Yogantara, namanya.

Seperti biasa, pagi ini— saat matahari baru saja memancarkan cahayanya dari arah timur. Seorang laki-laki bertubuh tinggi yang mempunyai lesung pipi di wajahnya membuka matanya melihat sekitar.

Hari kamis, hari terakhir mereka di sekolah, hari terakhir mereka melakukan Ujian Nasioal, hari terakhir mereka mengenakan setelan putih abu-abu kebanggaannya. Lelaki itu mengambil ponselnya yang berada di sebelah ranjang kasurnya. Melihat beberapa notif yang muncul dari grup kelas dan salah satu notif yang sangat ia tunggu setiap harinya.

Membuka ponsel dan membalas pesan-pesan yang masuk, merupakan salah satu kebiasaan yang ia lakukan setiap pagi hari. Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya— ketika melihat salah satu chat WhatsApp paling atas, dari wanitanya.

Ah iya, kita sampai lupa berkenalan. Izinkan saya memperkenalkan ia sebentar ya? Perkenalkan, namanya Yogantara Lenteralega, nama yang bagus bukan? Ah tidak usah dijawab, hahaha. Panggil saja Yoga, atau mungkin kalian mempunyai nama khusus untuknya? Terserah saja, tapi saya akan memanggil ia Yoga.

Sebelum beranjak lebih jauh, izinkan saya ingin memperkenalkan satu orang lagi ya? Namanya Halmahera— perempuan yang memiliki senyum tercantik di alam semesta ini kata Yoga, laki-laki ini bisa saja. Cukup panggil ia dengan Hera saja ya teman.

Setelah Yoga membalas pesan dari Hera yang mengabarkan bahwa Yoga tidak perlu terburu-buru saat ingin menjemputnya nanti, karena hari ini merupakan hari terakhir sebelum mereka lulus dari Sekolah Menengah Atas yang mereka tempuh selama 3 tahun terakhir.

Setelah 30 menit berkutat dengan dirinya. Yoga mengeluarkan mobil dan segera berangkat menuju rumah Hera.

Di perjalanan pagi ini, BSD terlihat ramai dengan orang-orang yang akan melakukan aktivitas mereka setiap harinya. Hera sudah duduk di jok sebelah Yoga dengan setelan baju putih abu-abu yang dipakai untuk terakhir kalinya.

Selama perjalanan, mereka menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang seputar masa-masa saat SMA, padahal mereka belum menyelesaikan ujian terakhir hari ini, tetapi terasa seperti sudah menyelesaikan masa SMA setahun yang lalu.

“Bener-bener ga kerasa ya Tar, hari ini udah UN terakhir.” Ucap Hera dengan suara khasnya.

Tara. Panggilan khusus yang Hera buat untuk laki-laki di sebelahnya. Katanya, saat ditanya 'kenapa manggil yoga dengan sebutan tara?' Hera menjawab dengan simple, 'biar ga sama kaya yang lain.' Ucapnya sambil tersenyum.

Yoga tersenyum mendengar suara wanitanya. menjawab dengan anggukan serta lesung pipi yang mengembang di wajahnya.

“Nanti pas ujian udah kelar, angkatan jadi kumpul?” Ucap Hera lagi, dan kembali di jawab dengan anggukan yang tak luput dari senyum di wajahnya.

“Ohhh, aku agak males deh ikut kumpul-kumpul gitu, tapi kalau aku ga ikut kumpul, aku juga ga enak sama temen-temen yang lain, sama kamu juga.” Ucap perempuan itu sambil membuka botol minum yang ada di sebelahnya, botol yang selalu Yoga bawa untuk Hera.

“Kamu males gaaa?” Tanya Hera lagi. Kali ini Yoga menjawab dengan gelengan kepalanya. Hera yang melihat itu pun kembali bersuara, “iya juga sih, kamu kapan sih malesnya, hahaha.” Jawab Hera sambil tertawa.

Masih seperti hari-hari sebelumnya, dengan Hera yang banyak sekali bericara dan Yoga hanya mendengarkannya dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajahnya.

Bagi Hera, ia tidak masalah dengan Yoga yang seperti itu, ia menikmati hari-hari yang ia habiskan saat bersamanya, walau hanya perempuan itu yang banyak berbicara.

“Hera,” panggil Yoga.

Hera yang mendengar Yoga memanggil namanya pun segera menoleh, “iya tar, kenapa?” Yoga hanya menggelangkan kepalanya, lagi.

“Ga jelas sumpaahhhh.”

Mereka telah sampai di sekolah, melakukan ujian pada pukul 08.00 pagi. Ruang ujian Hera dan Yoga berbeda, karena urutan nama mereka pun sudah sangat jauh berbeda, Halmareha dan Yogantara, nama dengan awalan yang sangat jauh.

Setelah selesai dengan Ujiannya, beberapa anak-anak ada yang segera menuju ke kantin, lapangan, atau bahkan kamar mandi, sambil menunggu jam 11 untuk kumpul di aula sekolah.

Pukul 11, seluruh siswa-siswi sudah berkumpul di aula sekolah. Dengan ketua angkatan— Yogantara Lenteralega, yang berada di barisan paling depan menghadap ke arah teman-teman angkatannya.

Yogantara, laki-laki itu merupakan ketua angkatannya, bukan ketua OSIS pada periodenya. Di SMA mereka terdapat dua ketua yang di buat oleh sekolahnya. Pertama, ketua OSIS, yang bertugas untuk mengurus siswa-siswi sekolah, sedangkan ketua angkatan untuk mengurus setiap angkatannya masing-masing.

Di depan sana, Yoga berbicara tentang 3 tahun yang telah dilalui bersama, tentang kebersamaan mereka, mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada mereka semua yang telah bersama selama 3 tahun terakhir, yang ditutup dengan acara perpisahan, pelukan dan tangis.

Setelah diri mereka selesai dengan emosi yang dibangunnya tadi, mereka segera berjalan ke arah lapangan dengan orang-orang terdekatnya. kembali tertawa karena guyonan-guyonan yang dibuat oleh teman-teman yang lain.

Beberapa siswa laki-laki menyalakan smoke boom berwarna-warni, menghiasi langit lapangan dengan warna-warna indah yang keluar dari benda kecil tersebut. Mereka bernanyi bersama, serta mencoret-coret baju yang dikenakannya dengan pilox serta spidol yang diberikan oleh salah satu panitia acara tersebut.

Walaupun memang bukan acara resmi dari sekolah, tetapi tetap dibuatkan panitia untuk acara hari terakhir mereka di sekolah, dan mayoritas dari panitia tersebut adalah laki-laki.

Melakukan sesi coret-coretan merupakan salah satu yang amat sangat di nanti oleh siswa akhir di Sekolah Menengah Atas. Mengenang kebersaaman yang mereka buat, masalah-maasalah yang pernah terjadi selama tiga tahun terakhir, serta mengabadikan moment tersebut dengan camera agar suatu saat dapat di kenang.

Saat semua telah selesai dengan mencoret-coret baju mereka, di ujung lapangan sekolah, ada dua makhluk tuhan yang sedang berbicara sedikit serius. Siapapun yang melihatnya, dapat dengan jelas tahu bahwa mereka sedang berbicara hal yang penting.

“Gapapa ra, ke Bandung aja.” Jawab Yoga tetap dengan senyum yang mengembang di wajah indahnya.

Hera semakin tidak enak dengan jawaban laki-laki itu, karena mereka berdua sudah berjanji akan liburan bersama saat Ujian Nasional telah usai. Menghabiskan waktu untuk pergi ke pantai, serta melakukan list yang sudah Hera buat sebelum Ujian Nasional.

“Terus list kita gimana? kan kita mau lakuin mulai minggu ini.” Jawab Hera dengan sedikit kesal, karena sang mama— baru saja memberi kabar kepadanya saat UJian Nasional telah selesai, bahwa mereka akan menetap di Bandung selama dua minggu kedepan.

“Nanti, kalau kita tetemu lagi.” Jawabnya sambil membenarkan helaian rambut Hera yang menutupi wajahnya akibat terbawa angin.

“Lamaaaaa, masih dua minggu lagi.” Yoga yang mendengar jawaban itu kembali tersenyum, sekarang, senyum yang terbentuk dari wajahnya sedikit berbeda.

“Hera, aku mau ngomong boleh?” Tanya Yoga hati-hati, ia tahu perasaan wanitanya ini sedang tidak baik sekarang.

“Yaaaa boleh, apa emang?”

“Aku izin pamit ya,” Ucap laki-laki berpostur tinggi di hadapan Hera.

Hera yang mendengar ucapan tersebut mengerutkan dahinya bahwa ia tidak paham maksud dari perkataan tersebut, “pamit?” Tanyanya masih dengan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya.

“Iya, aku izin pamit ya ra,”

“Pamit kemana? ke temen-temen kamu?” Tanya Hera setelah ia mengambil keputusan atas pikirannya tadi, mungkin Yoga hanya ingin pamit bertemu dengan teman-temannya yang lain sebelum lulus.

“Pamit ra, pamit dari hidup kamu. Izin ya?” Suara Yoga bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut, ia tak berani menatap mata wanitanya itu.

“Kenapa? Kamu mau kemana emang?” Ucap Hera yang tidak percaya bahwa kalimat tersebut yang akan keluar dari Yoga. Perempuan itu sedang menahan air matanya agar tidak terjatuh saat ini juga.

“Pergi ra, ke Belanda.” Jawab laki-laki itu, ia tahu wanita dihadapannya ini sedang menahan air matanya agar tidak jatuh, pun sebaliknya. Ia takut bila melihat mata wanitanya, air matanya akan jatuh juga.

“Ngapain ke Belanda? Berapa lama?” Tanyanya dengan suara yang bergetar, mereka sama sekali tidak berani mentap satu sama lain.

“Pindah ra, gatau sampai kapan, aku pindah ke Belanda sekeluarga.”

Bagaikan tersambar petir di siang hari, tubuh Hera kaku saat mendengarnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa laki-laki di hadapannya harus pergi, ah bukan pergi, tapi pindah ke Belanda, dan baru memberi tahunya saat hari terakhir di sekolah, dimana seharusnya mereka menghabiskan hari tersebut dengan senyuman yang terukir di wajahnya masing-masing.

“Kenapa tar, kenapa baru bilang?” Tanya Hera bersamaan dengan air mata yang terjatuh di pipi indahnya. Yoga dapat melihat air mata wanitanya jatuh.

“Maaf ra, aku gamau buat ujian kamu ke ganggu.” Balas Yoga, dan memberanikan diri melihat ke arah mata hera.

Dilihatnya mata wanita tersebut, sudah berwarna merah akibat air mata yang ia buat. Rasanya sakit sekali melihat perempuan yang ia sayangi harus menangis akibat ucapannya sendiri.

“Ra, liat aku.” Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, dan tak berniat menengokan kepalanya ke arah laki-laki itu.

“Liat aku ya ra,” pintanya lagi, kali ini dengan suara yang amat lembut. Mati-matian Yoga menahan air matanya agar tidak jatuh saat mata mereka bertemu.

Ditatapnya perempuan itu, perempuan yang menghabiskan waktu bersamanya selama masa SMA, perempuan dengan banyak cerita, perempuan dengan senyum paling indah, dengan mata yang sangat cantik saat tersenyum, perempuan yang membuat masa SMA nya lebih berwarna karena ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya.

“Aku mau ngomong sebentar sama kamu, habis ini, kamu mau marah sama aku, silahkan ra. Tapi aku mau liat muka kamu pas aku ngomong ini.” Ucap Yoga, ia menghembuskan nafasnya berat.

“Ra, aku tahu aku jahat banget ngomong kaya gini sekarang, di hari yang harusnya kita habisin buat ketawa-ketawa sama temen-temen yang lain.” Ucap Yoga, saat ini, matanya menghadap ke arah langit sebentar untuk menahan agar air mata tersebut tidak jatuh di hadapan Hera.

“Makasih ya ra, makasih udah luangin waktu kamu selama tiga tahun buat aku, makasih udah mau hari-harinya di isi sama aku juga. Ra, aku pergi bukan berarti hati aku ikut pergi juga, hati aku tetep ada di kamu ra, aku tinggalin di sini buat kamu. Tapi maaf ya ra, maaf harus ninggalin kamu, maaf aku pamit di waktu yang kaya gini. Tiga tahun bener-bener bukan waktu yang sebentar ra, kenal sama kamu, deket, bahkan bisa sampai ada di titik ini itu salah satu hal yang paling indah di hidup aku. Maaf harus ninggalin kamu dengan janji-janji yang ada di list yang kamu buat sebelum ujian. Kata maaf emang ga bisa bikin ini semua balik kaya semula, tapi ra, aku minta maaf ya, maaf ya cantik, maaf ga bisa nepatin janji-janji kita, maaf ga bisa liat kamu masuk univ nanti, maaf ga bisa liat kamu ospek. Tapi yang perlu kamu inget, kalau kamu capek, sedih, marah, kecewa, jangan sungkan buat hubungin aku lagi ya? kalau nanti kamu ngerasa jatuh dan kecewa sama apa yang kamu dapat, inget selalu ya ra kalau aku selalu jadi pendukung kamu nomer satu dan ga akan pernah berubah, kamu paling hebat ra. Aku seneng bisa kenal kamu, Makasih dan maaf ya cantik. Sore ini aku pamit.”

Setelah selesai dengan ucapannya itu, Hera langsung memeluk Yoga, tangis yang daritadi Yoga tahan, runtuh juga saat itu. Hera menangis sambil memeluk laki-lakinya untuk yang terakhir kali.

'Sore ini aku pamit.' kata-kata itu berputar di kepala Hera, hari ini, hari terakhirnya bisa melihat wajah dengan lesung pipi yang indah, laki-laki yang selalu mendengarkan segala keluh kesah Hera, yang selalu memberi support kepadanya dalam keadaan apapun, ternyata harus pergi sore ini.

Menghabiskan waktu 3 tahun bersama dengan seseorang bukan merupakan hal yang sebentar, 3 tahun bersama dengannya membuat Hera belajar, bahwa tidak semua yang ia inginkan dapat disuarakan, bahwa setiap insan di dunia dapat berubah menjadi lebih baik.

Baginya, laki-laki itu bukan hanya sekedar pacar yang hanya dapat dia pamerkan di social media. Baginya, Yogantara adalah sosok yang dapat mengubahnya melihat dunia, melihat segala sesuatu tidak dari satu sisi, mengajarkannya mengalah dan berjuang.

Tapi pada akhirnya, Yogantara yang juga yang mengajarkannya untuk mengikhlaskan. Mengikhlaskan bahwa tidak selamanya ia akan tetap bersamanya, merelakannya pergi dari hidupnya.

Terima kasih Yogantara, terima kasih sudah mengisi masa-masa SMA ku dengan senyuman mu yang indah, terima kasih sudah pernah hadir, terima kasih atas semua waktu yang kau habiskan untukku. Terima kasih ya tara, terima kasih sudah mau pamit dan menyuarakan apa yang ada di dalam pikiranmu. Untuk keberangkatanmu nanti, maaf, aku masih belum siap untuk melihatnya. Semoga selamat sampai tujuan, Tara.