jangan lagi

Setelah mendapat balasan dari Tian bahwa dirinya sedang berada di redsky, Ragil segera menuju tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Masih digelut amarah, laki-laki itu mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi, sampai tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di redsky.

“Tumben, Gil, lu dateng siang-siang gini,” sapa Rimar yang sedang merokok di luar.

Tak menghiarukan pertanyaan Rimar, “Ada Tian di dalam?” tanyanya kepada Rimar.

“Ada, lagi ngobrol sam—,” belum usai kalimat Rimar, Ragil sudah meninggalkan Rimar di depan sana.

“Mana Tian?” tanya Ragil saat masuk ke dalam.

Tempat berukuran 10x12 itu terlihat cukup ramai, berisi beberapa anak muda seumurannya yang datang untuk mengisi waktu luang yang sebenarnya tidak luang karena pada tahun terakhir sekolah sudah pasti murid sedang sibuk dengan ujian serta tugas yang ada.

“Woy, gue di sini,” teriak Tian di salah satu meja yang posisinya berada di ujung.

Tanpa basa-basi, Ragil yang jiwanya masih digelut oleh amarahnya langsung menghantamkan satu pukulan ke arah Tian tepat pada bagian wajahnya.

“Anjing apa-apaan lu dateng-dateng main nonjok aja, gue salah apa emang?” tanya Tian tidak terima dengan perlakuan Ragil.

Tidak mau menjawabnya, Ragil kembali memukul wajah Tian.

“Eh anjing, kenapa lu, Gil? Mabok lu siang-siang?” tanya Damar sambil berusaha memisahkan mereka.

Yang lain hanya sibuk menyaksikan tanpa mau ikut campur dengan urusan keduanya.

“Lu kalau ngomong yang bener bangsat,” teriak Ragil di hadapan Tian.

“Ngomong apa sih? Ngelantur lu ya?”

“Lu kalau punya otak, ngomong yang bener bangsat, pikir dulu kalau mau ngomong,” Kata Ragil sambil menunjuk kepala Tian yang saat ini berada di hadapannya.

“Lah mabok lu?”

Bukannya menjawab, Ragil kembali melayangkan pukulannya ke wajah Tian, kali ini Tian membalas pukulannya ke wajah Ragil.

“Salah apaan gue nyet? Lu dateng-dateng main tonjok gue aja,” Tian tidak terima wajahnya secara tiba-tiba dihantam oleh pukulan.

“Ngomong apaan lu tentang Jule?” Ragil memelankan suaranya, tapi tangan kirinya masih berada di kerah baju yang Tian gunakan.

Wajahnya berapi-api menahan amarahnya agar tidak menghabisi manusia di hadapannya ini. Rimar, Damar, dan beberapa teman yang kenal dekat dengan Ragil tidak berani ikut campur setelah mereka mendengar satu kata yang keluar dari mulut Ragil, “Jule” kata yang selalu mereka hindari.

“Ngomong apa bangsat,” tanya Ragil lagi, suaranya pelan tapi benar-benar mengintimidasi lawannya.

“Jule? Cewek lu?” ucap Tian menunjukan wajah tak takutnya, “dikasih jatah kan lu sama dia?” lanjutnya sambil tertawa miring.

Ragil kembali meyangkan pukulannya lagi, entah leberapa kalinya karena saat ini ia sama sekali tidak memberikan napas untuk lawannya.

Tian sudah terkapai digenggaman Ragil, “Eh, udah Gil, bisa mati anak orang,” kata Rimar sambil menahan tangan Ragil.

“Biar mati sekalian,” balasnya.

Rimar menarik tubuh Ragil agar menjauh dari Tian, “udah anjing, lu liat tuh,”

Ragil melihat tubuh Tian yang terkapai di lantai, bibirnya mengeluarkan darah akibat pukulan dari dirinya, beberapa bagian di wajahnya juga sudah tercetak jelas warna-warna biru serta ungu karena pukulan yang Ragil berikan.

“Kenapa?” tanya Damar hati-hati.

Ragil menatap satu persatu teman-temannya dengan napas yang masih belum beraturan, “sekali lagi gue denger ada yang ngomongin Jule tentang hal ga bener, abis lu sama gue,”

Rimar langsung menepuk-nepuk pundak Ragil, “iya bro, tenang, ga bakal ada lagi,”