Bali dan semua hal istimewa
Pagi-pagi sekali Jinan sudah sibuk membangunkan kita semua, “cepet bangun!” ocehnya seperti Ibu tiri, “kalau ga bangun, gue siram air.” Otomatis membuat aku yang nyawanya belum kumpul langsung membuka mata. Jinan kembali menjadi Ibu tiri, “pilih duduk atau gue siram?”
“Pilih lu diem,” rasanya aku ingin menjawab seperti itu tapi suaraku tidak bisa keluar karena nyawaku benar-benar baru terkumpul dan belum sepenuhnya sadar.
“Berliiiiiiinn, bangun cepettt atau lu kita tinggalin disini sendirian, Sheila lagi mandi, Isac sama Skala udah rapi, tinggal lu doang.” Tidak peduli. Aku tidak peduli yang lain sudah rapi atau belum karena saat aku melihat jam, ternyata saat ini masih pukul setengah lima pagi. Setengah lima pagi. Repeat, setengah lima pagi, okay, Jinan harus stop menyuruhku untuk bangun dan mandi.
“Berisiiikkk, masih jam setengah lima,”
“Cepet bangun, mandiiii,” Jinan malah menarik tanganku.
Sumpah demi segala hal yang ada di kamar ini, rasanya aku ingin memukul Jinan. “Lu jangan gangguin gue plis, mending nonton TV dulu karena ini masih jam setengah lima,” oceh diriku.
“Lu mau liat sunrise ga? Cepet bangun,”
Dengan secepat kilat, aku langsung membuka mata, “MAU! AYO BERANGKAT!”
“Mandi dulu jelek,” suruh Jinan untuk yang ke sejuta kalinya.
“Gue mandi ga mandi juga udah cakep, jadi ayo cepet keburu terang,” ajakku keluar kamar.
Sambil menunggu Sheila yang sedang bersiap-siap, aku mencuci wajahku yang sejak lahir sudah terlihat cantik, percaya diri itu harus. Lalu meminum susu yang sudah Isac siapkan di meja.
Kami berjalan kaki ke pantai, karena memang posisinya tidak terlalu jauh dari villa. Isac yang sibuk memotret kami dan pemandangan selama berjalan ke pantai, Skala dan Sheila yang sibuk bergandengan tangan, dasar bucin! Dan Jinan yang sibuk marah-marah kepada kami agar berjalan lebih cepat.
Sepertinya memang kita tidak beruntung, atau memang aku dan Sheila yang tidak cocok menyusun tempat-tempat yang akan kita kunjungi di bali, ternyata pantai canggu tidak cocok untuk melihat sunrise. Alhasil sejak jam setengah enam sampai saat ini jam tujuh pagi kami hanya berkeliling pantai, tidak dapat melihat sunrise dengan bagus.
Jinan ngambek, dia menyendiri entah kemana karena aku belum melihatnya, terakhir kali aku lihat ia ingin membeli minum.
Aku dan pacarku yang paling keren memutuskan untuk memisahkan diri dari Skala dan Sheila. Isac mengajak aku untuk terus berjalan ke sebelah kanan, karena katanya pemandangan dari sana terlihat lebih bagus. Sebenernya aku tidak percaya, tapi karena Isac yang minta jadi aku percaya-percaya saja hahahaha.
Lagi-lagi Isac benar, pemandangan disini jauh lebih keren, lebih wow, lebih top! Oke aku hiperbola. Tapi sumpah pemandangannya lebih keren!
“Diam dulu, Lin, mau aku foto,”
“Cantik, Lin,”
“Disini bagus, coba kamu kesini,”
“Eh stop, jangan gerak, posisi kamu bagus begitu,”
Dan masih banyak lagi, sepertinya Isac memotret setiap pergerakanku karena aku terus mendengar suara jepretan kamera dari arahnya.
Akhirnya kuhampiri dia, “Sini gantian kamu yang aku fotoin,”
Bukannya memberikan kamera, Isac malah merentangkan kedua tangannya, minta dipeluk. Cowokku lucu.
“Liat deh,” Isac menunjuk ke langit sambil memelukku, “cantik banget langitnya, lautnya juga tuh,”
Ku arahkan pandanganku ke langit kemudian laut, “iya dari tadi tau, kayak bakalan nyesel banget kalau ga liat pemandangan secantik ini,”
“Sama,” ucap Isac.
Pandanganku beralih ke arahnya, Isac masih setia memelukku, “Aku juga bakalan nyesel kalau ga ketemu kamu waktu lagi nugas di cafe,”
KLISE. Ini klise tapi aku suka, aku salting, aku mau teriak, aku mau gigit Isac, aku mau melebur jadi pasir pantai, pokoknya aku gila.
Kemudian dia mencium keningku. Ibu peri… dari banyaknya tempat di muka bumi ini kenapa Isac memilih tempat ini, kenapa bali? Kenapa? Bagaimana bisa aku melupakan kejadian yang baru saja terjadi tiga detik lalu.
Benar kata orang, Bali adalah tempat istimewa, bahkan menurutku tempat yang paling indah karena semua hal di dalamnya istimewa, sama seperti manusia yang sedang memelukku, istimewa.