zetta dengan wajah yang masih dipenuhi oleh make up.

“Engga, ini buat lo sarapan, pasti nanti pagi alesan 'gue ga sempet masakkkk' terus ujung-ujungnya ga sarapan.” Oceh Delta karena Zetta selalu seperti itu.

Yang diomong hanya tersenyum dengan memamerkan giginya, “oh iya, tadi lo mau ngomong apa?”

“Besok aja, lo ngantuk kan?”

Di tanya seperti itu lantas membuat Zetta membuka matanya dengan lebar, “engga, tuh engga, liat aja,”

“Hahahaha, yaudah duduk aja dulu, nanti kalau gue udah selesai masak, baru ngomong,” suruh Delta, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti.

Dari belakang, Zetta memperhatikan setiap pergerakan dari Delta, dalam hati gadis itu bergumam, 'kalau ga ada lo, gue ga tau lagi Del bakalan kaya gimana sekarang,'

Lima belas menit menunggu Delta memasak, akhirnya laki-laki itu sudah selesai dan segera mengahampiri Zetta yang masih setia pada duduknya, “bener udah ga ngantuk?”

“Bener, apaaa cepet?”

“Ke balkon mau ga?” ajak Delta membuat Zetta mengoceh.

“Lo mau ngomong dari tadi ga jadi-jadi mulu ya ampun, yaudahhhhh,” Zetta segera bangun dari duduknya, menuju lantai atas rumahnya yang kemudian disusul oleh Delta.

Malam ini langit sedang indah, ada beberapa bintang di atas sana yang tanpa malu-malu memancarkan sinarnya dengan terang. Bulan pun tak mau kalah dengan bintang, dia tampil dengan bulatnya yang cerah di atas sana menerangi gelapnya malam ini.

Angin malam memang salah satu angin terbaik, walau sebenarnya sama sekali tidak ada baiknya.

“Ini udah di balkon, cepet mau ngomong apa, jangan sampe ga jadi lagi,” kata Zetta sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

“Dua hari yang lalu lo bilang ke gue kalau ada gue di sana, itu bener?” ujar Delta, Zetta yang paham kemana percakapan ini langsung menjawabnya dengan anggukan.

“Sejak kapan?”

“Pastinya ga tau kapan, tapi rasa itu beneran udah ada, Del,” ucap Zetta membuat Delta memberanikan diri untuk melanjutkan setiap kalimat yang ingin ia sampaikan.

“Kalau seandainya kali ini gue minta lagi sama lo buat diisi hari-harinya sama gue, jadi tempat buat ngebagi capeknya hari-hari yang lo jalanin ke gue, tempat ngebagi cerita apa yang terjadi hari ini, mau ga Zee?” tanya Delta untuk yang kedua kalinya setelah pertanyaan ini terlontar lima tahun yang lalu.

Zetta menyangka Delta akan mengajak menjadi pacarnya, seperti ajakan, “Zee, mau jadi pacar gue ga?” atau ajakan-ajakan yang lain, tapi ternyata kalimat itu yang kembali keluar dari mulut Delta, ia sama sekali tidak menyangka.

“Del?”

“Iya? Maaf ya Zee, ajakannya masih sama kaya lima tahun yang lalu. Gue terima semuanya Zee, semua yang pernah terjadi sama diri lo, semua masa lalu lo, semua yang ada di diri lo gue terima, gue mau di setiap harinya lo, selalu ada gue di hari bahagia, sampai di hari terburuk, gue mau jadi bagian di dalamnya,”

“Delta,”

“Apa? Kalau emang jawabannya masih sama kaya yang dulu, gue terim—”

“Mau,” Zetta memotong ucapan Delta, “mau, Del, mau, gue mau disetiap hari-harinya gue selalu ada lo, gue mau semuanya yang lo bilang,”

Setelah Zetta mengucapkan itu, semilir angin menerpa wajah mereka, cahaya bulan yang sebelumnya sudah terang tampak lebih terang lagi, bintang pun semakin banyak yang menampakkan dirinya.

Delta tersenyum mendengar perkataan Zetta. Dielusnya tangan gadis di sebelahnya, sambil menikmati angin malam ini.

“Udah gitu aja?” tanya Zetta karena Delta tidak memberikan jawaban dari ucapanya.

“Mau apa?”

“Ya apaaa, peluk, tau apa gituuuu,” ujar Zetta membuat Delta langsung memeluk dirinya, mengusap punggung Zetta dengan perlahan.

Kali ini rasanya berbeda bagi Zetta, walaupun sudah beribu kali Delta memeluknya, tapi yang kali ini terasa lebih... entah lah.

Zetta mendongakan kepalanya ke wajah Delta, melihat laki-laki yang sudah menemaninya selama ini, “kenapa lagi?” tanya Delta.

“Engga, mau liat muka kamu aja,” sahut Zetta sambil tersenyum, “eh ini gapapa kan aku-kamu?”

“Ya gapapa, cantik,” balasnya sambil memainkan rambut Zetta.

Semakin lama, atmosfer diantaranya semakin berubah, Delta memajukan wajahnya pelan ke wajah Zetta, mengikis kedua jarak diantara mereka.

Dengan pelan Delta mengecup bibir milik gadisnya, rasa yang sangat baru bagi keduanya karena ini kali pertama mereka melakukan hal itu.

Delta kembali menatap wajah Zetta, melihat wajah cantiknya yang tidak pernah bosan ia tatap. Lalu kembali mengikis jarak diantara keduanya, kali ini terasa lebih dalam dari yang pertama.

Penantian laki-laki itu tidak sia-sia. Tuhan selalu baik kepadanya, sampai ia bingung harus mengucap kata syukur seperti apa lagi karena akhirnya ia bisa bersama dengan sang pujaan hatinya.

Malam ini menjadi saksi pertama mereka, semua hal akan berubah esok pagi. Ini bukan akhir bagi mereka, ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mereka lalui. Entah akan berakhir seperti apa, tapi yang mereka ucapkan dalam hatinya masing-masing adalah berharap agar selalu bersama sampai maut yang memisahkan.