pancake
Ting!
Berlin segera berlari menuju pintu apartment miliknya, “sebentar, Sac,” teriaknya.
“Loh?” Berlin kaget saat melihat seseorang di hadapannya, lalu dengan percaya dirinya ia segera masuk ke dalam apartment Berlin.
“Lu ga diundang ya Ji,” Berlin mengusir Jinan yang secara tiba-tiba masuk.
“Yaelah,”
“Isac mana?”
“Mandi,” jawabnya sambil membuka kulkas, “ga ada fanta, Lin?”
“Beli sendiri,” Berlin meninggalkan Jinan, masuk ke dalam kamarnya.
“WOY NENG! JANGAN NGAMBEK MULU, CEPET TUA!,” teriak Jinan.
“BODO, GUE GA MAU NGOMONG SAMA LU!”
Jinan tertawa, sepupunya yang satu ini memang sering sekali menggerutu tidak jelas hanya karena dirinya tidak membalas pesannya. Dan itu selau ia lakukan bila ingin melihat Berlin marah.
“Isac dateng nih,” ucap Jinan.
“Ga percaya, masa iya mandinya cepet banget,”
“Yaudah kalau ga percaya mah, ga usah keluar kamar, lu diem aja di sana sampe besok pagi.”
Berlin membuka pintu kamarnya yang langsung disuguhi muka Jinan, “mana?”
“Bohong, hahahaha,” Jinan tertawa melihat Berlin yang seperti ini, sangat mudah sekali mengerjai satu-satunya sepupu yang paling dekat dengannya.
Belin mengepalkan tangannya, bersiap akan memukul laki-laki di hadapannya ini.
“Tuh, tuhhhh, beneran dateeeeeng,” Jinan menunjuk pintu apartment yang baru saja terbuka.
“Kenapa?” tanya Isac yang tidak mengerti kedaan ini.
“Pacar lu tuh, gede ambek,” Adu Jinan.
“Dih, apaan? Lu duluan ya yang ngajak berantem,”
“Mana buktinya?”
“Tuh, Sac, liat tuh kelakuan pacar lu, marah-marah mulu kayak nenek lampir,” Jinan semakin semangat meledek Berlin yang mukanya sudah merah padam karena kesal.
“Diem ga lu, Jelek,” balas Berlin tidak terima.
“Udahhh,” Isac melerai mereka, lalu merangkul pundak Berlin.
“Gede ambek, wuuuuu,” ucap Jinan lagi membuat Berlin mengepalkan tangannya kembali.
“Ji, udah,” Isac langsung menyuruh Jinan untuk berhenti lalu mengusap-usap punggung Berlin, “Udah, Lin, Jinannya ga bakal gangguin lagi.”