their feelings
Berlin sudah berada di mobil milik Isac. Hawa di dalamnya terasa amat dingin karena sikap keduanya yang sama-sama tidak mengeluarkan suara.
Berlin sama sekali enggan melihat Isac sejak awal pertemuan mereka di lobby. Membuat Isac sedikit bertanya pada dirinya sendiri apa ada yang salah dengan pakaian atau ucapannya kepada Berlin.
“Lin?” sapa Isac di perjalanan. Mereka baru melewati lampu merah pertama, sekitar satu kilometer dari apartment.
“Hm?” gumam Berlin tanpa melihat Isac.
“Gue ada salah?” tanyanya benar-benar aneh. Isac berharap Berlin akan menjawab 'tidak ada,' atau menggelengkan kepalanya pun sudah lebih dari cukup.
“Iya, ada,” jawab Berlin sontak membuat Isac terkejut.
“Eh? Gue ada salah apa? Maaf ya, Lin. Kalau gue emang beneran ada salah sama lu, sorry banget,” ucap Isac dengan melihat wajah Berlin.
“Liat ke jalan,” suruh Berlin, Isac segera menurutinya.
“Salah apa? Boleh tau ga?”
“Tuh,” Berlin menggerakan kepalanya ke arah bawah.
“Apa?” Isac tidak paham dengan maksud Berlin, yang menunjuk ke arah bawah. Berlin menaikan kedua bahunya memberi tanda bahwa ia tidak mau memberi tahu.
Sampai akhirnya dua menit kemudian Isac baru mengetahui apa kesalahannya. Laki-laki itu lupa mengenakan sepatunya dengan benar. Padahal sebelumnya ia tidak pernah lupa untuk mengenakan sepatu dengan benar bila sedang bersama Berlin.
Isac segera membenarkan sepatunya, lalu menunjukan kepada Berlin, “udah nih,” sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Jadiiii,”
“Jadi?” Berlin balik bertanya.
“Jadi kan nanti kita dateng ke house party Daniel, nanti di sana kalau lu mau muter kabarin dulu ya? Atau kalau misalnya lu mau pulang juga kabarin aja ke gue,” ujar Isac memegang kemudinya.
“Rame banget,” ucap Berlin secara spontan ketika melihat rumah mantan kekasihnya yang ramai dengan manusia.
Isac langsung memegang tangan Berlin, “takut hilang,” ucapnya saat Berlin menatap wajah Isac meminta penjelasan.
“Ga bakalan,”
“Waktu di JakartaAquarium gimana?” balas Isac yang dihadiahi senyum tak bersalah oleh Berlin.
“Hai, Lin,” sapa Daniel dari depan mereka, posisinya berjarak sekitar tujuh meter dari tempat Berlin dan Isac berdiri.
“Oh, hai,” Berlin dan Isac menghampiri Daniel.
Laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu menjulurlan tangannya kepada Isac, “Daniel,”
“Isac,” balasnya menjabat tangan Daniel.
“Gimana sama Berlin?” tanya Daniel secara tiba-biba membuat Berlin gugup.
“Eh, aduh, sorry banget ya Niel gue potong dulu, Isac mau minum katanya, dia haus banget, ngobrolnya dilanjut nanti yaaaa,” Berlin segera menarik Isac untuk menjauh dari Daniel membuat senyum di wajah laki-laki itu terbentuk dengan sendirinya.
“Udah ga keliatan, Lin,”
Berlin menghela napas lega, “GILAAAA, GUE KENAPA PANIK SENDIRI?”
“Padahal tadi mau gue jawab,” ucap Isac.
Berlin menatap sinis laki-laki di sebelahnya, “jangan deh, gue yang takut,”
“Takut apa?”
Gadis itu gugup, bagaimana ia menjawab pertanyaan Isac yang baru saja laki-laki itu lontarkan? Sebab yang sebenarnya ia takuti adalah Berlin takut semakin jatuh hati kepada laki-laki di sebelahnya yang saat ini tangan kanannya ia gunakan untuk memegang gelas berisi soda dan tangan kirinya menggandeng Berlin.
“Takut... takut nanti ketauan kalau sebenernya kita ga ada apa-apa,” jelas Berlin.
Isac menganggukan kepalanya, “oh... kayanya sekarang ga perlu takut lagi deh, Lin,” ucapnya menaruh gelas yang sebelumnya ia pegang.
“Mau jadi pacar gue ga?” Isac dengan santainya mengucapkan kalimat tersebut, “Aduh ini basi banget ya Lin nembaknya? Ganti deh,”
Kepala Berlin masih merespon apa yang sedang terjadi saat ini, apa yang baru saja ia dengar beberapa detik lalu dan apa yang baru saja ia saksikan saat ini.
“Kita sama-sama single kan?” tanya Isac, Berlin sontak menganggukan kepala, “yaudah, pacaran yuk, biar jadi mini album,” lanjutnya.
Tawa Berlin pecah karena kata terakhir yang keluar dari mulut Isac, “mini album?”
“Iya, mau ga?”
Berlin masih setia dengan tawanya, tetapi jantung gadis itu ingin meledak saat ini juga. Bagaimana bisa ia menjawabnya dengan keadaan seperti ini. Isac memperhatikan Berlin yang masih tertawa.
“Hahahaha, bentar ya, Sac, ini lucu banget, mini album,” ucap berlin putus-putus bersamaan dengan tawanya.
“Iya, gapapa ketawa aja dulu sampai puas,”
Berlin menetralkan napasnya, menghirup kemudian menghembuskan napasnya secara beraturan agar setidaknya jantungnya bisa sedikit lebih tenang.
Berlin menarik napasnya dalam-dalam lalu memejamkan matanya, Isac hanya memeperhatikan tanpa berniat menginterupsinya. Saat menghembuskan napasnya, kepala Berlin bergerak naik turun seirama dengan hembusan napas yang keluar.
“Iya?” Isac memastikan, barangkai ia terlalu percaya diri karena Berlin baru saja mengangguk.
Gadis berbaju putih itu kembali mengangguk, kali ini dengan senyum yang merekah di wajahnya.