Bali
Aku masih tidak percaya kalau sekarang aku ada di bali dan tidak bersama mami, benar-benar tidak menyangka karena ini kali pertama aku pergi liburan bersama teman-temanku, walaupun tetap ada Skala dan Jinan, dan sebenarnya temanku hanya Sheila karena Isac pun sudah bukan temanku lagi. Tapi gapapa, aku benar-benar senang sampai mau jadi kepiting di pantai.
Menurut jadwal yang sudah dibuat oleh aku dan Sheila, hari pertama waktunya untuk merebahkan diri di kasur karena kita sudah menghabiskan waktu sekitar dua jam di dalam pesawat dan duduk di mobil selama empat puluh menit hingga akhirnya sampai di villa. Tapi semuanya kembali lagi ke diri masing-masing, karena aku yakin sejuta persen kalau Jinan tidak akan diam saja di dalam villa.
Aku pilih kamar yang luasnya hampir mirip dengan kamarku, wow, bangga sekali aku sama Isac bisa menemukan villa ini. Proud girlfriend. Aku tidur bersama Sheila dan yang laki-laki tidur bersama di kamar sebelah yang ukurannya lebih kecil sedikit dari kamarku, hahahaha. Tidak ada yang protes karena Aku pacar Isac dan Sheila pacar Skala, mereka dengan suka rela memberikan kamar yang lebih besar untuk kita, tapiiiiii sepupuku yang satu ini menggerutu, “Kenapa sih lu ga mau pake kamar yang ini? Kan berdua doang, muat elah. Kita bertiga tau,” Jinan ngambek seperti anak kecil yang permennya diambil.
Skala yang sok dingin itu akhirnya bersuara, “gapapa, Ji, yang penting bisa tidur.” Yes! Aku sayang Skala!!! Sebenarnya dia kaya gini pasti gara-gara Sheila, mungkin kalau Sheila tidak ikut dengan kita, dia juga berada di satu kubu yang sama dengan Jinan. “Apalagi cewek kan barangnya banyak, jadi ya udah gapapa mereka pakai kamar yang ini aja,” Isac ikut ngelanjutin, ah Ibu Peri, pacarku keren banget.
Aku merebahkan diriku yang sudah tidak bersemangat sambil memainkan ponsel yang baterainya tinggal sepuluh persen, tandanya sebentar lagi dia akan mati dan karena aku tahu ponsel ini akan mati, lebih baik aku memberikan dia tambahan kekuatan agar tidak jadi mati, jadi aku cas dia dan segera keluar kamar.
Di luar, ada Isac, Jinan dan Skala yang sibuk menonton TV sambil memakan mie, aku tidak tahu kapan mereka membuatnya karena sumpah demi apapun aku tidak mendengarnya, atau mungkin aku budeg? Tapi sepertinya tidak mungkin. Padahal kalau saja aku tahu mereka habis membuat mie, aku akan berlari dan minta tolong untuk dibuatkan juga.
“Widihhh kapan bikin mie nya?” tanyaku kepo, karena apapun keadaannya, makan mie tetap yang paling juara.
Isac langsung melihatku, aku sudah yakin dia orang yang pertama akan menoleh kearahku karena Jinan sedang sibuk dengan mie nya dan Skala sibuk memperhatikan TV yang tidak memperhatikannya. “Tadi, kamu ga denger?” Hanya Isac yang menjawab, sekali lagi, pacarku paling keren.
“Engga, tau gitu tadi aku nitip sekalian dibuatin,” sebenarnya itu kode. Isac terlalu cepat peka atau entahlah aku juga tidak tahu, dia langsung memberikan mangkuk mie nya kepadaku, “nih, makan punya aku dulu aja.”
Oh tentu saja aku tidak akan menolak tawarannya, “kamu makan apa?” tapi ya tetap saja aku tidak terlalu tega mengambil mie miliknya.
“Nanti aku buat lagi, atau kamu mau yang baru? Biar aku buatin,” Ibu Peri, Isac kenapa baik sekali, aku mau teriak. Terlalu lebay. Isac hanya menawarkan dirinya untuk membuat mie, bukan candi.
“Ga deh, aku cobain punya kamu aja, tapi sepuluh suap boleh ga?”
Isac malah tertawa lalu mengarahkan satu suapan mie ke arahku, “mendarat dimana nih pesawatnya,” sambil menggerak-gerakan tangannya seolah-olah menjadi pesawat terbang. Memangnya aku anak kecil. Tapi aku tetap membuka mulutku dengan semangat, “di siniiiii, aaaaaaa.”