keliling kota

“Ayo keluar,”

Isac kembali ke apartment Berlin setelah pesan terakhirnya tidak dibalas. Walaupun sudah lewat empat jam lalu sejak terkahir kali Isac membalas pesan Berlin yang memintanya agar diam.

“Dih kamu ngapain?” tanya Berlin bingung karena Isac secara tiba-tiba mengajaknya keluar.

“Ajak kamu keluar,”

“Emang aku mau?”

“Mau,”

“Orang aku masih ngambek,” balas Berlin dengan wajah yang ia buat-buat, “sana pulang,”

“Yakin ga mau keluar?” Isac kembali bertanya.

“Yakin, sejuta yakin.”

“Makan ketoprak? Kamu ga mau?” ucap Isac lagi.

Berlin menghembuskan napasnya lalu menatap tepat di mata Isac, “emang yakin ada ketoprak di bawah?”

“Yakin,”

“Kalau ga ada gimana?”

“Aku samperin tukang ketopraknya,”

“Emang tau rumahnya?” Berlin langsung membalas dengan cepat.

“Aku cari tau,” jawab Isac lalu menggandeng tangan Berlin, “Ayo cantik,”

Mereka menuju parkiran dengan tangan Isac yang masih menggandeng Berlin, dengan setelan baju yang benar-benar santai karena Berlin tidak ada biat untuk kemana-mana.

Berlin langsung memutar musik saat mereka sudah masuk ke dalam mobil, “mau makan ketoprak ngapain naik mobil?” tanyanya sambil mengenakan seatbelt.

Bukannya menjawab, Isac malah melajukan mobilnya keluar basement.

“Sac,”

“Sekalian muter-muter,” jawabnya membuat Berlin ber-oh ria.


setelah selesai memakn ketoprak paling enak di muka bumi ini kalau kata Berlin, mereka segera kembali masuk ke dalam mobil untuk berkeliling kota jakarta di malam hari.

Lampu dari gedung-gedung pencakar langit menghiasi gelapnya malam ibu kota. Sesekali Berlin bertanya kepada Isac tentang mengapa kota ini tidak pernah sepi, bagaimana jalanan kereta dibuat, kenapa lampu lalu lintas berwarna merah, kuning dan hijau serta mengapa kita hanya memiliki dua puluh empat jam dalam satu hari.

“itu mah pertanyaan yang sulit buat aku jawab,” kata Isac saat pertanyaan Berlin tentang mengapa kita hanya memiliki dua puluh empat jam dalam sehari? mengapa tidak tiga puluh jam atau tiga puluh empat jam.

Berlin merapikan rambutnya “kalau nanti kamu tau jawabannya, kasih tau ke aku ya,” suruhnya membuat Isac tertawa.

“Tapi ya Sac, coba bayangin kalau misalnya lampu lalu lintas warnanya bukan itu, misal pas berhenti warnanya tuh pink, kan lucu tau,” Berlin berimajinasi sendiri di dalam kepalanya.

“Terus kalau lampu kuning warna apa?” tanya Isac melanjutkan imajinasi Berlin.

Sambil menimang warna apa yang cocok, akhirnya Belin menjawab, “warna ungu muda,”

“Kenapa?”

“Karena aku suka ungu muda,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ga ada alasan lain?”

“Engga,”

Isac mengangguk, “Kalau lampu hijau?”

Berlin tertawa sambil memegangi perutnya yang terasa geli, “Loh kenapa?” tanya Isac karena Berlin secara tiba-tiba tertawa.

“Aku ngebayangin kalau lampu hijau diganti sama warna hitam, pasti orang-orang ga bakal jalan soalnya ga keliatan, kan tiangnya warna hitam, terus kotak yang buat lampu-lampunya juga warna hitam, nah kalau lampu hijaunya warna hitam juga jadinya ga keliatan,” jelas Berlin sambil tertawa karena imajinasinya, “pasti bakalan macet banget soalnya ga ada yang sadar,”

Isac ikut tertawa karena penjelasan Berlin sambil menggelangkan kepala tidak percaya bahwa ia bisa bertemu dengan orang yang pemikirannya seaneh gadis yang sedang duduk di sebelahnya.

Isac membelokan mobilnya untuk drive thru minuman karena Berlin sudah berbicara sejak mereka selesai makan ketoprak hingga saat ini.

“Oh iya Lin,” ucap Isac sambil menunggu pesanannya, “minggu depan free kan?”

“Iya free, kenapa?”

Isac mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada setir, “kita ke Bali yuk,” ajaknya dengan santai.

“YANG BENER AJAAAA,”

Isac langsung menggerakan kedua tangannya ke atas ke bawah di hadapan Berlin, “tenang Lin, tenang,”

“Ya kamu lagian apa-apaan tiba-tiba ke Bali,”

“Liburan, kita liburan ke Bali,” jawab Isac kemudian mengambil pesanan mereka, “minum dulu,” memberikan satu cup kepada Berlin.

Setelah minum, Berlin kembali mengajukan pertanyaan kepada Isac, “sama siapa aja?”

“Jinan, Skala, sama kalau kamu mau ajak Sheila juga boleh,” jawab Isac, “aku udah izin Mami,” lanjutnya karena Isac tahu selanjutnya Berlin pasti akan bertanya bagaimana dengan izin Maminya.

“Terus boleh kata Mami?” Tanya Berlin memastikan.

“Boleh,”

“Ga percaya,”

“Serius boleh, Lin,” Isac menyakinkan Berlin, “coba aja kamu tanya Mami,”

“Bener gaaaa?” Lagi dan lagi Berlin masih tidak percaya, “emang kapan kamu izin ke Mami?”

“Tadi siang,” jawabnya santai.

Berlin memukul lengan kiri Isac, “OOOHHHH, jadi tadi itu kamu ngomongin ke Bali sama Mami?”

“Iyaaa, mau kan?”

Tanpa berpikir panjang Beelin langsung mengiyakan ajakan Isac. Karena kapan lagi ia tidak perlu bersusah payah izin kepada Maminya untuk pergi liburan ke luar kota. Terlebih lagi liburan kali ini spesial karena ia pergi bersama Isac.

Sepanjang perjalanan pulang Berlin tidak henti-hentinya membahas apa saja yang harus ia persiapkan ke Bali, apa yang harus ia beli, makanan-makanan yang ingin ia coba, membuat Isac tersenyum oleh hal itu.