mati lampu

Kamar lelaki ini benar-benar rapi, semua barangnya tertata pada tempatnya, lain dengan kamarku yang berantakan seperti kapal pecah. Aku melebih-lebihkannya, tidak seperti kapal pecah, tapi cukup membuat mata sakit melihatnya.

Ku cari senter pada tempat yang Isac katakan lewat pesan panjangnya. Tidak susah mencarinya karena seperti yang aku bilang tadi, kamarnya benar-benar rapi!! Aku boleh tidak ya bertukar kamar dengannya sehari saja.

Gelap sekali, gedung dengan lantai tiga puluh delapan di tengah-tengah kota tidak mengeluarkan cahanya.

Aku benar-benar ingin mengumpat kepada lampu. Hey lampu! Kenapa kamu harus mati saat malam hari?! Terlebih lagi senter di kamarku hilang dan temanku sedang tidak ada di kamarnya. Apes sudah.

Sepuluh menit aku duduk di ruang tengah bersama dua senter milik Isac dan ditemani Miyo yang berada di sampingku, sepertinya dia sudah mengantuk. Tiba-tiba pintu unitku terbuka dengan kasar.

Jantungku berdegup kencang. Tidak mungkin kan aku akan meninggalkan dunia sekarang juga? Tidak mungkin kan? Aku belum bertemu Ryujin, belum merasakan stressnya membuat skripsi, belum memukul Jinan, belum membuat makanan dengan resep rahasia terbaru. Belum sekarang kan Ibu Peri?! Tolong jawab!

Sumpah. Aku hanya bisa memejamkan mata berharap cemas bahwa tadi hanya angin. Miyo jadi terbangun karena mendengar suara itu, Ibu Peri, ayo tunjukkan dirimu.

Aku mendengar hembusan napas dari arah belakang. Ya Tuhan, siapa yang datang?

Bila memang sudah waktunya, aku titip kesayangan aku Miyo ya, kasih dia makan dan sering elus-elus badannya, titip salam juga buat cantikku Ryujin, semoga kita bisa bertemu.

Aku belum membuat surat wasiat, harusnya waktu Jinan mengajakku membuat surat wasiat, aku ikut serta dengannya. Jadi aku tidak perlu repot-repot memikirkan hal-hal seperti ini.

“Ya Tuhan, lo gue call berkali-kali kenapa ga diangkat?” Aku langsung menoleh ke sumber suara, itu suara Isac, aku yakin satu juta persen bahwa itu suara miliknya.

Benar saja, ternyata yang dari tadi aku takutkan adalah Isac, laki-laki ini kenapa harus membuka pintu unitku dengan keras? Seperti dikerjar setan!

“Loh? Kok lo disini?” Bagaimana bisa Isac secara tiba-tiba berada di kamarku, padahal saat mati lampu tadi dia sedang berada di studio, walaupun aku tahu jarak studio miliknya dan apart tidak terlalu jauh.

“Pulang, katanya mati lampu,” Dia menghampiriku, kenapa jantungku berdegup kencang lagi? Tapi rasa kali ini berbeda dengan yang sebelumnya.

“Iyaaa, kenapa pulang? Lagian kan di studio ga mati lampu, lebih enak di sana,”

Bukannya menjawab, Isac malah duduk di depanku, posisi kita sekarang berhadapan dengan senter yang ada di tengah-tengah menerangi wajahku dan wajahnya. Ku harap Isac tidak akan melakukan hal-hal yang membuat pipiku merah karen ia dapat dengan jelas melihatnya.

“Lo sendirian,”

Ibu Periiiiii!! Aku ingin teriak bahwa aku sudah tidak tahan dengannya! Aku langsung bangun dari dudukku berjalan ke arah kamar mandi tanpa membawa senter. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lupa membawa senternya?

Sekarang aku berada di dalam kamar mandi sambil menahan rasa takutku karena ruangan ini benar-benar tidak ada cahaya.

Tolong berikan setitik saja cahaya di sini, aku ingin mengompol saking takutnya. Tapi aku ingat bahwa aku sedang di kamar mandi, jadi aku tidak akan mengompol.

Pintu kamar mandi diketuk. Aku yakin Isac yang mengetuknya karena hanya ada aku, Isac, dan Miyo, tapi tidak mungkin Miyo yang mengetuk pintu ini.

Saat ku buka pintu kamar mandi sedikit sambil menahan diriku untuk tidak mengompol, Isac memberikan satu senter kepadaku, “Lin, kan gelap, bawa senternya,”