chiiroses

Mami sudah datang sekitar lima balas menit yang lalu dan sampai saat ini masih saja berbincang dengan Isac tanpa memperdulikan diriku yang sudah selesai menyiapkan makanan yang Mami bawa.

Ku rasa, Mami benar-benar menyukai Isac, karena mereka benar-benar terlihat seperti sepasang ibu dan anak daripada diriku dan Mami. Untung saja tidak ada Jinan di sini, bila ada dia, dapat ku pastikan diriku semakin tidak terlihat.

Tidak bisa seperti ini terus. Ini sudah dua puluh tiga menit dan mereka masih asik mengobrol sambil tertawa bersama tanpa mengajak diriku, bagaimana bisa?

“Halooooo, masih ada aku di sini kalau Mami sama kamu lupa,” kataku setalah akhirnya menghampiri mereka sambil melambaikan kedua tanganku agar mereka mengalihkan pandangannya ke arahku.

Mami tersenyum tanpa merasa bersalah, “kirain, kamu ga mau ngobrol,”

“Sejak kapaaaaaan?” ocehku tidak terima. Sejak kapan pula aku tidak suka berbicara? Padahal Mami tahu betul bahwa aku sangat berisik.

“Sini duduk,” Isac menggeserkan tubuhnya memberi jarak agar aku bisa duduk di antara Mami dan Bunda.

Tentu aku tidak mau duduk, karena sekarang sudah waktunya untuk makan siang, terlebih aku sudah menyiapkannya di atas meja makan, “makan dulu ya Ratu dan Pangeran, udah aku siapin di meja makan dari tadi.” sarkasku yang anehnya malah dibalas tawa oleh mereka.

“Yuk, Pangeran, kita makan dulu, nanti lanjut lagi,” Sumpah demi yang ada di dalam apartmentku, mami malah menanggapi perkataanku kepada Isac.

Akhirnya kita makan bersama, tidak terlalu lama karena Mami dan Isac makan dengan cepat. Sepertinya banyak sekali yang ingin mereka bicarakan, dasar.

“Kak, kamu kenapa ga pulang-pulang?” tanya Mami. Akhirnya, akhirnya Mami bertanya kepadaku juga.

“Aku males bawa mobilnya, jauh,” balasku karena emang jarak dari apartment ke rumah mami cukup jauh, dan akan membuatku bosan sendiri di dalam mobil tanpa bisa berbica kepada siapapun.

“Sama Isac?” Mami malah menunjuk Isac.

Ku yakin mataku terlihat seperti ingin keluar, “yang bener aja? Isac nganter aku trus pulang lagi ke sini? Apa ga remuk badannya?”

“Ya nanti pulangnya bareng sama kamu lagi lah,” Mami ini benar-benar enteng sekali bicaranya.

“Ya gimana kalau ternyata Isacnya ada urusan?” balasku.

Isac malah ikut bergabung ke dalam obrolan dua anak dan ibu yang tidak beres ini, “nanti aku reschedule,” katanya dengan wajah yang saat ini benar-benar terlihat seratus juta kali lipat lebih manis.

“Ayo keluar,”

Isac kembali ke apartment Berlin setelah pesan terakhirnya tidak dibalas. Walaupun sudah lewat empat jam lalu sejak terkahir kali Isac membalas pesan Berlin yang memintanya agar diam.

“Dih kamu ngapain?” tanya Berlin bingung karena Isac secara tiba-tiba mengajaknya keluar.

“Ajak kamu keluar,”

“Emang aku mau?”

“Mau,”

“Orang aku masih ngambek,” balas Berlin dengan wajah yang ia buat-buat, “sana pulang,”

“Yakin ga mau keluar?” Isac kembali bertanya.

“Yakin, sejuta yakin.”

“Makan ketoprak? Kamu ga mau?” ucap Isac lagi.

Berlin menghembuskan napasnya lalu menatap tepat di mata Isac, “emang yakin ada ketoprak di bawah?”

“Yakin,”

“Kalau ga ada gimana?”

“Aku samperin tukang ketopraknya,”

“Emang tau rumahnya?” Berlin langsung membalas dengan cepat.

“Aku cari tau,” jawab Isac lalu menggandeng tangan Berlin, “Ayo cantik,”

Mereka menuju parkiran dengan tangan Isac yang masih menggandeng Berlin, dengan setelan baju yang benar-benar santai karena Berlin tidak ada biat untuk kemana-mana.

Berlin langsung memutar musik saat mereka sudah masuk ke dalam mobil, “mau makan ketoprak ngapain naik mobil?” tanyanya sambil mengenakan seatbelt.

Bukannya menjawab, Isac malah melajukan mobilnya keluar basement.

“Sac,”

“Sekalian muter-muter,” jawabnya membuat Berlin ber-oh ria.


setelah selesai memakn ketoprak paling enak di muka bumi ini kalau kata Berlin, mereka segera kembali masuk ke dalam mobil untuk berkeliling kota jakarta di malam hari.

Lampu dari gedung-gedung pencakar langit menghiasi gelapnya malam ibu kota. Sesekali Berlin bertanya kepada Isac tentang mengapa kota ini tidak pernah sepi, bagaimana jalanan kereta dibuat, kenapa lampu lalu lintas berwarna merah, kuning dan hijau serta mengapa kita hanya memiliki dua puluh empat jam dalam satu hari.

“itu mah pertanyaan yang sulit buat aku jawab,” kata Isac saat pertanyaan Berlin tentang mengapa kita hanya memiliki dua puluh empat jam dalam sehari? mengapa tidak tiga puluh jam atau tiga puluh empat jam.

Berlin merapikan rambutnya “kalau nanti kamu tau jawabannya, kasih tau ke aku ya,” suruhnya membuat Isac tertawa.

“Tapi ya Sac, coba bayangin kalau misalnya lampu lalu lintas warnanya bukan itu, misal pas berhenti warnanya tuh pink, kan lucu tau,” Berlin berimajinasi sendiri di dalam kepalanya.

“Terus kalau lampu kuning warna apa?” tanya Isac melanjutkan imajinasi Berlin.

Sambil menimang warna apa yang cocok, akhirnya Belin menjawab, “warna ungu muda,”

“Kenapa?”

“Karena aku suka ungu muda,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ga ada alasan lain?”

“Engga,”

Isac mengangguk, “Kalau lampu hijau?”

Berlin tertawa sambil memegangi perutnya yang terasa geli, “Loh kenapa?” tanya Isac karena Berlin secara tiba-tiba tertawa.

“Aku ngebayangin kalau lampu hijau diganti sama warna hitam, pasti orang-orang ga bakal jalan soalnya ga keliatan, kan tiangnya warna hitam, terus kotak yang buat lampu-lampunya juga warna hitam, nah kalau lampu hijaunya warna hitam juga jadinya ga keliatan,” jelas Berlin sambil tertawa karena imajinasinya, “pasti bakalan macet banget soalnya ga ada yang sadar,”

Isac ikut tertawa karena penjelasan Berlin sambil menggelangkan kepala tidak percaya bahwa ia bisa bertemu dengan orang yang pemikirannya seaneh gadis yang sedang duduk di sebelahnya.

Isac membelokan mobilnya untuk drive thru minuman karena Berlin sudah berbicara sejak mereka selesai makan ketoprak hingga saat ini.

“Oh iya Lin,” ucap Isac sambil menunggu pesanannya, “minggu depan free kan?”

“Iya free, kenapa?”

Isac mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada setir, “kita ke Bali yuk,” ajaknya dengan santai.

“YANG BENER AJAAAA,”

Isac langsung menggerakan kedua tangannya ke atas ke bawah di hadapan Berlin, “tenang Lin, tenang,”

“Ya kamu lagian apa-apaan tiba-tiba ke Bali,”

“Liburan, kita liburan ke Bali,” jawab Isac kemudian mengambil pesanan mereka, “minum dulu,” memberikan satu cup kepada Berlin.

Setelah minum, Berlin kembali mengajukan pertanyaan kepada Isac, “sama siapa aja?”

“Jinan, Skala, sama kalau kamu mau ajak Sheila juga boleh,” jawab Isac, “aku udah izin Mami,” lanjutnya karena Isac tahu selanjutnya Berlin pasti akan bertanya bagaimana dengan izin Maminya.

“Terus boleh kata Mami?” Tanya Berlin memastikan.

“Boleh,”

“Ga percaya,”

“Serius boleh, Lin,” Isac menyakinkan Berlin, “coba aja kamu tanya Mami,”

“Bener gaaaa?” Lagi dan lagi Berlin masih tidak percaya, “emang kapan kamu izin ke Mami?”

“Tadi siang,” jawabnya santai.

Berlin memukul lengan kiri Isac, “OOOHHHH, jadi tadi itu kamu ngomongin ke Bali sama Mami?”

“Iyaaa, mau kan?”

Tanpa berpikir panjang Beelin langsung mengiyakan ajakan Isac. Karena kapan lagi ia tidak perlu bersusah payah izin kepada Maminya untuk pergi liburan ke luar kota. Terlebih lagi liburan kali ini spesial karena ia pergi bersama Isac.

Sepanjang perjalanan pulang Berlin tidak henti-hentinya membahas apa saja yang harus ia persiapkan ke Bali, apa yang harus ia beli, makanan-makanan yang ingin ia coba, membuat Isac tersenyum oleh hal itu.

Setelah mendapat balasan dari Tian bahwa dirinya sedang berada di redsky, Ragil segera menuju tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Masih digelut amarah, laki-laki itu mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi, sampai tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di redsky.

“Tumben, Gil, lu dateng siang-siang gini,” sapa Rimar yang sedang merokok di luar.

Tak menghiarukan pertanyaan Rimar, “Ada Tian di dalam?” tanyanya kepada Rimar.

“Ada, lagi ngobrol sam—,” belum usai kalimat Rimar, Ragil sudah meninggalkan Rimar di depan sana.

“Mana Tian?” tanya Ragil saat masuk ke dalam.

Tempat berukuran 10x12 itu terlihat cukup ramai, berisi beberapa anak muda seumurannya yang datang untuk mengisi waktu luang yang sebenarnya tidak luang karena pada tahun terakhir sekolah sudah pasti murid sedang sibuk dengan ujian serta tugas yang ada.

“Woy, gue di sini,” teriak Tian di salah satu meja yang posisinya berada di ujung.

Tanpa basa-basi, Ragil yang jiwanya masih digelut oleh amarahnya langsung menghantamkan satu pukulan ke arah Tian tepat pada bagian wajahnya.

“Anjing apa-apaan lu dateng-dateng main nonjok aja, gue salah apa emang?” tanya Tian tidak terima dengan perlakuan Ragil.

Tidak mau menjawabnya, Ragil kembali memukul wajah Tian.

“Eh anjing, kenapa lu, Gil? Mabok lu siang-siang?” tanya Damar sambil berusaha memisahkan mereka.

Yang lain hanya sibuk menyaksikan tanpa mau ikut campur dengan urusan keduanya.

“Lu kalau ngomong yang bener bangsat,” teriak Ragil di hadapan Tian.

“Ngomong apa sih? Ngelantur lu ya?”

“Lu kalau punya otak, ngomong yang bener bangsat, pikir dulu kalau mau ngomong,” Kata Ragil sambil menunjuk kepala Tian yang saat ini berada di hadapannya.

“Lah mabok lu?”

Bukannya menjawab, Ragil kembali melayangkan pukulannya ke wajah Tian, kali ini Tian membalas pukulannya ke wajah Ragil.

“Salah apaan gue nyet? Lu dateng-dateng main tonjok gue aja,” Tian tidak terima wajahnya secara tiba-tiba dihantam oleh pukulan.

“Ngomong apaan lu tentang Jule?” Ragil memelankan suaranya, tapi tangan kirinya masih berada di kerah baju yang Tian gunakan.

Wajahnya berapi-api menahan amarahnya agar tidak menghabisi manusia di hadapannya ini. Rimar, Damar, dan beberapa teman yang kenal dekat dengan Ragil tidak berani ikut campur setelah mereka mendengar satu kata yang keluar dari mulut Ragil, “Jule” kata yang selalu mereka hindari.

“Ngomong apa bangsat,” tanya Ragil lagi, suaranya pelan tapi benar-benar mengintimidasi lawannya.

“Jule? Cewek lu?” ucap Tian menunjukan wajah tak takutnya, “dikasih jatah kan lu sama dia?” lanjutnya sambil tertawa miring.

Ragil kembali meyangkan pukulannya lagi, entah leberapa kalinya karena saat ini ia sama sekali tidak memberikan napas untuk lawannya.

Tian sudah terkapai digenggaman Ragil, “Eh, udah Gil, bisa mati anak orang,” kata Rimar sambil menahan tangan Ragil.

“Biar mati sekalian,” balasnya.

Rimar menarik tubuh Ragil agar menjauh dari Tian, “udah anjing, lu liat tuh,”

Ragil melihat tubuh Tian yang terkapai di lantai, bibirnya mengeluarkan darah akibat pukulan dari dirinya, beberapa bagian di wajahnya juga sudah tercetak jelas warna-warna biru serta ungu karena pukulan yang Ragil berikan.

“Kenapa?” tanya Damar hati-hati.

Ragil menatap satu persatu teman-temannya dengan napas yang masih belum beraturan, “sekali lagi gue denger ada yang ngomongin Jule tentang hal ga bener, abis lu sama gue,”

Rimar langsung menepuk-nepuk pundak Ragil, “iya bro, tenang, ga bakal ada lagi,”

Edgar menjemput Shanika dengan mobilnya di depan rumah perembuan itu pukul empat sore. Sambil menunggu Shanika turun dari kamarnya, Edgar dan Tala sibuk berbincang.

“Bawa balik adik gue, jangan sampe lecet,”

“Aman Bang, ga bakal lecet sedikitpun,” jawab Edgar memberikan jempolnya.

“Jadianya kemana?” tanya Tala lagi.

Edgar berpikir kemana akan membawa Shanika pergi, “niatnya sih ke mall, cuma kayanya nanti agak maleman mau keliling aja sih,”

“Yaudah, hati-hati perginya,” balas Tala karena Shanika sudah turun dari kamarnya.

“Berangkat dulu ya, Kak,” ucap Shanika sambil membenarkan kaca matanya.


Menghabiskan waktu mengelilingi salah satu mall besar di ibu kota, hingga membuat mereka tak merasa bahwa jam sudah menunjujan pukul tujuh malam.

“Makan yu, Ca,” ajak Edgar karena sejak tadi mereka hanya belum memakan makanan berat.

“Masih kenyang, Kak, ini aja belum abis,” Shanika menunjukan kantung bertuliskan 'shihlin' yang sedang ia makan.

“Tapi nanti kalau laper bilang ya, Ca, jangan diem aja,”

“Iya, Kakkkk,” balasnya sambil tersenyum.

Tiga jam bersama Edgar benar-benar membuat Shanika merasa dirinya hampir kehilangan akal sehatnya, karena sejak pertama kali Shanika masuk ke dalam mobil laki-laki itu, semua yang biasa Shanika lakukan sendiri, dilakukan oleh Edgar.

Seperti membuka pintu mobil, memasang seat belt, mengantre saat memesan makanan, bahkan saat ini tas miliknya pun dibawa oleh Edgar.

“Kak serius gapapa tas aku Kakak yang bawa?” tanya Shanika entah yang keberapa kalinya.

“Gapapa, Ca, kamu makan aja,”

Laki-laki satu ini tahu bagaimana cara membuat perempuan luluh akan setiap perilakunya, dan ia menerapkan hal itu.

Edgar bahkan tak tanggung-tanggung untuk membuat Shanika lebih jatuh akan pesonanya. Kali ini, saat sebelum mereka makan malam di salah satu tempat makan, Edgar menarik kursi yang akan diduduki oleh Shanika, lalu mempersilahkannya untuk duduk.

Dan lagi entah yang keberapa kalinya Shanika jatuh hati pada sikap laki-laki ini. Ia bahkan memperhatikan Shanika yang sedang sibuk memisahkan udang dari dalam mangkuknya.

“Ca, ga suka udang?” tanyanya sontak membuat Shanika menggeleng.

“Ini makan punya gue aja, ga ada udangnya,”

“Ga ah, Kak, ga enak jadi ngerepotin,” tolaknya halus karena sejak tadi Shanika merasa sudah merepotkan Edgar.

“Ga sama sekali. Atau tetep mau makan ini? Kalau tetep mau ini, gue pesen lagi yang ga pake udang,” ucap Edgar.

“Engga engga, aku pisahin aja udangnya,” balas Shanika kemudian lanjut memisahkan udang yang sudah tercampur dengan sup miliknya.

“Gue aja,” ujar Edgar lalu mengambil mangkuk tersebut, “lain kali kasih tau gue apa yang lu suka dan ga suka, biar yang kaya gini ga keulang lagi, kasian lu mau makan jadi harus nunggu.”

Berlin sudah berada di mobil milik Isac. Hawa di dalamnya terasa amat dingin karena sikap keduanya yang sama-sama tidak mengeluarkan suara.

Berlin sama sekali enggan melihat Isac sejak awal pertemuan mereka di lobby. Membuat Isac sedikit bertanya pada dirinya sendiri apa ada yang salah dengan pakaian atau ucapannya kepada Berlin.

“Lin?” sapa Isac di perjalanan. Mereka baru melewati lampu merah pertama, sekitar satu kilometer dari apartment.   

“Hm?” gumam Berlin tanpa melihat Isac.

“Gue ada salah?” tanyanya benar-benar aneh. Isac berharap Berlin akan menjawab 'tidak ada,' atau menggelengkan kepalanya pun sudah lebih dari cukup.

“Iya, ada,” jawab Berlin sontak membuat Isac terkejut.

“Eh? Gue ada salah apa? Maaf ya, Lin. Kalau gue emang beneran ada salah sama lu, sorry banget,” ucap Isac dengan melihat wajah Berlin.

“Liat ke jalan,” suruh Berlin, Isac segera menurutinya.

“Salah apa? Boleh tau ga?”

“Tuh,” Berlin menggerakan kepalanya ke arah bawah.

“Apa?” Isac tidak paham dengan maksud Berlin, yang menunjuk ke arah bawah. Berlin menaikan kedua bahunya memberi tanda bahwa ia tidak mau memberi tahu.

Sampai akhirnya dua menit kemudian Isac baru mengetahui apa kesalahannya. Laki-laki itu lupa mengenakan sepatunya dengan benar. Padahal sebelumnya ia tidak pernah lupa untuk mengenakan sepatu dengan benar bila sedang bersama Berlin.

Isac segera membenarkan sepatunya, lalu menunjukan kepada Berlin, “udah nih,” sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.

“Jadiiii,”

“Jadi?” Berlin balik bertanya.

“Jadi kan nanti kita dateng ke house party Daniel, nanti di sana kalau lu mau muter kabarin dulu ya? Atau kalau misalnya lu mau pulang juga kabarin aja ke gue,” ujar Isac memegang kemudinya.


“Rame banget,” ucap Berlin secara spontan ketika melihat rumah mantan kekasihnya yang ramai dengan manusia.

Isac langsung memegang tangan Berlin, “takut hilang,” ucapnya saat Berlin menatap wajah Isac meminta penjelasan.

“Ga bakalan,”

“Waktu di JakartaAquarium gimana?” balas Isac yang dihadiahi senyum tak bersalah oleh Berlin.

“Hai, Lin,” sapa Daniel dari depan mereka, posisinya berjarak sekitar tujuh meter dari tempat Berlin dan Isac berdiri.

“Oh, hai,” Berlin dan Isac menghampiri Daniel.

Laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu menjulurlan tangannya kepada Isac, “Daniel,”

“Isac,” balasnya menjabat tangan Daniel.

“Gimana sama Berlin?” tanya Daniel secara tiba-biba membuat Berlin gugup.

“Eh, aduh, sorry banget ya Niel gue potong dulu, Isac mau minum katanya, dia haus banget, ngobrolnya dilanjut nanti yaaaa,” Berlin segera menarik Isac untuk menjauh dari Daniel membuat senyum di wajah laki-laki itu terbentuk dengan sendirinya.

“Udah ga keliatan, Lin,”

Berlin menghela napas lega, “GILAAAA, GUE KENAPA PANIK SENDIRI?”

“Padahal tadi mau gue jawab,” ucap Isac.

Berlin menatap sinis laki-laki di sebelahnya, “jangan deh, gue yang takut,”

“Takut apa?”

Gadis itu gugup, bagaimana ia menjawab pertanyaan Isac yang baru saja laki-laki itu lontarkan? Sebab yang sebenarnya ia takuti adalah Berlin takut semakin jatuh hati kepada laki-laki di sebelahnya yang saat ini tangan kanannya ia gunakan untuk memegang gelas berisi soda dan tangan kirinya menggandeng Berlin.

“Takut... takut nanti ketauan kalau sebenernya kita ga ada apa-apa,” jelas Berlin.

Isac menganggukan kepalanya, “oh... kayanya sekarang ga perlu takut lagi deh, Lin,” ucapnya menaruh gelas yang sebelumnya ia pegang.

“Mau jadi pacar gue ga?” Isac dengan santainya mengucapkan kalimat tersebut, “Aduh ini basi banget ya Lin nembaknya? Ganti deh,”

Kepala Berlin masih merespon apa yang sedang terjadi saat ini, apa yang baru saja ia dengar beberapa detik lalu dan apa yang baru saja ia saksikan saat ini.

“Kita sama-sama single kan?” tanya Isac, Berlin sontak menganggukan kepala, “yaudah, pacaran yuk, biar jadi mini album,” lanjutnya.

Tawa Berlin pecah karena kata terakhir yang keluar dari mulut Isac, “mini album?”

“Iya, mau ga?”

Berlin masih setia dengan tawanya, tetapi jantung gadis itu ingin meledak saat ini juga. Bagaimana bisa ia menjawabnya dengan keadaan seperti ini. Isac memperhatikan Berlin yang masih tertawa.

“Hahahaha, bentar ya, Sac, ini lucu banget, mini album,” ucap berlin putus-putus bersamaan dengan tawanya.

“Iya, gapapa ketawa aja dulu sampai puas,”

Berlin menetralkan napasnya, menghirup kemudian menghembuskan napasnya secara beraturan agar setidaknya jantungnya bisa sedikit lebih tenang.

Berlin menarik napasnya dalam-dalam lalu memejamkan matanya, Isac hanya memeperhatikan tanpa berniat menginterupsinya. Saat menghembuskan napasnya, kepala Berlin bergerak naik turun seirama dengan hembusan napas yang keluar.

“Iya?” Isac memastikan, barangkai ia terlalu percaya diri karena Berlin baru saja mengangguk.

Gadis berbaju putih itu kembali mengangguk, kali ini dengan senyum yang merekah di wajahnya.

Pensi tahunan sekolah kali ini ramai dikunjungi  siswa-siswi SMA Nusa Bangsa dan beberapa anak dari sekolah lain yang memang datang untuk melihat.

Osis dan panitia pensi sibuk mengurusi keperluan demi berjalannya pensi hari ini. Ada yang menjaga booth, gate masuk, serta mereka yang berada di belakang layar panggung.

Kale datang bersama dengan dua teman sekelasnya, karena Alia sedang sibuk mengurus acara ini sejak sebulan yang lalu bersama dengan Hail dan yang lainnya.

“Kal, lu nanti mau ikut ke depan, apa tetep di sini?” tanya Melani, salah satu teman Kale yang sedang bersamanya, “soalnya gue mau ke depan,”

“Belum tau sih, Mel, nanti deh sambil gue pikirin, kalau lu Fir?” Ucap Kale.

Safira yang ditanya langsung menjawab tanpa berpikir, “gue ikut Melani, Kal. Ayo ikut aja ke depan, biar jelas liatnya,”

“Nanti deh, gue kabarin Alia dulu,” jawab Kale, karena ia sudah memili janji bersama Alia akan bertemu di booth foto.


Hari semakin sore dan semakin banyak yang datang untuk sekedar melihat booth yang ada atau berniat menonton pertunjukan yang telah mereka susun.

Kale memutuskan untuk ikut bersama Melani dan Safira ke depan karena Alia memberi tahu kepada dirinya bahwa tidak bisa bertemu di sana nanti.

Selama Kale berada di acara ini, ia baru melihat Hail satu kali secara sekilas, karena laki-laki itu sedang sibuk di belakang sana.

Sudah tiga hari sejak Hail semakin jarang membalas pesannya. Mungkin memang selama tiga hari itu pula ia benar-benar sibuk mengurusi pensi. Tapi kata Alia .... sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan.

Kale melihat Hail yang muncul dari belakang panggung dengan seragam panitia, membawa beberapa tumpukan kertas lalu kembali masuk ke dalam ruangan yang hanya bisa di masuki oleh panitia pensi.

Acara telah dimulai sejak tujuh belas menit yang lalu, tempat yang disediakan sudah terisi dengan penuh. Pembukaan diawali oleh sambutan Kepala Sekolah, Ketua OSIS, serta Ketua Pensi, lalu penambilan dari salah satu anak sekolah Nusa Bangsa yang bersedia untuk mengisi pembukaan pensi ini.

Seluruh siswa yang datang menikmati pensi dengan caranya masing-masing, ada yang senang karena banyak sekali makanan yang berada di booth luar, ada yang senang karena dapat bertemu idolanya, atau ada yang senang karena datang bersama orang yang terkasih.

Sudah pukul delapan malam dan pensi belum kunjung usai, Kale berkali-kali mengecek ponselnya barang kali Hail mengiriminya pesan, karena sejak tadi pun ia sudah bisa bertukar pesan dengan Alia.

Masih belum dapat balasan sejak terakhir kali Kale mengirimnya pesan pada pukul tujuh malam yang berisikan memberitahu dimana posisi gadis itu barang kali Hail ingin bertemu dengannya.

“Kal, gue sama Fira mau keluar, lu mau ikut ga?” tanya Melani cukup keras, karena banyaknya suara yang keluar di tempat ini.

“Kemana?”

“Makan, laper anjir dari tadi belum makan,” sahut Safira memegangi perutnya.

“Tapi gue udah ngabarin Hail lagi di deket sini, gimana ya?” pikir Kale, sebenarnya dirinya pun sudah menahan lapar sejak tadi.

“Lah? gue liat Hail tadi jalan ke depan, coba dah kali aja kalau lu ke depan juga ketemu sama dia,” kata Melani, “gimana?”

Kale melihat ponselnya sekali lagi, lalu mengetik pesan kepada Hail bahwa dirinya akan pindah ke luar untuk mencari makan.

“Ya udah, ayo!”

Semakin malam semakin banyak yang datang, dan semakin terasa lebih menyenangkan. Kale membeli satu mangkuk ramen serta segelas teh ocha dan duduk di meja yang menghadap ke jalan.

Kale sibuk dengan ponselnya karena Alia terus mengirim pesan kepadanya, memberi tahu bahwa Hail mencarinya sejak tadi karena laki-laki itu lupa menaruh ponselnya.

Dengan cepat Kale mamberi tahu Alia bahwa ia sedang berada di tempat makan bersama dengan Melani dan Safira, dan meminta tolong kepada Alia agar memberitahu Hail sesegera mungkin.

Hail yang sudah mengetahui dimana gadisnya berada langsung menghampirinya, membuat Kale yang sedang makan langsung berdiri karena melihat Hail yang kelelahan akibat terburu-buru.

“Duduk duduk,” Kale memberikan satu kursi kepada Hail, “ngapain lari-lari?” tanyanya sambil memberikan Hail minum.

“Aku nyariin kamu,”

“Iya, kan aku juga udah ngabarin, hp kamu di mana? Masih belum ketemu?” Hail menggelengkan kepalanya.

Safira dan Melani yang merasa canggung karena kedatangan Hail segera pindah ke meja sebelahnya.

“Makan udah?” tanya Kale sambil menyodorkan mangkuknya.

Hail mengangguk, “udah, aku ga bisa lama-lama, soalnya acara masih belum selesai. Kamu mau pulang nanti atau gimana?”

“Belum tau sih, kenapa?”

“Kalau kamu mau di sini sampai acara selesai, pulangnya sama aku aja, tapi kalau emang udah mau pulang, biar aku suruh Dehan anter kamu,” jelas Hail karena ia tidak bisa mengantar gadisnya pulang.

“Acara selesai kapan sih?”

“Satu jam lagi,”

Kale melihat jam di ponselnya, “aku tunggu aja, biar kita pulang bareng,”

“Gapapa?” tanya Hail, suaranya lebih terdengar ceria.

“Ya gapapa, aku tunggu di sini ya tapi, nanti kalau hp kamu udah ketemu, kabarin aku, atau kamu kabarin lewat Alia,” suruh Kale sambil menyuapkan satu suapan ke mulutnya.

“Okay, hp aku kayanya ada di ruangan panitia, tapi ga tau dimananya, yaudah aku masuk dulu ya, Kal,” kata Hail sambil mengacak-acak rambut Kale, “makan yang banyak, love you,


Setelah pensi selesai, Hail menghampiri Kale yang masih setia pada duduknya sambil bermain ponsel, keadaan sekitar sudah tidak terlalu ramai karena Hail beru saja menghampiri Kale dua puluh menit kemudian.

“Maaf ya lama,” ucap Hail saat Kale melihatnya.

“Engga, ah,” balasnya, “ini mau langsung? Atau?”

“Langsung aja, udah malem soalnya,” Hail menggandeng tangan Kale sambil berjalan menuju parkiran mobil yang sudah dapat dipastikan akan ramai.

Menunggu selama dua puluh menit di dalam mobil sampai akhirnya mereka sudah bisa keluar dari parkiran menuju rumah Kale.

Jalanan malam ini cukup lenggang. Kale memutar lagu Remaja – HIVI mengisi keheningan mereka. Hail terlihat lelah, wajah laki-laki itu tidak bisa berbohong.

“indahnya kisah kasih kita di masa remajaaa,” Kale bernyanyi dengan semangat, padahal sebelumnya ia pun sudah ikut lelah sama seperti Hail.

“Ayo ikut nyanyi,” ajak Kale agar Hail tidak mengantuk.

“Tiada masa-masa yang lebih indah dari masa remajaaa,” Kale kemabali menyanyi dengan semangat, membuat Hail tersenyum dan ikut melantunkan kalimat selanjutnya.

“Seakan dunia, milik berdua,” ucap mereka secara bersama kemudian tertawa.

Memutar beberapa lagu sepanjutnya, seperti Cantik – Kahitna, Teman Hidup – Tulus, sampai lagu terakhir mereka yaitu I Love You 3000 – Stephanie Poetri. Karena mobil milik Hail sudah berhenti tepat di depan rumah Kale.

“Kamu nanti langsung tidur ya,” suruh Kale sebelum gadis itu keluar, “tapi mandi dulu, terus besok istirahat aja jangan kemana-mana, minum vitamin jangan lupa, biar ga drop,” oceh gadis itu dari duduknya. 

Hail mengarahkan tangan kanannya membuat hormat, “siap, cantik.”

“Yaudah, kamu hati-hati pulangnya,” balas Kale sambil membuka seat belt.

“Kal,” Hail menahan tangan gadis itu.

“Kenapa?”

Hail mengarahkan tangannya ke arah kursi belakang meraba-raba mencari sesuatu.

“Nih,” ia memberikan sebuah paper bag berwarna pink dengan pita di depannya.

“Apa?” tanya Kale sambil menerima paper bag.

Journal?” ucap Kale lagi setelah melihat isi di dalamnya.

Hail mengangguk dengan cepat, “di isi ya, kamu mau kemana, mau ngapain, mau lakuin apa, pokoknya kamu isi semua yang ada di kepala kamu,” suruhnya membuat Kale tersenyum.

“Serius?”

“Iya, nanti kalau udah di isi, kamu kasih tau aku, biar kita lakuin semuanya bareng-bareng,” kata Hail membuat mata Kale terbelak.

“Sumpah?”

“Iyaaaa,” jawabnya sambil mengacak-acak rambut Kale. “Sana masuk,” suruh Hail.

Bukannya masuk, Kale malah memeluk Hail dengan senyum yang sangat lebar, ia sangat senang malam ini, terlebih dengan apa yang terjadi barusan.

“Bentar, aku mau peluk kamu sebentarrrrr aja,” kata Kale masih dengan posisi memeluk Hail.

Hail mengusap punggung gadisnya dan mengelus rambut indah milik Kale, wangi gadis itu sangat ia suka. Hail betah berlama-lama seperti ini bersama dengan Kale.

“Kangen,” ucap Kale.

“Aku juga,”

“Akhirnya kita bisa main lagi,”

“Maaf ya, kemarin-kemarin aku ga bisa nemenin kamu main,” jawab Hail.

Kale sontak mengeleng dengan kuat, “kata siapa? Kamu selalu nemenin aku tau,”

“Kan aku sibuk,”

“Ih udah ga usah dibahas, anggep aja kemarin-kemarin belum liburan,” ujar Kale dengan menatap wajah Hail dan mengeratkan pelukannya.

Melihat wajah gadisnya disaat seperti ini membuat hatinya menjadi lebih tenang, rasa lelah yang sebelumnya ia rasakan seperti mendadak hilang karena pelukan dari seseorang yang ia sayangi.

Hail membiarkan Kale memeluk dirinya sampai Kale sendiri yang ingin melepaskannya.

“Udah deh, kasian kamu mau istirahat,” Kale melepas pelukannya.

“Padahal gapapa, sekarang juga aku lagi istirahat,”

“Yeh, lain. Aku masuk ya, kamu pulangnya hati-hati,” Kale berpamitan kepada Hail.

Sebelum Kale keluar dari mobilnya, Hail kembali memeluk Kale kemudian mengecup kening gadisnya, membuat diri Kale terasa membeku.

Kale yang masih setengah sadar atas apa yang baru saja terjadi segera mengerjapkan matanya.

“I love you,” ucap Hail kembali mengacak-acak rambut Kale, “sana masuk. Lusa aku ke rumah ya, mau liat kamu udah isi apa aja di journal nya,”

Malam ini benar-benar menjadi malam paling indah selama malam-malam yang pernah dilalui oleh Kale dan Hail. Hati keduanya berbunga-bunga melebihi saat pertama kali mereka mengutarakan perasaannya. Malam ini rasanya beribu-ribu kali lipat jauh lebih bahagia.

Selamat datang liburan! Liburan yang selama ini mereka nantikan satu sama lain untuk mengisi waktu luangnya secara bersama. Selamat bersenang-senang. Selamat menikmati masa muda di umur tujuh belas tahun.

Jule menuju lapangan belakang sekolah sendiri, karena Acel sudah pulang sejak lima menit yang lalu bersama Bima, dan Ragil entah ada di mana, karena Jule tidak mencari dirinya.

Saat Jule sampai, lapangan itu sudah berisi empat orang perempuan yang salah satu diantaranya adalah Vina, serta Fatur yang berada di sebelah Vina.

“Widih banyak juga temen lu,” sapa Jule saat ia baru saja menghampiri mereka.

“Gede juga nyali lu buat dateng sendiri,” balas Vina membuat Jule tertawa.

“Oh ya jelas, gue ga perlu bawa-bawa temen buat tambah bantuan kaya lu,” sarkas Jule.

“Anjing, lu,”

“Manusia, Vin,” balas Jule sambil melepas dasi, “ini mau diobrolin atau langsung?” tanyanya setelah dasi di lehernya terlepas.

“Langsung lah, ga takut gue sama lu,” setelah mengucapkan kalimat tersebut, Vina langsung maju menghampiri Jule dan menarik rambut miliknya.

“Lu bisa ga sih kalau berantem ga narik rambut?” tanya Jule sambil berusaha melepaskan tangan Vina dari rambutnya.

Tidak ada jawaban dari Vina membuat Jule bertanya sekali lagi, “ga bisa? Bisanya cuma narik-narik rambut orang doang?”

Vina yang tidak terima dengan perkataan Jule segera mendorong Jule agar terjatuh, Jule yang sama sekali belum melakukan persiapan sontak terjatuh karena dorongan dari Vina, membuat ketiga temannya dan Fatur tertawa.

“Lu maunya apa Vin? Jambak apa dorong?” tanya Jule bangun dari posisi sebelumnya.

Belum selesai Jule membenarkan posisinya dengan benar, Vina langsung menarik Rambut Jule dengan sangat kencang, sontak membuat Jule menggeram dan membuat dirinya reflex memukul lengan Vina. 

“Anjing, sakit!” ucap Vina yang merasa kesakitan karena pukulan Jule tetapi tangannya masih belum melepaskan rambut milik Jule.

“Ya makanya lu jangan narik-narik rambut gue,”

Bukannya berhenti, Vina semakin menguatkan tarikan tangannya mambuat Jule semakin meringis. Tanpa Jule sadari, tangannya kembali memukul bahu Vina dengan tenaga yang lebih kuat dari sebelumnya.

Jule dengan sadar langsung mengusap-usap bahu milik Vina tanda bahwa ia tidak sengaja memberikan pukulan itu karena Vina tak mau melepaskan tangannya dari rambut Jule, “eh sorry, sorry, ga sengaja, gue ga mau mukul lu Vin, tapi lu bisa ga lepasin tangan dari rambut gue,”

Vina yang merasa pukulan dari Jule terasa sangat menyakitkan sontak menangis tapi ia masih mempertahankan tangannya yang sedang menarik rambut Jule.

“Vin sumpah lepasin tangan lu dari rambut gue,” pinta Jule, gadis itu tidak mau melayangkan pukulannya lagi karena Vina sudah menangis.

Fatur yang melihat Vina sudah menangis lantas menghampiri Jule yang rambutnya masih setia ditarik oleh Vina dan melayangkan tamparan tepat pada pipi Jule.

Kepala Jule pening, matanya meneteskan air mata akibat rasa sakit yang ia terima dari tangan laki-laki di hadapannya. Rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh bagian atas membuat dirinya lemas dan akhirnya terduduk di lapangan.

“BANGSAT!”

Teriak Ragil dari arah belakang sambil berlari menghampiri Fatur, wajahnya sudah merah padam karena melihat gadisnya di tampar oleh seorang laki-laki.

“Anjing!” Ragil melemparkan sebuah pukulan tepat di wajah Fatur, “punya nyawa berapa lu berani nampar Jule?!”

Tangan Ragil tidak henti-hentinya memberikan pukulan kepada Fatur, sesekali Fatur membalas memukul Ragil membuat mereka saling melontarkan pukulan di tengah lapangan ini.

“Cewek lu duluan anjing, ngapain mukul Vina?” teriak Fatur tidak terima.

“Gue liat bangsat! cewek lu duluan yang mulai, rambut cewek gue dari tadi ditarik-tarik sama cewek lu!” ucap Ragil memberikan satu pukulan di pelipis Fatur.

Jule, Vina dan ketiga temannya yang lain hanya bisa menyaksikan dari posisinya masing-masing. Jule terlalu pusing untuk sekedar bangun dari duduknya dan Vina semakin menangis melihat Fatur dipukuli oleh Ragil membuat ketiga temannya menenangkan dirinya.

“Gue dari tadi diem aja, soalnya ini emang urusan cewek gue sama cewek lu. Tapi tiba-tiba lu main tangan sama Jule, gue ga bisa diem aja bangsat!” Teriak Ragil memukul perut Fatur.

Tenaga Fatur sudah dikuras habis-habisan karena Ragil, tenaga lawannya benar-benar sangat kuat. Fatur sudah merebahkan dirinya di tengah lapangan dan tidak mempunyai tenaga untuk bangun.

“Sekali lagi gue liat lu pukul Jule, habis lu sama gue,” ucap Ragil sebelum akhirnya meninggalkan Fatur yang sudah tidak berdaya. Menghampiri Jule yang masih terduduk sambil memegang kepalanya.

“Le?” sapanya.

Jule hanya melihat dirinya tanpa mau menjawab karena kepalanya masih terasa pusing. “Ayo pulang.” Suruhnya dengan suara yang jarang sekali Jule dengar membuat Jule takut.

“Tas dimana?” tanya Ragil lagi, Jule menunjuk ke arah kanan, tas nya ia senderkan dekat ring basket. Ragil segera mengambil tas gadisnya dan kembali menghampiri Jule.

“Naik sini,” Ragil memberikan punggungnya menghadap Jule membuat Jule segera melingkarkan tangannya di leher laki-laki itu dan Ragil segera menggendingnya menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

Gadis manis yang selalu lupa dengan jadwal makannya, yang sangat suka menghias kuku indah di jari-jari tangan serta kakinya, gadis yang paling kuat seletah Bunda.

Dahulu, saat pertama kali kulihat lagi wajah itu, rasanya diriku seperti bertemu mata air di tengah-tengah gersangnya padang pasir. Sangat menyejukkan.

Wajahnya selalu tersenyum tapi mata tidak pernah berbohong, mata gadis manis itu redup, seperti salah satu alirannya ada yang rusak sehingga cahayanya meredup.

Tapi, Tuhan selalu baik kepada diriku. Tuhan izinkan aku membantu gadis manis mengembalikan redup di matanya. Bahkan Tuhan berikan lebih dari itu, Tuhan izinkan aku pula untuk bisa bersamanya.

Arzetta Fredelena, Nama paling indah di alam semesta. Entah menjelaskan dengan cara seperti apa, yang hanya bisa ku beri tahu kepada kalian adalah, ia gadis manis yang ku maksud.

Tuhan, aku mohon kepadamu untuk selalu membuat senyum yang terukir indah di wajah gadis manis perempuanku.

Teruntuk laki-laki yang baik hatinya, lembut tutur katanya serta indah senyumnya.

Terima kasih sudah mau bersamaku selama ini. Terima kasih karena selalu membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih untuk semua tutur kata yang tak pernah membuatku merasa dihakimi. Terima kasih telah hadir di dunia.

Malam ini, aku benar-benar menjadi makhluk paling beruntung karena dirimu. Lagi lagi karena dirimu.

Memang selalu dirimu, dan hanya dirimu yang bisa membuat diriku menjadi makhluk paling beruntung di muka bumi ini.

Bagi Delta, kenal, dekat, bahkan bisa menjadi salah satu bagian dalam perjalanan Zetta selama lima tahun kebelakang benar-benar suatu yang sangat ia syukuri. Gadis yang selama ini mampu membuatnya tersenyum, gadis yang selalu mendukung dirinya disetiap hal yang Delta jalani, gadis yang menolongnya waktu Delta sedang merasa terpuruk.

Malam ini, Zetta mengenakan gaun cantik berwarna hitam selutut dengan kalung liontin yang sempat Delta berikan sebagai hadiah ketika dirinya lulus kuliah. Berjalan dengan menautkan tangan satu sama lain menuju gedung pencakar langit di ibu kota.

Bunda dan Zello pun turut serta menghadiri acara makan malam ini. Acara yang sengaja Delta lakukan karena dia berhasil menembus proyek terbarunya. Sungguh terlihat seperti sebuah keluarga yang hangat bila dilihat secara langsung.

Sambil menunggu pesanan yang sebelumnya sudah Delta pesan melalui panggilan telepon, Bunda sibuk berbincang dengan Zetta tentang produk terbaru yang diluncurkan oleh brand favoritnya, Dior. Dan Zello sibuk berbincang bersama Delta tentang pertandingan bola yang telah berlangsung dua hari lalu.

Ini bukan pertemuan pertama mereka secara berempat, sudah lebih dari sepuluh kali mereka melakukan kumpul bersama. Saat salah satu diantaranya ulang tahun, saat berhasil mencapai goal nya, atau kerjasang saat salah satu diantaranya merasa senang, mereka akan berkumpul bersama.

Makanan baru saja dihidangkan oleh beberapa pelayan di meja mereka. Dibuka dengan beberapa appetizer, lalu dilanjut dengan menyantap makan malam.

“Perhatian.” Zetta menginterupsi Delta, Bunda dan Zello yang sedang berbincang-bincang santai.

“Kenapa, Kak?” jawab Zello menatap Zetta.

Zetta memanggil salah satu pelayan yang sudah ia pesan sebelumnya untuk mengantarkan sebuah kue ke meja mereka. Pelan menghampiri meja dengan kue di tangannya dan di letakan di tengah-tengah. Kue bertuliskan “Selamat, sayang.” yang Zetta buat sendiri sebelum pergi makan malam bersama mereka.

Bunda tersenyum melihat perlakuan Zetta kepada anak satu-satunya. Di atas kue itu, ada lilin yang menyala, meminta pemilik kue itu untuk segera meniupnya.

“Tiup, Del,” suruh Zetta karena lilinnya semakin menurun.

Delta masih setia memperhatikan perempuannya dengan senyum yang merekah di wajah miliknya, “tiuppp,” suruh Zetta lagi.

Make a wish dulu,” sela Zello.

“Kan bukan ulang tahun,” Zetta membalas.

“Gapapa, make a wish dulu, Kak, baru tiup,” Zello menyuruh Delta untuk membuat permintaan sebelum meniup lilinnya.

Bunda lantas menyalakan ponselnya membuat video sebagai kenang-kenangan. Bila mereka pergi bersama Bunda, sudah dapat dipastikan bahwa setiap momen yang mereka lewati akan Bunda rekam sebagai kenangan.

“Ayo, Kak,” suruh bunda saat kamera ponselnya sudah siap.

Delta menautkan kedua tangannya dan memejamkan mata, mengucap sebuah doa lalu meniup lilin di hadapannya.

“YEAAYYYYYY!” kata Zetta dengan tepuk tangan bersama Zello.

Delta segera memeluk perempuannya, mengucapkan terima kasih atas apa yang telah ia berikan malam ini.


Setelah menghabiskan makanan yang ada, dessert segera dihidangkan oleh pelayan. Tidak terlalu banyak karena sebelumnya mereka pun sudah makan malam.

Pelayan memberikan satu piring lagi di hadapan Zetta. Piring yang berhiaskan kelopak-kelopak bunga di pinggirnya, serta pudding transparant tepat di tengah piring dengan sebuah cicin di dalamnya.

Betapa terkejutnya Zetta saat mendapatkan piring tersebut, sontak melihat ke arah Delta, bertanya mengapa ada cincin di dalam pudding miliknya.

“Kayaknya salah meja deh, Kak” Zetta berkata kepada pelayan yang baru tadi menaruh piring untuknya.

Sang pelayan malah tersenyum kemudian menggeleng, “benar, Kak, ini pesanan atas nama Tuan Delta,”

Zetta langsung menoleh ke Delta, meminta penjelasan kepada laki-laki di sebelahnya, “Del?” ucapnya.

“Iya, bener kok, emang pesenan aku,” jawab Delta, “makasih ya, Kak,” lanjut Delta kepada sang pelayan.

Zetta memperhatikan pudding yang berada di hadapannya, lalu melihat Bunda, Zello, dan Delta secara bergantian. Mereka malah menahan tawa melihat tingkah Zetta kebingungan.

“Ze,” panggil Delta sambil memegang tangan Zetta.

“Iya?”

“Kamu mau jalan bareng sama aku terus ga? Jalan selama mungkin sampai seratus tahun ke depan, sampai rambut kita putih semua, sampai kita sama-sama kembali ke pelukan Tuhan,” Delta menatap tepat pada manik hitam yang indah milik gadisnya, “Malam ini, di depan Bunda dan Zello, aku mau ajak kamu buat habisin sisa waktu kita sama-sama, kamu mau ga Ze nikah sama aku?”

Zetta menahan air matanya saat Delta mengatakan kalimat yang baru saja ia dengar, sama hal nya dengan Delta, mata laki-laki itu sudah dipenuhi oleh air mata yang apabila ia berkedip maka akan menetes saat itu juga.

Zetta melihat Zello dan Bunda yang masih setia menyaksikan mereka, “Bunda,” panggilnya dengan suara yang bergetar.

“Iya, sayang?” Bunda menghampiri Zetta.

“Delta, Bunda, Delta barusan bilang kaya gitu, itu bener?” Zetta malah menangis dipelukan Bunda, ia tidak tahan melihat wajah Delta.

Bunda mengelus pundak Zetta, memberikan ketenangan kepada Zetta, “iya, Delta serius sama kamu,”

“Bunda izinin aku buat temenin Delta?” tanya Zetta di sela tangisnya, Bunda lantas mengangguk dengan cepat.

“Pasti.” Jawabnya, “kamu jawab dulu Deltanya, kasian dia nunggu jawaban kamu sampai mau nangis juga,” bunda meledek Delta membuat Zetta tertawa.

Zetta menghapus jejak air mata yang tersisa di wajahnya kemudian menatap wajah lawan bicaranya yang sempat ia biarkan beberapa menit. Zetta mengganguk dengan cepat sambil tersenyum.

Delta melihat Bunda, meminta pengakuan darinya bahwa bukan hanya Delta yang melihat Zetta mengaggukan kepalanya, “Bun?” tanyanya dengan mata yang berbinar-binar.

Bunda tertawa melihat Delta, anak laki-lakinya sudah besar, dahulu Bunda masih sibuk menyiapkan seragam setiap kali Delta ingin berangkat sekolah, sekarang, anak itu sudah bisa mengambil tanggung jawab yang besar.

“Iya, Delta, kamu ga usah sampe tanya ke Bunda,” jelas Zetta.

Delta lantas memeluk perempuannya, lalu menangis karena terlalu bahagia. Bahagia karena ia bisa menyatakan kalimat yang sudah ia pikirkan selama beberapa bulan untuk perempuannya, bahagia karena mendapatkan jawaban yang ia inginkan, bahagia karena ia akan menghabiskan hari-hari selanjutnya bersama perempuannya.