malam yang dingin
Dengan kecepatan seperti angin, Ragil mengendarai motornya menuju rumah Jule hanya membutuhkan waktu 7 menit. Laki-laki itu mangsung memarkirkan motornya di halaman rumah Jule dan segera masuk ke dalam.
Ragil mengetuk pintu rumah Jule dengan tempo cepat kemudian dibuka oleh Bunda Jule, “eh, ada apa, Ragil?”
“Bunda, Jule ada?”
“Lagi siap-siap di kamar, mau keluar katanya. Keluar sama kamu?”
Ragil menghembuskan napasnya lega. Akhirnya ia sampai sebelum gadisnya menghampiri Fira. “Iya, Bun, mau aku ajak cari makan sebentar, boleh ga?”
“Boleh dong, masa iya ga boleh. Masuk dulu sini,”
Ragil duduk di sofa ditemani oleh Bunda sambil menunggu Jule turun dari kamarnya. Baru saja dua menit Ragil duduk, Jule turun menggunakan kaos hitam pendek dibalut dengan jaket kulit hitam serta celana jeans di atas lutut.
“Hai,” sapa Ragil dari duduknya membuat Jule terkejut, bagaimana bisa laki-laki ini berada di dalam rumahnya, padahal jule sudah siap-siap secepat mungkin.
“Kok lu di—”
“Pamit dulu ya, Bun,” potong Ragil berdiri menghampri Jule.
“Iya, hati-hati ya kalian.”
Baru saja mereka meninggalkan halaman rumah, Jule langsung meminta Ragil meminggirkan motornya, tetapi tidak Ragil lakukan mengingat yang ia hadapi sekarang adalah keadaan dimana Jule yang sedang menahan amarahnya.
“Gue bilang minggir, ya minggir. Ngerti bahasa manusia gak?”
“Diem, Le, nanti jatoh,”
“Ya makanya stop.”
“Kalau gue stop, emang lu mau ngapain?”
“Berhenti aja bisa ga sih, ga usah banyak nanya.”
Bukannya berhenti, Ragil malah menarik tangan Jule agar melingkar di tubuhnya kemudian menancap gas motornya lebih cepat dari sebelumnya.
Akhirnya motor itu berhenti di salah satu tempat makan sekitaran …
“Ayo turun,” ajak Ragil.
“Lu kenapa sih? Ganggu gue tau gak.”
“Makan dulu, lu belum makan kan?”
“Gue ada janji.”
“Iya tapi makan dulu, nanti gue anterin ke tempat janjian lu,”
“Janjinya sekarang!”
Mendengar jawaban Jule, Ragil langsung menjawab dengan satu suara lebih tinggi dari sebelumnya, “Ayo. Mau kemana lu? Sini gue anterin, gue anterin sampe lu ketemu temen janjian lu itu.” ucapnya. Ia menyalakan kembali motornya yang baru saja ia matikan.
“Kemana?” tanyanya dingin.
Hening. Tidak ada jawaban dari Jule.
“Jawab. Dari tadi lu yang repot kan mau ketemu ‘temen’ lu. Ini sekarang gue anterin, kasih tau jalannya ke gue.”
Jule benar-benar diam. Dia tidak percaya bahwa laki-laki di depannya akan marah seperti ini hanya karena dia tidak mau makan. Nyalinya ikut menghilang seperti terbawa angin malam yang berhembus menerpa dirinya.